▪︎ 14. Heni Tahu ▪︎

44 16 0
                                    

Hayooo~

Semoga masih stay ya sama cerita ini👀

Hapoy reading • _ •

***


Seminggu setelah berbicara dengan Haju, aku kini sedang menunggu pendapat dari bang Budi. Sebab aku harus bertanya detail tentang siapa Gio sebenarnya. Siapa Haju dan siapa pacar yang disebutkan Gio kala itu. Persetan dibilang kepo, karena bertanya pada Gio terlalu banyak tebak-tebakannya yang mana membuat kepalaku bertambah pening.

Hari ini saja sudah cukup dibuat pusing oleh Heni yang marah-marah karena aku tidak ikut andil dalam tugas bahasa Inggris kemarin. Belum lagi Argan yang juga ikut misuh-misuh. Yah, meski itu memang salahku karena Argan ikut kena getahnya. Untungnya laki-laki berambut ikal itu tidak sampai unfriend denganku. Namun, aku mendapat tugas khusus dari Heni untuk mengumpulkan tugas kami ke pak Didit secara langsung.

Aku menghela napas pelan, menunggu bang Budi di kawasan perpustakaan membuatku bosan. Padahal aku sudah diwanti-wanti oleh Heni agar segera ke ruang dosen prodi bahasa Inggris di gedung E. Apalagi sebentar lagi jam 11, takutnya pak Didit nanti tidak ada di ruangannya.

Aku membuka ponsel, melihat pesan yang masuk. Aku mengeluh tertahan, harusnya dari tadi bang Budi menghubungiku saja jika ia tak bisa datang. Aku sudah menunggu dari jam 9 lebih, sampai kering gigiku menunggunya. Eh, dianya tidak datang. Jika ini agenda kencan sih, sepertinya aku akan jadi orang yang paling overthingking karena pasanganku malah tidak datang. Ck, untung aku yang butuh pada bang Budi ini, jika tidak mah aku bakalan pundung.

Aku beranjak dari duduk, lalu mulai melangkah meninggalkan kawasan perpustakaan. Melewati koridor di belakang Pustik agar sampai di FKIP. Sebab motorku terparkir di FKIP.

***

Setelah selesai mengumpulkan tugas ke pak Didit, aku kini ditahan oleh Heni di meja bundar samping gedung C. Untung tidak ada presensi pak tua yang sering duduk di balik semak itu sekarang, jika ada, wah sepertinya kali ini aku tidak bisa mengontrol diri untuk berkontak mata dengannya.

“Bagaimana, Gus?”

Aku menoleh, lupa jika Heni di hadapanku. “Apa?” Aku ikut bertanya karena tidak tahu apa yang ia bahas.

“Tugasnya.”

Aku mengangguk, tentu saja sudah sampai ke tangan pak Didit. Meski mendapat siraman siang yang masuk telinga kiri dan sampai ke ulu hati saking nyelekitnya. Namun, ya sudah, tidak apa-apa. Lagian itu juga salahku yang kurang bertanggung jawab.

“Gak dimarahin?”

Aku mengernyit, apa nih? Kok tumben nanya?

Heni tersenyum tipis, “Aku bersyukur kalo kamu dimarahin, supaya jera.” Ia kembali menikmati es boba traktiran dariku, yang sebenarnya lebih cocok disebut palakan.

Oh, itu. Aku kira apa, hei!

Aku memang dimarahi, tapi ya tidak perlu lapor juga pada Heni. Memang dia siapaku sampai harus lapor? Adanya malah dia semakin gencar menceramahiku untuk lebih rajin lagi.

“Oh iya, ada yang mau saya tanyain,” kataku teringat sesuatu.

“Apa? Jangan aneh-aneh,” sahutnya yang membuatku mendelik. Dia mengira aku akan bertanya apa, heh?

“Gini, kamu kan cewek ya.” Dia mengernyit, tetapi kemudian mengangguk. “Kamu pasti tahu dong berita di kalangan mahasiswa biologi? Biasanya itu, cewek rempong kan, serba tahu pula.”

“Masalah kasus mahasiswa bundir itu?”

Aku menjentikkan jari. Tidak heran jika cewek satu ini mengetahuinya, apalagi ia akrab dengan senior di organisasi. Kurang lebih samalah sepertiku dan Argan.

“Kenapa? Kamu terlibat?”

Aku mengumpat tanpa suara. Meski memang benar, tetapi sorot matanya yang menatapku seolah mengatakan bahwa aku termasuk yang patut dicurigai.

“Kalo begitu kenapa kamu nanyain?” tanyanya, seolah telah membaca isi pikiranku.

“Saya mau tanya tentang senior cewek yang kamu kenal. Ada sesu–“

“Kamu ada naksir senior?” tuding Heni yang justru membuat aku terkejut. Bisa-bisanya ia menganggap aku bertanya karena hal itu.

Aku menggeleng cepat, enak saja dikira naksir senior. “Kamu ada kenal namanya Paramitha?”

Heni menggeleng pelan, “Gak ada nama Paramitha, tapi kalo Mita ada.”

“Ada fotonya?” tanyaku penasaran. Bukan tanpa alasan aku menanyai perihal senior ini, tapi Haju memberitahuku bahwa pacarnya Gio bernama Paramitha.

“Gak ada sih, tapi coba aku cek media sosialnya dulu. Kemarin sempat mutualan,” ucap Heni seraya mengecek ponselnya.

“Tapi kamu ada urusan apa sampai nanyain dia? Kalo bukan suka, berarti ada sesuatu dong.”

Aku mengangguk, sepertinya jika menceritakan hal ini pada Heni tidak apa-apa kan?

“Ini yang kamu maksud, Gus?” Heni menunjukkan foto seorang perempuan dengan pakaian ala-ala Korea, sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya yang tadi.

Aku meraih ponsel itu dari tangan Heni. Mencoba mencocokkannya dengan foto yang ada di ponselku. “Menurutmu, apa mereka orang sama?”

Heni mendekat, ikut membandingkan dua foto itu. Ia bertopang dagu dengan wajah serius menatap layar. Aku jadi salah fokus memperhatikannya yang terlihat cantik dari dekat begini. Segera saja aku mengalihkan pandang, agak malu jika ketahuan memperhatikannya dengan cukup lekat.

“Beda, Gus. Meski terlihat mirip, ... “ Suara Heni membuat aku menoleh lagi pada foto. Cewek itu mengernyit, pun kembali membandingkan kedua foto.

“Gus, apa kamu ... ikut nyelidikin kasus itu?”

Aku mengangguk pelan, sepertinya tidak ada yang perlu kusembunyikan. Jika ingin meminta bantuan pada gadis ini, maka aku harus menjelaskan detailnya.

Heni menutup mulutnya dengan telapak tangan, menatapku dengan mata melebar. “Serius?”

Aku mengangguk lagi, buat apa aku berbohong.

“Terus, kamu sekarang lagi nyelidikin yang mana?” Tatapan Heni masih terlihat tak percaya, tapi aku yakin ia sama penasarannya denganku.

“Lagi cari saksi, arwah itu nyaranin untuk jadiin pacarnya sebagai saksi.”

“LOH?!”

Aku ikut terlonjak, memangnya aku salah bicara?

“Kamu ... “ Lagi, gadis ini menutup mulutnya, mengerjap beberapa kali. “Bisa lihat mereka?”

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku kira tadi ia sudah menangkap makna tersirat dari semua yang ia tanyakan. Pantas saja ia terlihat santai, ternyata ia tak tahu jika aku indigo.

“Pantesan aja waktu itu kamu bilang bisa bauin melati,” ucap Heni yang sepertinya sudah kembali dari keterkejutannya.

“Untuk yang itu sih, saya gak lihat. Cuma nyium aromanya saja. Kayaknya dia lemah, makanya gak nampakin wujudnya,” jelasku membuat ia mengangguk-angguk kecil.

Dahiku terlipat menatapnya, “Kamu gak takut?”

Heni terkekeh, seperkian detik menatapku datar. “Takutlah kampret!” selorohnya yang kutanggapi dengan ber-oh.

Aku kira dia tidak takut. Mengingat sifatnya yang cuek terhadap hal-hal mistis seperti itu.

“Oh iya, kamu mau bantu gak?”

***

Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang