19. Kembali Sakit

454 32 2
                                    

Sevin mencoba menghubungi saudara kembarnya, tapi sudah panggilan ke lima tak ada jawaban. Saat Sevin tahu Om Jeff datang untuk membahas rencana kerja sama perusahaan dan investasi berkelanjutan. Sevin lupa membantu menyiapkan segala keperluan untuk itu. Sebenarnya, ia tak diberitahu jika Tuan Jeffery selaku investor andalan perusahaan akan datang.

Merasa frustasi, Sevin menelepon semua anggota keluarganya. Dan hanya Sergio yang menjawab.

"Lo dimana!!"

"Gue dikampus. Mau balik nih. Kenapa kak?"


"Ervin...ga bisa dihubungi"

"Lah tumben, kenapa emang?"

"Terjadi sesuatu di perusahaan. Ervin sepertinya di sidang sama om Jeff. Gue khawatir, terakhir kali ia disidang 2 tahun lalu dan berujung menyakiti Arza"

Sergio yang disebarang sana terdiam. Ikutan panik. Teringat satu kejadian dimana sang kakak yang marah dan melampiaskannya ke si adik bungsu.

"Arza dirumah kak, dia_"

Panggilan terputus, Sevin langsung melajukan mobilnya menuju rumah.

🏵🏵🏵

Perintah minum obat dari sang kakak tidak diindahkan oleh Arza. Obatnya terlalu banyak, melihatnya saja sudah mual.

Arza melewatkan obat paginya karena belum makan, ia juga tidak sempat makan siang karena mengerjakan presentasi padahal Juan sudah memaksanya makan dan berujung menyumpalnya dengan roti. Tapi itu tak kenyang, Arza tak bisa minum obat.

Rumah sepi. Padahal ini minggu terakhir perkuliahan. Seharusnya mereka bisa lebih santai. Sergio juga sudah mulai sibuk.

Merasa ia harus minum obat agar tak merepotkan, Arza berusaha untuk turun kebawah dan makan. Mungkin masak karena ia sendirian di rumah. Kakaknya Sagara akan pulang sore. Terlalu lama jika menunggu makan malam.

Baru berdiri saja pandangannya sudah memburam dan bertumpu pada kursi saking tak fokus matanya. Tangannya yang satu lagi mencekeram perutnya yang nyeri.

Sial, pasti asam lambungnya naik.

Arza berjalan pelan, menuruni tangga berharap ia tak tumbang. Tidak ada siapa-siapa disini. Oke Arza lelah, ia mengatur napasnya yang sesak. Nyeri perutnya membuatnya susah meraup oksigen.

"Uhuk...uhukk..." Ringisnya menekan perutnya yang sakit.

Ponselnya tertinggal di kamar, ia tak bisa meminta tolong. Arza meyakinkan dirinya sendiri agar tidak panik saat terjadi serangan.

Disaat seperti ini, Arza ingat dulu saat ia kesakitan ia memilih diam. Tak ingin mengadu pada siapapun.

Dengan kekuatan yang tersisa, Arza menuju kamar mandi untuk memuntahkan apa yang bergejolak didalam perutnya. Ia tak suka ketika ia harus merasakan kesakitan yang begitu menyiksanya dan kewalahan sendiri saat menanganinya.

Suara mesin mobil memasuki pekarangan rumah. Wajah tampan nan tegas itu turun dari mobil dan masuk kedalam rumah. Wajahnya menahan amarah. Seperti ingin melampiaskannya kepada seseorang.

Ia tahu rumah sedang sepi, semua saudaranya masih sibuk, menyisakan satu orang yang sangat ia benci.

Arza keluar kamar mandi dengan lemas, wajahnya sudah sangat pucat. Sepertinya ia akan diceramahi Sergio kalau tahu ia melupakan obatnya.

"Kak Ervin?" Arza sedikit kaget saat melihat presensi sang kakak di ambang pintu.

Ervin mengepalkan tangannya menghampiri adiknya, hingga tangan itu melayang di udara.

"Akh..." Arza menunduk, memegang kepalanya yang tiba-tiba sakit. Tidak oh tidak jangan penyakitnya kambuh di depan Ervin.

Ervin diam memperhatikan kesakitan adiknya. Wajahnya yang tegang itu berubah lunak.

Arza limbung hingga tubuhnya didekap oleh Ervin.

"Sakit kak..." Adunya, ia sudah tak tahan akan kesakitan ini. Meski kini dihadapannya adalah Ervin.

"L-lo kenapa heh!! Apa yang sakit?" Tanya Ervin ikutan panik.

Tes

Cairan merah jatuh diatas telapak tangan Ervin, ia terkejut, semakin lekat melihat wajah tertunduk Arza.

"Lo kenapa? Jawab gue!!"

"S-sakit..."

Perlahan mata coklat gelap itu tertutup, tarikan napasnya pun memberat. Arza sudah bersandar sepenuhnya pada sang kakak.

"ERVIN APA YANG LO LAKUIN HAH?!" Dari pintu Sevin berteriak, ia langsung menghampiri si kembaran dan adik bungsunya disana.

"S-Sev tolongin gue"

.

.

.

Kritis

Satu kata yang menjelaskan keadaan Arza malam ini. Dokter Thio sampai bersandar pada dinding, lelah, saking cepatnya ia menangani Arza yang hampir diambang kematian. Satu menit saja terlambat, mungkin mereka bisa kehilangannya.

"Dokter, keadaan pasien sangat lemah, ia akan kami pantau di ICU beberapa hari ini" ujar satu dokter lagi yang spesialis penyakit dalam. Ingat, Arza melewatkan makan yang membuat asam lambungnya naik.

"B-baik, terima kasih Dokter Doni. Mohon kerja samanya. Saya harus bicara dengan keluarganya agar pasien bisa melakukan operasi"

Thio berusaha mengumpulkan kembali energinya. Ia yakin setelah ini akan di serbu pertanyaan. Tapi sebagai seorang dokter ia juga mempunyai kewajiban tidak memberitahu tentang penyakit pasiennya jika diminta. Meskipun kepada keluarganya sendiri.

Terpaksa sandiwara dimainkan disini.

.
.
.

TBC!!!

Augmentum & CantileverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang