42 : Terungkap

1.6K 248 24
                                    

Di bawah senja yang mulai meredup, suasana di antara mereka begitu hening, seolah angin pun tak berani menyentuh percakapan yang tertunda lama. Wajah ibu (Name) tampak lesu, sebuah senyuman tipis tapi pahit menghiasi bibirnya, seakan beban masa lalu tergambar dalam lekuk wajah itu. "Bagaimana kabarmu? Sejak datang dengan Wooin hari itu kau nggak menghubungi ibu..." Suaranya bergetar, menggema di ruang hampa yang diciptakannya sendiri. Sebuah helaan napas panjang terdengar, menambah atmosfer melankolis yang memenuhi udara.

Ibu itu tersenyum sendu, namun bagi (Name), senyum itu tampak seperti luka yang tak kunjung sembuh. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, membuatnya ragu untuk menjawab. Seolah kata-kata telah kehilangan maknanya di hadapan perasaan yang membeku di antara mereka.

"Nggak usah basa-basi. Sejak dulu aku nggak pernah menghubungi ibu," ucapnya dingin, nyaris tanpa emosi. Ucapannya bagai bilah pedang yang tajam, menusuk tepat ke jantung. Sang ibu tersentak, matanya berkedip pelan, seakan tak siap menerima kenyataan yang sedingin es itu. Namun ia memahami. Sejak kekacauan besar itu, hubungan mereka terputus, seperti jembatan yang roboh oleh arus waktu.

Penyesalan menggenang dalam hati sang ibu, menyesali setiap keputusan yang pernah ia ambil, menyesali setiap kesempatan yang terlewat.

"Ibu minta maaf, (Name)," suara ibu terdengar lirih, tangannya mulai gemetar, mengepal seolah menahan emosi yang tak terkatakan. Tubuhnya bergetar pelan, pertanda betapa dalam rasa sesal yang ia rasakan. Tapi (Name), dengan ekspresi dingin dan kaku, hanya bisa berdecak pelan, membiarkan emosi itu berlalu tanpa balasan.

Dalam hatinya, ia tahu, ia masih menyayangi ibunya. Tapi rasa sakit telah mengikat perasaannya terlalu kuat hingga ia tak mampu melepas diri dari belenggu amarah dan pengkhianatan.

"Iya, terserah saja." Kalimat itu terlempar begitu saja, diakhiri dengan dehaman yang terdengar berat. Sang ibu mengangkat kepalanya, matanya yang penuh penyesalan menatap (Name) dengan kelembutan yang tak terduga. Setetes air mata jatuh, mengalir perlahan di pipi yang mulai renta.

Tanpa peringatan, ibu (Name) melangkah maju, mendekap tubuh putrinya erat. Dekapan itu tak diantisipasi, dan (Name) hanya bisa membeku. Tangannya menggantung di samping, tak tahu harus berbuat apa. Perasaannya bergolak, mual mendadak menyerang seiring setiap kata yang terucap dari mulut ibunya.

"Cukup," ucap (Name) sembari mendorong pelan, mengakhiri dekapan itu dengan cepat. Ada kemarahan yang bergemuruh di dadanya, kesedihan yang tak lagi dapat ia bendung. Haruskah ia merasa lega setelah penyesalan yang selama ini ia tunggu akhirnya diucapkan? Namun anehnya, bukannya merasa bebas, ia justru semakin tenggelam dalam kekesalan.

Senyum tipis menghiasi bibirnya, bukan karena bahagia, tapi karena ironis. Dia tertawa getir, menertawakan nasibnya yang tragis. "Semuanya hanya diakhiri dengan kata maaf? Di mana keadilan di dunia ini?" bisiknya lirih, namun penuh dendam yang terpendam lama.

"Aku berpikir akan memaafkan ibu sehabis melihat bagaimana ibu menyesali semuanya... Tapi entah kenapa aku semakin kesal. Kesal hingga rasanya aku ingin mati saja," ucapnya pelan, hampir seperti sebuah bisikan. Mata (Name) menajam, tatapannya penuh kebencian yang membara, sementara sang ibu hanya bisa memandang dengan putus asa.

"Ibu pikir aku nggak tahu...? Hari itu, saat ayah tertabrak... aku melihat ibu dengan selingkuhanmu! Di hari ulang tahun pernikahan kalian!"

Setiap kata yang terucap seperti sembilu yang mengoyak. (Name) meneguk ludah kasar, perasaannya penuh dengan kekacauan yang sulit ia kendalikan.

𝐅𝐎𝐋𝐋𝐎𝐖 𝐓𝐇𝐄 𝐖𝐈𝐍𝐃 || 𝐖𝐈𝐍𝐃𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang