▪︎ 22. Bang Jihad Ikut? ▪︎

44 19 0
                                    


Yuhuu tengah malam dong, senggol seng😂

Btw happy reading gaiseee^^


***

Aku menggeleng, “Saya ... kayaknya–“

“SIO!”

Aku dan bang Sio kompak menoleh ke arah pintu kamar yang dibuka kasar. Di sana berdiri bang Jihad yang sedang mengatur pernapasannya. Alisku bertaut, apakah bang Jihad berlari dari kosnya menuju ke sini?

“Apa, Jihad?” sambut bang Sio pada bang Jihad yang akhirnya duduk setelah bang Sio mempersilakan.

“Bentar, minta air dulu!”

Bang Sio tak protes, ia memberikan air botol yang masih tersegel itu kepada bang Jihad. Laki-laki yang cool nan pedas itu meneguk airnya sampai tersisa setengahnya. Baru setelah merasa lega, ia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Lantas menatap kami bergantian.

“Gusta,” panggilnya membuat aku menaikkan sebelah alis, menunggu hal apa yang akan ia bicarakan.

“Saya ketemu Paramitha, tapi ...”

“Tapi apa?” sahut bang Sio yang sepertinya sama penasarannya denganku.

Aku tahu bang Jihad tidak ingin terlibat dengan kami, tetapi aku memintanya untuk mengabari jika ia menemukan Paramitha. Dan sesuai kesanggupannya, ia datang untuk memberitahu kami. Namun, entah hal apa yang ia ketahui tentang Paramitha. Rautnya terlihat seolah tak percaya dengan sesuatu yang akan ia beritahukan.

“Kalian jangan kaget ya, cukup saya saja.” Aku dan bang Sio saling pandang, lantas menatap bang Jihad, lalu mengangguk kompak.

“Saya ketemu dia, tapi tanah gundukannya,” ucapnya yang benar-benar membuat kami tercengang. “Tuh kan, saya bilang jangan kaget,” selorohnya terlihat kesal.

“Ciusan ini kamu nemu kuburannya? Bukannya kata Budi dia masih hidup?” tanya bang Sio masih memelototkan matanya tak percaya.

“Ngapain saya bohong, saya tadi pagi gak sengaja ketemu ibunya di TPU. Tahu kan desa saya sama dia satu tempat pemakaman karena satu kelurahan,” ucap bang Jihad menjelaskan.

“Budi gitu yang bohong?” Bang Sio menoleh ke arahku. Seolah meminta pendapat atas prasangkanya.

Aku mengangkat bahu, tak tahu pasti. Rasa-rasanya kepalaku penuh dengan fakta mengejutkan ini. Belum selesai satu, eh tumbuh satu lagi. Entah nanti akan ada lagi atau tidak, membayangkannya saja rasanya melelahkan.

“Saya rasa Budi gak tahu. Dia juga jauh dari keluarga Paramitha,” sahut bang Jihad mengambil alih atensiku.

“Kenapa side yakin?” tanyaku tiba-tiba merasa aneh dengan bang Jihad yangg biasanya netral, malah jadi memihak.

Bang Jihad menggeleng, “Dia selalu punya alasan atas tindakannya.”

Aku diam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sejujurnya, kebingunganku kini bertambah.

“Gus, kayaknya kamu balik aja, tanya ke Gio. Gak mungkin dia gak tahu kalo pacarnya udah meninggal,” ujar bang Sio, ia menatapku prihatin. Sepertinya kasihan dengan masalah yang kutanggung.

Aku mengangguk lemah, setuju untuk pulang. Aku juga merasa lelah, butuh mengistirahatkan pikiranku yang kusut. Dan malamnya, aku harus bisa berbicara dengan Gio. Harus menanyakannya secara tuntas.
Akhirnya, aku pamit pada bang Jihad  dan bang Sio. Setelahnya aku berlalu dari sana, kini tujuanku adalah rumahku yang berada di Lombok Tengah.

***

Aku mengamati matahari yang semakin bergerak ke barat serta warnanya yang semakin menggelap dari kuning cerah menjadi jingga. Aku duduk di teras rumah, ditemani sosok hantu anak kecil yang sudah menjadi temanku sejak masuk SMP.

Aku masih bergeming, menikmati angin semilir yang menggoyangkan anak rambutku. Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

Aku menoleh saat mendengar suara lirih itu memanggil namaku. "Kenapa?"

"Masalahmu udah selesai?"

Bibirku tertarik ke atas membentuk lengkungan tipis sebagai jawaban atas pertanyaan sosok di sampingku itu.

"Lihat dari ekspresimu sih kayaknya tambah ribet ya. Lagian kenapa kamu mau bantu dia?"

Aku menggeleng, tak tau juga. Mungkin karena merasa terbiasa bergaul dengan hantu?

"Kalo susah banget, mending lepas aja. Gak usah memberatkan diri dengan hal yang bukan urusan manusia. Karena semua hantu memang menyebalkan. Kecuali aku ya," ujarnya lagi yang kini membuatku mendecih. Ternyata hantu juga bisa percaya diri ya.

"Aku bener kok, Gus. Meskipun aku kayak hantu anak kecil, tapi semua fase kehidupan manusia udah aku lihat. Jadi, yah gak heran kalo aku lebih tua dibanding kamu."

Aku mengangguk-angguk kecil, mengiyakan saja perkataannya. Toh, dia ada benarnya juga. Meski terlihat seperti anak kecil, tetapi pikirannya sangat luas seperti layaknya orang dewasa.

"Em, tapi Ron, apa kamu pernah denger hantu yang neror orang sampai keluar dari wilayahnya sendiri?" tanyaku, penasaran dengan pemikiran yang tiba-tiba terlintas kepalaku.

"Mungkin bisa aja, tapi aku rasa itu sulit, Gus."

Aku mengernyit menatapnya, "Sulit gimana?"

"GUSTA! INGET, JANGAN NGOMONG SENDIRI LAGI!"

Aku mendecak mendengar suara dari dalam rumah. Pasti ibu sudah mengira jika aku akan mengobrol lagi dengan Ron.

"Karena ibu manggil, aku pergi ya. Mau bobo ganteng," ucap Ron, sosok bocah laki-laki yang sedari tadi mengobrol denganku.

Aku mengangguk, ikut beranjak. Bedanya aku masuk ke rumah untuk menghampiri ibu yang tadi memanggilku.

"Bu," panggilku begitu melihat presensi ibu yang ada di dapur.

"Kamu beneran balik ke Mataram abis magrib ini? Kenapa gak besok aja sekalian?"

Aku menggeleng pelan, "Ndak bisa, Bu. Besok ada jadwal pagi, biar gak kelimpungan," jawabku jujur. Yah, meski alasan utamanya adalah akan berbicara dengan Gio malam ini.

Ibu menghela napas panjang, tetapi kemudian ia tersenyum menatapku. "Oke, gak apa-apa, asal kamu gak berurusan sama hantu lagi. Janji?"

Aku meringis pelan membalas tatapan penuh harap dari ibu. Mau tak mau aku  mengangguk, sembari dalam hati berjanji untuk melakukan pemecahan kasus untuk yang terakhir kalinya. Setelahnya aku akan berusaha mengabaikan segala jenis hantu yang berdatangan.

"Eh, tapi gak ada yang ganggu kan?" tanyanya melihat aku yang hanya diam setelah menyetujui janji tadi.

"Aman, Bu."

"Ibu gak percaya, jadi Ibu siapin ini buat kamu." Ibu menyerahkan sebuah kalung dengan bandul kain yang entah apa isinya. "Ini isinya bawang putih kering, insyaallah bisa meminimalisir hantu mendekat," lanjutnya sambil menunjuk benda yang sekarang berpindah ke tanganku.

"Oke, Ibu siapin makan dulu ya." Wanita paruh baya yang sangat berjasa atas hidupku itu berbalik memunggungiku. Mulai menyalakan kompor, sepertinya menghangatkan tumisan toge tadi pagi.

Sementara itu, aku beranjak duduk di tikar rotan yang memang tersedia di sudut ruangan sebagai tempat makan. Baru saja aku duduk, ponselku tiba-tiba berbunyi.

Alisku terangkat sebelah menatap layar yang menampilkan nomer pribadi. Aku menolehkan kepala ke arah ibu yang masih sibuk, sebelum akhirnya aku memberanikan diri mengangkat telepon tersebut.

"Kamu tau kan siapa saya?"

Jantungku mencelos begitu saja mendengar suara di seberang. Suara beberapa waktu lalu yang juga menggunakan nomer pribadi untuk menelepon ke ponsel bang Sio. Bukankah kata bang Sio bahwa itu Paramitha?

***





Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang