▪︎ 9. Bantuan Budi ▪︎

45 20 0
                                    

Tengah malam😂

Happy reading~

***

Dua jam yang lalu, aku dan bang Budi berhasil meyakinkan keluarga Gio untuk kembali membuka kasus kematian Gio. Kini aku tengah berada di kantin FKIP bersama bang Budi yang juga ada kepentingan di kampus hari ini.

Laki-laki berlesung pipi itu sedang sibuk dengan makanannya. Pun sibuk juga dengan buku tebal mirip kamus terjemahan Inggris - Indonesia itu.

Aku menyipitkan mata untuk membaca bagian sampul tegaknya. Setelah membaca judulnya, aku mengalihkan pandangan karena tak minat melihat hal berbau kimia.

"Kenapa Gus?"

"Apaan Bang?" tanyaku balik. Apa dia dari tadi memperhatikanku yang sedikit kepo dengan buku tebal itu?

"Kamu suka kimia?"

Aku mendelik. Boro-boro suka kimia. Kelasnya pun terkadang aku skip dengan izin ke toilet sampai batas waktu tertentu. Eh, pengecualian untuk hari di mana minggu lalu. Maklum hari itu pikiranku terlalu banyak. Jadi, melamun adalah pekerjaan wajibku.

"Dari jawabanmu, berarti gak suka ya," katanya yang kubalas dengan anggukan. "Kenapa gak suka kimia?"

"Saya pusing Bang, kelihatan riwet banget. Mana harus menyeimbangkan reaksinya," ucapku seraya menganggukan kepala.

Jujur saja, aku menolak jika harus berurusan dengan kimia. Seolah-llah menjadi hal yang paling berbahaya.

"Itu mudah aja kok kalo mau belajar. Lagian kan sewaktu-waktu, kimia juga perlu dalam pekerjaan."

Aku mengangkat sebelah alis, "Pekerjaan seperti apa?"

"Peracik obat?" Jawaban bang Budi terdengar ragu. Ia mengangkat bahu, "Ilmu yang manfaatnya lebih dari itu."

"Bang, daripada kita bahas kimia, mending side jelasin Kenapa keluarga Gio mau buka kasus.

Bang Budi terlihat menghela napas. Aku mengernyit, "Apa taruhannya?"

"Fakta menarik yang akan kamu kuak sendiri, Gus. Itu taruhannya."

"Maksud side gimana?" tanyaku tak paham dengan penuturannya.

"Entahlah. Tapi kayaknya kamu pulang ini harus minta kejelasan cerita sama Gio," katanya membuat aku tersentak.

Bukan apa-apa, tapi rasanya aneh jika ada orang lain yang ternyata tau bahwa aku bisa melihat makhluk tak kasat mata. Terlebih lagi bisa berbicara secara langsung dengan para arwah itu.

"Tapi Bang, saya penasaran deh. Kenapa side terbiasa dengan fakta yang saya jabarkan? Apa memang side pernah—"

"Saya pernah punya temen bisa lihat sesuatu. Jadi pas kamu cerita kemarin, saya jadi yah gak aneh. Lagian dalam hal ini memang berguna untuk mengungkap kasus itu kan?"

Refleks, aku mengangguk. Kalimatnya benar, tetapi entah kenapa aku merasa ganjal.

"Siapa temen side yang bisa lihat hantu?" tanyaku akhirnya menyuarakan isi pertanyaan dalam otakku. Tak ingin penasaran lebih dalam.

"Orang yang pengen kamu selidiki kasusnya," jawab bang Budi santai. Reaksiku yang malah sebaliknya.

Aku tidak bisa tidak terkejut. Satu fakta lagi berhasil membuat bulu kudukku meremang. Padahal di sekitar kami terang, pun tidak sepi.

Aku mengalihkan pandang dari bang Budi ke seluruh penjuru kantin. Memperhatikan satu per satu kegiatan manusia yang ada di sekitarku.

Aman. Tidak ada yang salah. Hanya saja, aku mulai overthingking. Entah kenapa jadi begini.

Aku kembali menatap bang Budi, yang kini selesai dengan acara makannya. "Kamu mau nanya apa lagi? Kita masih di kantin, kalo kamu lupa," katanya membuat bergumam.

Tentu saja aku ingat. Ya kali diriku mau buka kartu di sini. Bisa berabe.

"Saya udah selesai. Saya akan kirim file yang kamu butuhkan itu nanti malam. Kamu bisa cek email nanti."

"Oke, Bang. Nanti saya ingetin lagi kalo udah sampai asrama," kataku asal.

Bang Budi terkekeh pelan, "Kamu terlalu antusias. Saya ingetin ya, gak melulu ingatan hantu itu benar. Kadang ada salahnya, meski kurang dari lima puluh persennya."

"Ya udah. Saya pamit." Belum sempat aku menjawab, Bang Budi langsung berlalu dari hadapanku.

Aku masih menatap punggungnya yang menjauh, ada rasa lega yang tertanam di hatiku karena reaksi bang Budi tidak buruk, saat tau bahwa aku indigo. Ternyata tidak seluruh yang aku pikirkan.

Setelah melihat presensi bang Budi tak terlihat, aku bangkit dari duduk. Lantas berjalan menuju kasir untuk membayar makananku tadi.

***


"Bagaimana?"

Aku mengangkat bahu. Aku masih sibuk dengan artikel tugasku. Namun, Gio sepertinya tidak sabaran dengan pekerjaanku hari ini. Hal itu membuat aku menghela napas, lalu mau tak mau menggeser diri. Mempersilakan ia melihat ke arah layar monitor laptopku.

"Ini." Aku mengalihkan artikel itu, kini menampilkan sebuah informasi berita tentang kampusku dari tiga tahun yang lalu sampai sekarang.

Arsip berita ini membuatku benar-benar salut dengan kemampuan bang Gio. Tak heran kenapa ia bisa menjabat sebagai ketua HMPS Biologi. Otaknya encer dan mempunyai kemampuan mematahkan argumen orang.

"Tidak ada yang berkaitan dengan asrama."

Benar. Seolah berita itu sudah diatur untuk tidak ditampilkan di arsip tersebut.

"Temenmu itu gak curang kan?"

Aku menggeleng, mana mungkin bang Budi curang. Lagipula jika curang, ia tak akan lelah-lelah membuat daftar panjang ini.

"Kamu bisa tanya temenmu itu gak mengenai ini?"

Aku mengernyit, menatap setiap keterangan tentang berita yang ditampilkan. Pasalnya arsip ini terlalu lengkap, hanya saja memang tidak ada pembahasan seputar asrama.

"Kayaknya bakal sedikit susah gak sih?" tanyaku balik pada sosok yang kini berpindah ke samping meja belajar.

"Tergantung usaha yang kamu kerahkan."

Aku mendelik, meski sudah menjadi hantu pun rupanya Gio ini memang menyebalkan. Untuk yang satu ini, fakta dari bang Sio memang berguna.

"By the way, apa ada alternatif lain dari arsip berita ini sebagai sumber informasi?"

"Ada. Tapi ..." Aku mendadak ragu, teringat perkataan bang Budi siang tadi.

"Tapi apa?" Sosok di hadapanku menatapku dengan penuh tanya. Membuat aku menggeleng sebagai jawaban.

"Nanti saya kabarin."

***




Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang