04 : Sebelumnya 1

4.7K 621 2
                                    

Sehari sebelumnya…

Matahari mulai tenggelam di balik awan sore yang memerah ketika Minwoo dan teman-temannya memutuskan untuk mengunjungi rumah (Name). Sebuah keputusan mendadak yang mereka buat saat bel sekolah baru saja berbunyi, menandakan akhir dari hari belajar yang panjang.

Ting tong!

Suara bel rumah terdengar nyaring, mengusik keheningan yang menyelimuti ruang tamu. (Name), yang sedang duduk santai di sofa sambil menonton acara TV kesukaannya, mendesah pelan. Sebenarnya, ia sedang menikmati momen tenangnya, tapi bel yang berbunyi memaksanya bangkit.

‘Mengganggu...’ pikirnya kesal, namun ia tetap melangkah menuju pintu depan.

Saat pintu terbuka, di depannya berdiri Minwoo dan teman-temannya, lengkap dengan sepeda yang mereka sandarkan di pagar rumah. Minwoo tersenyum cerah, melambai dengan santai, “Yo, (Name).”

(Name) hanya membalasnya dengan anggukan kecil, lalu memberi isyarat kepada mereka untuk masuk. Matanya sekilas menyapu wajah-wajah yang sudah familiar, meski ada dua di antara mereka yang baru pertama kali ia temui secara langsung.

Sambil duduk di ruang tamu yang sejuk dan nyaman, Shelly langsung berkomentar, “Rumahmu adem banget, (Name)! Betah deh kalau tinggal di sini.”

Gadis itu hanya tersenyum tipis mendengar pujian Shelly, sementara yang lain mengangguk setuju. Namun, perhatian (Name) sesekali terarah pada dua cowok yang duduk di sofa, agak terpisah dari yang lain. Satu berambut hitam, dan satu lagi berambut merah.

‘Hong Yubin… dan kak Junsu, ya?’ pikirnya. Minwoo memang sudah memberitahunya tentang mereka kemarin, tapi ini kali pertama ia melihat mereka secara langsung.

Di tengah percakapan ringan itu, tiba-tiba Shelly berseru dengan semangat, “Teman-teman!”

“ASTAGA! Kau tidak perlu teriak seperti itu, Shelly!” protes Hannam yang duduk di sebelahnya, kaget setengah mati. Ia bahkan memegang dadanya seolah-olah jantungnya hampir copot, membuat yang lain tertawa kecil.

“Dengar dulu!” Shelly melanjutkan tanpa mempedulikan protes Hannam. “Karena kita sudah di sini dan belum makan, gimana kalau kita makan-makan?” Tawa seketika berhenti, berganti dengan tatapan berpikir dari setiap orang di ruangan itu.

“Boleh juga,” kata Minwoo sambil tersenyum kecil, “Aku juga lapar, nih.”

Yang lain pun mengangguk setuju, suara perut lapar mulai menyelinap di tengah-tengah suasana sore yang semakin santai itu.

Dengan wajah penuh kemenangan, Shelly mengeluarkan ponselnya dari kantong celananya, siap untuk memesan makanan. Namun, di saat bersamaan, (Name) yang sedari tadi diam, ikut berbicara.

"Kalian mau makan apa…?" ucap (Name) dan Shelly hampir bersamaan, meski dengan maksud yang berbeda. Shelly berkata, “Biar aku yang pesan,” sementara (Name) berkata, “Biar aku yang masak.”

Tatapan keduanya bertemu sejenak, masing-masing terlihat kukuh dengan pendapat mereka. Para cowok yang ada di sana hanya bisa saling melirik kebingungan, tak tahu harus memihak siapa.

Akhirnya, (Name) yang mengambil inisiatif. Ia berdiri dan berkata dengan nada lembut namun tegas, “Shelly, tidak usah pesan makanan. Biar aku yang masak. Lebih baik begitu, kan?” Ia tersenyum, meyakinkan.

Shelly, meski awalnya terlihat ragu, akhirnya menyerah dan menyimpan kembali ponselnya. “Baiklah, kalau begitu.”

━━━━━━ ◦ ❖ ◦ ━━━━━━

Namun, tak lama setelah niat itu disepakati, masalah muncul. Jay dan Shelly yang pergi berbelanja bahan makanan belum juga kembali setelah hampir dua jam. (Name), yang awalnya bersemangat untuk memasak, kini berbaring di sofa dengan wajah letih, sambil menggerutu pelan, “Mereka pasti sedang bermesraan sekarang…"

Menghela napas panjang, ia melirik ke arah Yubin yang duduk sendirian di kursi seberang. “Kak Yubin, yang lain mana?” tanyanya, mengubah posisi tubuhnya agar bisa menatap cowok berambut merah itu.

Yubin hanya mengangkat bahu tanpa minat, “Tidak tahu.”

Mendengar jawaban yang tak acuh itu, (Name) memutar matanya. Perasaan kesal mulai menggerogoti dirinya. "Kenapa hanya kita berdua yang tersisa di sini?" gumamnya, mencoba menahan rasa jengkel yang semakin menumpuk.

Dengan ponsel di tangan, ia mencoba menghubungi Minwoo, tapi sayangnya nomor cowok itu tidak aktif. Begitu pula dengan yang lain.

“Sialan,” umpatnya pelan.

Yubin, yang sedari tadi hanya diam mengamati (Name), akhirnya berdiri dan berjalan mendekatinya. Sambil melepas jaketnya, ia menatap gadis itu dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“K-Kau ngapain?” tanya (Name) panik saat Yubin meletakkan jaketnya di atas tubuhnya yang sedang berbaring.

“Kau ini cerewet sekali. Berisik,” jawab Yubin dengan nada datar, lalu berjalan kembali ke tempat duduknya.

“APA KATAMU?! AKU TIDAK BUTUH JAKETMU!!” seru (Name), namun Yubin hanya menutup matanya, tak peduli dengan protesnya.

━━━━━━ ◦ ❖ ◦ ━━━━━━

Pada akhirnya, Shelly dan Jay tiba kembali dengan tangan penuh belanjaan. Bahan makanan serta berbagai cemilan mereka bawa, sementara di luar, Minwoo, Hannam, dan Junsu baru saja kembali dari bersepeda.

Mereka berkumpul di dapur, memasak bersama, lalu makan dengan tawa dan cerita yang mengalir hangat. Namun, ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam, mereka satu per satu mulai pulang ke rumah masing-masing, meninggalkan (Name) dalam kesunyian yang menyelimutinya.

Rumah yang sebelumnya penuh dengan tawa kini kembali sepi. Suara gemerisik angin malam terdengar dari luar jendela, membuat suasana semakin hening. Setelah sekian lama, (Name) baru merasakan betapa kosongnya rumah ketika semua pergi.

Jarum jam terus berputar hingga menunjukkan angka dua belas. (Name) memutuskan untuk tidur lebih awal, berharap esok hari akan membawa energi baru.

Namun, saat ia baru saja memejamkan mata, dering ponselnya berbunyi, mengusik keheningannya. Layar ponselnya menampilkan nama Kang Hannam.

“Halo…?” ucapnya setengah mengantuk.

“Halo (Name), maaf mengganggumu,” suara Hannam terdengar di seberang.

“Tidak apa-apa, aku juga belum tidur.”

“Begini… besok kita akan pergi latihan di gunung. Jadi kau harus bersiap.”

“Tiba-tiba?”

“Yah… seharusnya aku memberitahumu lebih awal. Maaf.”

“Baiklah. Terima kasih infonya, Hannam.”

“Maaf sekali lagi, ya!”

“Iya, tidak apa.”

Percakapan singkat itu berakhir. (Name) menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang tak menentu. Meski lelah, ia tahu bahwa persiapan untuk besok harus segera dilakukan.

“Selamat tinggal jam tidurku,” gumamnya lirih, sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur, bersiap untuk hari esok yang penuh tantangan.

𝐅𝐎𝐋𝐋𝐎𝐖 𝐓𝐇𝐄 𝐖𝐈𝐍𝐃 || 𝐖𝐈𝐍𝐃𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang