▪︎ 3. Kuliah Sore ▪︎

85 20 6
                                    

Selamat membaca👀




***

Sore hari yang mendung. Biasanya aku menghabiskan waktu di indekos salah satu temanku menjelang malam jumat. Sebab, aku tau malam jumat bukan malam yang hangat bila dihabiskan di asrama. Namun, hari ini aku masih setia berada di kampus karena perpindahan jadwal kuliah yang diminta oleh Pak Didit, si dosen mata kuliah Bahasa Inggris Untuk Biologi.

Padahal kuliahku hanya siang tadi bersama pak Imron yang rumitmya minta ampun. Ya maklum, beliau itu  dosen lintas jurusan, jadi kemungkinan ada rasanya dianaktirikan.

Well, sekarang kuliahku juga sudah selesai. Beberapa menit yang lalu, pak Didit keluar bersama dengan jas kebesarannya; teman-temanku sering menyebutnya demikian karena jas blazer yang ia gunakan hampir menyentuh lantai.

"Woi, Agusta!"

Aku menoleh, ada Argan–si laki-laki urakan yang tidak terlalu akrab denganku. Bukan tanpa alasan aku tidak akrab dengannya, Argan itu hanya satu kelas denganku di mata kuliah sore ini.

"Woi!"

"Ape!" Aku menyahut sebal, padahal aku sudah menoleh ke arahnya.

"Kamu langsung pulang? Gak mau mampir dulu di masjid kampus?"

"Ngapain?" Aku tau pertanyaanku tidak bermutu. Hanya saja, asrama lebih dekat dengan fakultasku, daripada masjid kampus yang berada di samping fakultas Pertanian.

"Dugem, Gus," celetuknya asal. "Ya solatlah! Gitu aja nanya kamu cok!"

Aku mencibir. Meski ia terlihat baik mengajakku solat, tetapi lidahnya terlalu licin. Aku kadang tak heran jika pembicaraannya penuh dengan umpatan.

"Ayo!"

"Bentar, laptop Heni masih di sini," kataku menunjuk tas laptop yang berada di meja bundar.

"Dia ke mana?" tanyanya seraya kembali mendudukkan bokongnya pada kursi di hadapanku.

"Tadi nganter Nila yang kotak pensilnya yang ketinggalan di kelas." Aku menjawab lagi-lagi sambil menunjuk ke arah gedung C.

Argan mengangguk-angguk, "Dia gak takut ya, itu gedung padahal udah keruh banget kelihatannya dari sini."

Aku meringis pelan, jika saja orang ini tau aku sudah melihat sebanyak tiga kali sesuatu lewat di samping gedung C itu. Namun, aku masih ingin merasa nyaman dari pandangan sebelah mata. Sebab terakhir kali ada yang mengetahui aku ini seorang indigo, malah diriku dikira ustad ahli rukiyah.

"Gus, kamu bisa lihat hantu gak?" tanya Argan yang begitu tiba-tiba.

Aku melayangkan tatapan datar. Lantas menjawab, "Hm, itu ada anak kecil di sampingmu."

Refleks, Argan bangkit dari duduknya. Menoleh ke kiri dan ke kanan. "Anjir, kamu serius?" Raut wajahnya berubah panik.

Aku terkekeh geli melihatnya. Tentu saja aku berbohong. Lagian dia suka sekali menceletuk unfaedah jika bersamaku. Eh, tapi aku tidak sepenuhnya bohong, karena di lantai 2 gedung C itu ada anak kecil yang duduk di atas besi pembatas. Sosok itu menjuntaikan kakinya ke bawah, sembari diayun-ayunkan pelan.

Aku segera mengalihkan pandangan, tak berminat jika harus berhadapan dengan arwah baru. Karena sekali saja melakukan kontak mata dengan arwah, maka seterusnya arwah itu akan mengikuti.

"Saya bercanda. Kamu duduk lagi aja. Saya mau cari Heni sama Nila dulu. Udah mau gelap gini jugaan," ucapku seraya bangkit dari duduk. Hendak melangkah, tetapi tangan Argan menahanku.

Aku melayangkan tatapan bertanya, entah ia takut atau tidak, yang jelas raut wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda takut.

"Beneran gak ada apa-apa 'kan?" tanyanya, memastikan. Tak absen kepalanya menoleh ke sana ke mari.

"Gak ada. Itu lihat, ada orang masih duduk di berugak. Jadi slow aja, gak ada apa-apa," kataku berusaha agar ia tak takut. Padahal perkataanku mengatakan sebaliknya. Tepat di samping berugak, ada laki-laki paruh baya dengan wajah menghitam. Sosok itu berdiri mengamati tiga orang yang tengah bercengkrama di berugak.

Aku meneguk ludah, mati-matian untuk menutupi rasa takutku. Aku kembali menatap Argan, "Udah ya, aku ke atas dulu. Lagian kamu ini cowok, masa takut sama hal begituan," selorohku membuat laki-laki itu mencibir.

"Jangan lama-lama. Ini udah mau gelap, bentar lagi magrib nih," peringatnya yang kubalas dengan anggukan saja. Lalu pergi dari hadapannya, meninggalkannya bersama laptop milik Heni.

Aku melangkah ke gedung C. Selanjutnya mulai menaiki tangga satu per satu. Jujur, aku gemetaran menapaki tangga, karena di sudut tembok ada sosok Miss Kun yang berdiri dengan wajah tertutup rambut panjangnya. Jangan tanyakan bagaimana aku berusaha menghindari kontak mata dengan sosok itu.

Aku menghela napas lega ketika sudah sampai di lantai 2. Namun, kelegaanku tadi tidak berarti apa-apa. Lagi-lagi aku menghindari kontak mata dengan makhluk-makhluk yang ternyata bersemayam di lantai dua ini. Tak terkecuali anak kecil yang masih setia duduk di kursi pembatas.

Tak ingin mengeluarkan banyak tenaga karena berhadapan dengan makhluk tak kasat mata, aku beranjak kembali menapaki tangga menuju lantai 3. Lagi, aku rasa mentalku harus benar-benar terasah untuk berhadapan dengan mereka.

Sesampainya aku di lantai 3, aku segera menuju kelas yang tasi kami gunakan. Tepat seperti dugaan, kedua cewek itu terkunci dari luar. Aku lantas menggeser pengait pintu yang menguncinya. Baru kemudian membuka pintu itu.

Begitu pintu terbuka, Heni dan Nola segera keluar. Wajah mereka terlihat pucat pasi. Aku meringis melihatnya, seperti tengah melihat diri sendiri.

"Kenapa bisa ke kunci?" tanyaku basa-basi, padahal tak perlu dijelaskan, aku tau siapa pelakunya.

"Gak, nanti aku ceritain, Gus. Sekarang ayo, ke bawah dulu!" Nila berseru panik. Ia menarik Heni yang juga terlihat sama, segera menuruni tangga.

Aku segera mengekor, tak ingin bertemu dengan arwah anak laki-laki yang berjalan pincang itu. Arwah yang tak pernah absen mondar-mandir di depan kelas ini.

Begitu sampai di bawah, Heni dan Nila menghampiri Argan yang sibuk dengan ponselnya. Hal itu patut aku syukuri, karena laki-laki itu tidak menunjukkan raut takut seperti sebelumnya.

"Kalian kenapa?" tanya Argan menatap keduanya bergantian. Lantas balik menatapku, meminta penjelasan.

Aku mengedikkan bahu, tak ingin membahasnya lebih lanjut. Sebab aku juga tak begitu tahu kejadiannya.

"Mending kalian langsung pulang aja. Bentar lagi magrib, gak baik cewek masih berkeliaran malem-malem. Yang tadi gak usah diingat, jadiin pelajaran aja buat gak ke sana kalo udah sore," kataku memberi wejangan pada Heni dan Nila. Wajah keduanya masih pucat. Aku yakin pasti mereka sangat syok karena baru kali ini mengalami hal seperti ini.

"Iya, makasih ya, Gus. Kami pamit dulu, " ucap Heni yang segera menarik Nila agar meninggalkan kampus.

"Jangan tanya apa-apa, Gan, kalo gak mau takut," tahanku saat Argan membuka mulutnya.

Laki-laki itu menatapku sinis, tetapi tak ayal ia kembali membungkam mulutnya. Melakukan hal yang benar untuk tidak membicarakan hal gain malam-malam begini.

"Ya udah, ayo ke masjid. Keburu adzan," ajaknya seraya bediri.

Aku mengangguk, ikut melangkah melewati koridor gedung C, yang menghubungkan langsung dengan parkiran.

***



Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang