Seperti judul, berdoalah sebelum makan:)
***
Semalam, tidak ada gangguan lagi dari seperti kamis kemarin. Tentu saja tidurku jadi nyenyak. Aman, tenteram dan bahagia rasanya. Namun, anehnya aku merasa tidak enak. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Terlebih lagi setelah mendapati sebuah kertas usang dengan tulisan semerah darah.
Tolong saya.
Begitulah isinya. Tak ada tulisan penjelasan lainnya, membuat aku tidak terlalu paham. Walau memang di awal dia pernah memintaku untuk membantunya mengungkap kasus kematiannya. Namun, karena aku enggan berurusan dengan arwah, makanya kutolak. Dan tanpa disangka, kehidupanku selama tiga minggu lebih ini berubah bagai kejatuhan meteor. Panas, sakit, dan ingin menyerah. Untungnya aku masih bisa berpikir waras, sehingga sampai saat ini masih bisa berdiri di atas tanah.
"Mas Gus, kemarin nasinya kok ditinggal? Terus pas jumat tak cari-cari, eh malah gak ada dateng."
Aku menoleh saat suara bu Sumariah terdengar. Aku mengangguk sekilas, "Nggih, Bu, kemarin lagi sibuk banget. Biasa, ngurus organisasi," jawabku sambil melayangkan senyuman.
"Loh, kok gak ngasih tau?" Bukan bu Sumariah, melainkan Argan yang bertanya.
Aku melirik pemuda itu sinis. Bukan apa-apa, tetapi ia suka sekali datang ke asrama tanpa diundang. Mana jika datang malah tidak mau masuk ke kamar. Katanya, "Saya merinding lihat kamarmu, Gus. Mojok banget kek tuyul kalah taruhan."
Saat itu aku hanya mencibirinya, tetapi kali ini ada benarnya. Sebab jika ia masuk ke kamar itu, aku tidak yakin bisa mencegah Gio melakukan sesuatu terhadapnya.
"Mulanya saya mau kasih tau besok, tapi kebetulan kamu dateng ke sini ya jadi sekalian aja," jawabku setelah menelan kunyahan.
"Memangnya mahasiswa baru sudah diizinkan terjun, Mas Gus? Kemarin saya denger dari Mas Enang yang makan di sini, mahasiswa baru belum ada terjun untuk organisasinya. Palingan masih jadi anggota bawang doang," sambut pak Awil seraya meletakkan dua gelas es teh ke atas meja kami.
"Bener, Pak. Cuma ya, karena organisasi kami merupakan kumpulan mahasiswa biologi, jadinya ya kayak di-gejoh buat aktif dari awal." Argan menyahuti, dengan tangannya bergerak mengambil salah satu gelas. Lantas meminumnya hingga tersisa setengah.
"Kakak ganteng, temennya rakus juga ya, hihihi ..."
Aku melengos, arwah anak kecil penunggu kamar mandi itu entah kenapa suka sekali berada di kantin. Terlebih lagi dengan situasi diskusi seperti ini. Seolah tidak ingin menghilangkan kesempatan mencuri dengar apa yang tengah dibicarakan oleh manusia.
Setelahnya Argan mulai berbicara panjang lebar dengan pak Awil, sementara bu Sumariah kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan dua orang penghuni asrama yang datang.
Aku lanjut menyantap makananku. Ikut menyimak pembicaraan Argan dan pak Awil. Meski menyimak, aku tak paham apa yang sedang mereka bicarakan.
"Kakak ganteng, makanannya boleh buatku lagi gak?"
"Memang hantu bisa makan?" gumamku sepelan mungkin. Takut tertangkap basah tengah berbicara dengan hantu.
"Bisa kok, Kak. Sarinya aja, makanya ada anjuran baca doa sebelum makan."
"Oh, ternyata kamu setan ya," kataku menganggukkan kepala berulang.
"Beda. Aku jenis yang bisa dilihat, kalo yang Kakak sebut tadi itu tingkat atas."
Aku manggut-manggut mendengarkan. Anehnya tak mendengar lagi pembicaraan Argan dan pak Awil, malah lebih tertarik mengobrol dengan makhluk halus di sampingku ini.
"Bedanya apa?"
"Tadi kan udah aku bilang, Kak. Bedanya ya itu."
"Kalo kalian menggoda juga gak? Maksud saya, kalian goda manusia supaya buat dosa gak?" tanyaku, masih dengan gumaman pelan.
"Tergantung Kak, kalo manusianya bisa dimasukin ya bisa."
Aku kembali mengangguk, ternyata begitu. Namun, aku tidak sepenuhnya percaya, karena memang sifatnya setan itu menyesatkan.
"Mas Gus, kamu dari tadi ngomong sendiri?"
Aku tersedak, buru-buru mengambil gelas es teh di hadapanku. Pun buru-buru menggeleng. "Bukan, Pak, ini saya lagi ngomong sama temen," kataku segera menunjukkan earphone bluetooth yang terpasang di telingaku. Buat jaga-jaga jika kejadian seperti ini terlihat oleh orang.
"Astaga, saya kira kamu ngomong sendiri, Gus. Sama siapa tuh?" timpal Argan dengan ekspresi penasarannya.
"Heni," sebutku asal. Maaf Heni, namamu kujual dulu ya. Urgent.
Aku melirik anak kecil yang masih duduk di sampingku. Ia terkikik, "Bohongnya natural ya, Kak."
Aku melengos, sebal juga karena mendengarkan ia berceloteh. Mana sampai ketangkap dua orang ini pula.
Argan berdehem keras, "Deket nih rupanya?" godanya sambil menaik-turunkan alisnya.
"Siapa yang deket? Orang dia cerita kejadian kamis sore kemarin," sanggahku mengarang cerita. Sudahlah, sudah basah, nyebur aja sekalian.
"Siapanya Mas Gus emang?"
Aku tersenyum tipis––tipis sekali, sampai tidak kelihatan. Itu karena lupa jika pak Awil masih berada di tengah-tengah kami.
"Mungkin bentar lagi jadi pacarnya Pak." Bukan aku yang menjawab, melainkan Argan. Pemuda itu sepertinya senang sekali membuat aku harus bersabar setebal kamus bahasa Inggris.
"Gak, gak ada, Pak. Ini cuma temen kok. " Aku langsung menyanggah mentah-mentah, enak saja dituduh-tuduh memiliki rasa pada gadis berponi rata yang juteknya minta ampun. Bisa gila aku menghadapi kejutekannya yang tidak manusiawi itu.
Argan tertawa, sedangkan pak Awil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Anak muda, anak muda."
"Pak, bantuin bentar!" Seruan dari balik etalase membuat pak Awil bangkit. Ia pamit meninggalkan kami yang sudah selesai dengan makanan masing-masing.
Setelah pak Awil pergi, Argan menatapku dengan penuh tanda tanya. Setidaknya itu yang aku tangkap dari raut menyebalkannya itu.
"Dia cerita apa?" tanyanya sambil menatapku serius.
Aku menggeleng, "Kamu mending tanya sendiri aja ke Heni."
"Ck, pelit amat! Dia bilang emang gak boleh disebar?"
Aku menggeleng lagi, kali ini menoleh sekilas ke arah pak Awil dan bu Sumariah yang sibuk dengan pesanan beberapa pengunjung. Baru kemudian membalas tatapan penasaran Argan. "Kamu yakin gak bakal takut pas ada kelas nanti di gedung C?"
Argan berdecak lagi. Ia melengos. Sepertinya mengurungkan keingintahuannya terhadap cerita karanganku. Yah, walau tidak semuanya karangan, masih ada faktanya. Fifty fifty lah ya.
"Dahlah, saya mau pesan jajanan dulu." Argan beranjak, ia menuju depan etalase.
Aku hanya melihatnya sebentar, lantas kembali menoleh pada anak kecil yang masih setia pada tempatnya. "Kamu gak berniat pergi?"
"Masih banyak gosip yang harus aku dengar, Kak. Nunggu mangsa selanjutnya hihihi ..."
Ia melayang menuju meja sebelah. Di sana ada dua penghuni asrama lantai dua––jika tidak salah mengira. Keduanya sibuk bercengkrama entah apa. Aku tidak terlalu peduli, tetapi yang membuat aku syok adalah kelakuan anak kecil itu yang duduk di atas meja mereka sambil menyantap nasi milik salah satu dari mereka.
Anak itu menatapku. Ia tersenyum, menampilkan gigi-gigi putih seputih wajah dan tubuhnya. Lebih tepatnya pucat sih.
"Dia gak baca doa, Kak, hihihi ...."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...