26. Tanpa Penopang

295 32 2
                                    

Malam semakin larut, tetapi masih ada seseorang yang terjaga. Ia masih betah berada di balkon sambil menengadah keatas, mencari bintang yang paling terang. Siapa tau diantara bintang-bintang itu adalah orang tuanya.

"Kenapa papa dan mama ga bawa Arza waktu kecelakaan itu? Rasa sakitnya terasa sepanjang Arza hidup"

Pertengkaran antar saudara itu membuat semua tak ada yang berani mengutarakan pendapat. Sebuah kebenaran yang menyakitkan meretakkan ikatan persaudaraan mereka. Sagara pun meninggalkan rumah entah kemana. Sergio terus menyalahkan Ervin akan keputusannya yang terburu-buru membuat pertengkaran diantara mereka berdua. Bahkan wajah yang nampak netral seperti Sevin dan Willy pun harus dikecewakan juga. Apalagi Seano yang entah kenapa tatapannya menjadi kasihan pada Arza.

"Kalau ada kesempatan, papa dan mama boleh kok ajak Arza keatas sana."

Si bungsu terus bergumam tanpa memikirkan apa yang keluar dari mulutnya. Seperti orang pasrah akan hidup di dunia.

.

.

.

Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan Kota Jakarta di tengah malam. Sagara membawa mobil bak orang kesetanan karena ia sangat marah. Bisa-bisanya selama ini adik bungsunya tidak menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang peduli padanya? Jadi apa artinya peran pengganti itu? Meski memang Sagara tidak menunjukan kepedulian itu terang-terangan. Tapi Sagara tidak pernah menaruh rasa dendam, benci atau mengungkit masa lalu pada adik bungsunya itu. Ia hanya ingin adiknya lebih terbuka meski memang Sagara tak bilang secara langsung. Bahkan niat Sagara mendamaikan Ervin dan Arza pun gagal total.

"Arghhhhh, gue gagal lagi jadi kakak. Harusnya papa dan mama jangan pergi secepat ini"

Bohong jika Sagara bilang ia bisa menjadi kakak yang baik. Nyatanya tidak. Ia bisa saja seperti Ervin yang terang-terangan menyalahkan takdir akan kepergian orang tua mereka tapi hal itu sangat tidak dewasa. Ia sudah janji akan selalu ada buat adik-adiknya, ia yang akan menanggung semua rasa kehilangan ini.

Sekarang Sagara bingung. Ia harus apa? Apa yang harus ia lakukan agar bisa memperbaiki fondasi kekeluargaannya yang rubuh kembali.

Mobil Sagara melaju melewati tol, ia meninggalkan Jakarta dan memutuskan pergi kerumah opa dan omanya. Delvin dan Amara adalah tempat yang tepat.

🏵🏵🏵

Pagi sudah datang, ada keributan di dapur dan ternyata Sevin tengah memasak. Ia memasak sebisanya karena ia tak punya bakat itu.

"Astaga Ervin...lo buat gue kaget" Sevin yang hendak berbalik dikejutkan dengan presensi kembarannya yang tiba-tiba muncul.

Ervin hanya senyum, ia memutuskan untuk duduk dikursi ruang makan.

"Kenapa lo tetap mau masak, padahal lo gak ahli dalam memasak" tanya Ervin tiba-tiba.

"Kalau tidak dicoba gimana mau tahu kemampuan kita sampai mana Er. Lagian ini hanya masakan biasa, yang penting adik-adik bisa sarapan. Kasihan tau, si Willy mau ke kampus ngurus TA nya, Sean katanya mau ikut pelatihan, nah Gio dan Arza belum tau kegiatannya apa. Lo juga kan mau ke kantor"

"Engga"

"Hah?! Terus yang urus kerjaan direktur utama siapa?"

"Om Jeff udah ngatain gue duluan mana mau gue lanjut lagi. Katanya gue terus membuat kesalahan"

"Ya ampun Ervin, kan bukan kerjaan yang besar. Sisanya kan diurus kak Saga"

"Kak Saga aja ga ada disini. Lo berharap siapa yang urus? Udahlah kak Saga butuh waktu"

Sevin menghela napas lelah, ia kembali melanjutnya memasaknya. Hingga terdengar suara Willy dan juga Sean. Mereka datang dan duduk manis di hadapan Ervin.

"Will, masih sibuk urus TA?" Tanya Ervin.

"Masih, gue mau usahain bisa wisuda dalam waktu dekat ini" Jawab Willy.

"Wihh bertambah lagi dong anak Wisuda. Rencana mau kerja dimana?" Tanya Ervin lagi.

"Eum masih sekitaran Jakarta aja kali. Toh Willy juga rencana mau ambil S2 hehe"

"S2?" Gumam Ervin.

"Hooo bisa kerja di perusahaan besar tuh, yang desain gedung-gedung pencakar langit" celetuk Sean. Ia ikut nimbrung, maklum karena si Sean ini anak Desain.

"Yee belum sampai sana Se, gue mesti ikut banyak pelatihan dan lainnya. Gak gampang langsung kerja di perusahaan."

"Kenapa Er? Tertarik ambil S2? Siapa tau wawasan lo lebih luas" Tanya Sevin saat melihat kembarannya itu diam.

Ervin memang hanya lulusan S1 Manajemen Bisnis. Dulu saat ia lulus ia langsung menggantikan peran orang tuanya di perusahaan. Sementara Sagara melanjutkan S2. Sekitar 2 tahun berlalu, Ervin masih betah menggantikan peran itu, dan Sagara melanjutkan S3 nya yang saat ini masih dijalani.

"Kenapa jadi gue yang korban ya? Gue menelantarkan pendidikan yang seharusnya bisa gue perjuangkan mati-matian dibanding menggantikan posisi papa dan mama"

Sevin yang hendak minum pun mendengar keluhan itu.

"Lo emang ga bisa lihat kesempatan itu Er. Dari dulu gue ajakin loh. Tapi lo nolak dengan alasan menjadi direktur adalah tanggung jawab besar. Dan hal itu lo ucapin dengan penuh keyakinan tanpa ragu loh" ucap Sevin melirik wajah kembarannya yang seolah sadar.

"Kenapa dulu gue seyakin itu?"

Sevin yang kini duduk dihadapan kembarannya pun menjawab "Karena rasa tanggung jawab lo lebih besar diantara kita semua Er. Mungkin yang kurang dari lo adalah mengontrol emosi. Orang-orang di perusahan senang kok sama kinerja lo. Hanya saja ketika lo mendapatkan tekanan, kritikan atau teguran, disitulah emosi lo tidak stabil. Tidak semua hal di dunia ini harus sesuai keinginan kita Er"

Ervin benar-benar langsung sadar. Perkataan sang kembaran benar adanya.

"Bener yang dikatakan Sergio, gue emang lemah banget mengontrol emosi, ingin melampiaskan pada siapapun yang sekiranya menjadi penyebab gue gagal. Gue ga mau menderita sendirian. Gue egois" Ervin bergumam dihadapan Sevin dan dua adiknya.

"Sergio juga gitu kok kak Er, sulit mengendalikan emosi ketika ia dihadapkan dengan masalah. Makanya pertengkaran kalian semalam gue jadi sadar kalau sifat kalian itu sama-sama keras" celetuk Seano.

"Udah ga usah dipikirin kak. Kalau emang kita semua butuh waktu ya udah. Jangan di paksa kalau malah menyakiti diri sendiri" Ucap Willy dengan tenang. Ia adalah orang netral yang bingung ingin berpihak kemana.

"Gue ga tau kak Saga kemana, chat gue ga dibales dan telepon gue gak diangkat. Untuk hari ini dan kedepannya kita jalani dulu tanpa kak Saga. Gue juga merasa bersalah karena membiarkan kak Saga menanggung semua ini sendirian. Dan untuk lo Er, please jangan melampiaskan apapun sebelum mendengarkan kebenaran. Lo udah dewasa kan? Belajar untuk sedikit sabar" Ucap Sevin dengan tatapan yang dalam pada kembarannya.

Ervin hanya mengangguk, kini ia pun menyadari sikapnya yang sangat-sangat menyebalkan. Apakah ia harus meminta maaf?

.
.
.

TBC!!!

Sorry jika ada typo atau kesalahan kalimat

Ini hanya cerita fiksi dari imajinasi penulis yaw~~~

Nanti-nanti lagi~~~😊

Augmentum & CantileverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang