▪︎ 4. Jumat Kliwon ▪︎

68 22 6
                                    

Selamat membaca~





***


Malam jumat. Kliwon pula. Double kill.

Aku menghela napas pelan, melirik Argan yang santai saja memasang sepatunya di undakan masjid kampus. Ia tidak tau bahwa aku sedari tadi mati-matian tidak menoleh ke arah pohon. Tepatnya, bawah pohon.

Mulutku bungkam, tak menanggapi kalimat Argan yang entah apa. Fokusku terbagi. Antara menyiapkan diri untuk menghadapi 'sesuatu' di asrama, atau bertemu 'sesuatu' di jalan pulang menuju asrama itu.

"Gus, udah malam. Kamu gak balik?"

Kali ini telingaku berfungsi baik. Aku mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Argan tadi.

"Saya duluan ya, ternyata temen kos saya nitip makanan buat makan malam. Gak apa-apa 'kan kalo kamu balik sendiri ke asrama?"

Aku mendelik. Bisa-bisanya ia mengira aku akan takut balik sendirian. Yah, walau memang takut. Aku tidak bisa bohong. Terlebih lagi perempuan dengan bolongan di punggungnya itu sedari tadi memandang ke arah kami.

"Kamu tuh yang hati-hati. Jangan lupa baca ayat kursi pas naik motor," kataku dengan nada sinis. Sudah keduluan kesal dengan kalimatnya tadi.

Argan terkekeh, "Oke-oke. Mukanya jangan jutek kek gitu. Sepet banget kampret, pengen tak jagurin," ucapnya.

Aku melengos, menghadapi Argan itu sepertinya harus mempunyai kesabaran berlipat macam wafer tango. Harus ratusan.

"Ya udah, saya pamit. Besok kabarin aja kalo ada info dari Bang Budi atau Bang Lico tentang rapat HMPS itu," ujarnya seraya bangkit dari duduknya. Laki-laki itu kembali menunduk, memperbaiki lipatan celananya sebatas mata kaki.

"Yo, hati-hati."

Setelah itu, Argan berlalu dari hadapanku. Suara motornya masih bisa kudengar dari balik tembok masjid ini. Seperkian detik, aku tersadar makhluk di bawah pohon itu sudah tidak ada.

Aku mengerjap pelan beberapa kali. Lantas menengok ke sana ke mari guna memastikan makhluk itu sudah pergi. Tak ayal aku juga menatap ke dalam masjid yang terlapisi dinding kaca.

Beberapa jama'ah bahkan masih terlihat berdiam diri di dalam. Satu-dua juga berada di halaman masjid sambil bercengkrama. Hanya aku yang berada di undakan, tidak ada kerjaan selain mengamati keadaan sekitar. Guna memastikan tidak ada makhluk gaib yang berada di sekitar sini.

Setelah diam beberapa saat, aku akhirnya memutuskan untuk kembali ke asrama. Kali ini aku akan memilih jalan memutar, yakni melewati depan fakultasku. Terus melewati fakultas teknik dan barulah sampai di asrama.

Bukan tanpa alasan aku mengulur waktu untuk sampai di asrama. Meski salah satunya untuk menghindari Gio, juga untuk menghindari sosok kakek tua yang kerap duduk di tengah jalanan menuju sekretariat BEM.

"Apalah apalah." Aku bergumam begitu motorku melewati fakultas. Belum sampai di bibir gerbang utamanya, aku sudah merinding duluan. Sepertinya malam ini aku memang sial.

Aku mengerem mendadak saat sebuah polisi tidur membuat kepalaku terangguk keras. Hampir menabrak pohon jika saja tidak mengendalikan rem. Aku memberanikan menoleh ke belakang. Ke arah kebun biologi yang telah aku lewati.

Sial. Aku mengumpat dalam hati. Entah kenapa lupa dengan cerita seniorku minggu lalu tentang penunggu kebun biologi itu.

Sosok besar itu menatapku marah. Hal itu membuatku refleks menarik gas dan segera pergi dari sana.

Sesampainya di fakultas teknik, aku memelankan laju kendaraan. Menatap lurus ke depan, sebelum akhirnya menyipit saat menangkap sesuatu yang tak asing.

Lagi-lagi aku refleks mengumpat tanpa suara. Bisa-bisanya perempuan berbaju putih itu nongkrong di depan asrama. Mana di depan gerbangnya lagi.

Astagfirullah. Ingin rasanya aku teriak frustrasi. Namun, sangat disayangkan jika aku me-manuever motorku tiba-tiba. Sebab asrama sudah di depan mata.

Aku meneguk ludah dalam diam. Sepertinya malam ini memang keramat. Terlebih lagi hawanya sedang dingin-dinginnya. Terasa sekali vibes malam jumat kliwon seperti di film-film. Bedanya aku tidak diam kaku, meski rasa takutku masih ada. Terobos ajalah.

Aku bernapas lega, begitu motor yang kukendarai masuk ke halaman asrama. Setelahnya aku memarkirkannya tepat di sebelah toilet yang tentunya juga memiliki penghuni.

Seorang anak kecil berwajah pucat melambai ke arahku. Kira-kira ia berusaha 6 tahun jika dilihat dari ukuran tubuhnya yang pendek dan kecil. Sosok itu tersenyum, lantas kembali masuk ke dalam toilet itu.

Setelah dirasa tidak ada yang tertinggal, aku turun dari motor. Lalu melangkah masuk ke asrama.

Aku memilih berbelok ke arah kantin. Maklum perutku terasa lapar setelah melihat beberapa makhluk tadi. Setidaknya aku harus mengisi amunisi sebelum berhadapan lagi dengan Gio. Sebab aku merasa malam ini akan sangat panjang dengan berbagai makhluk yang berkeliaran.

"Pak, jangan pakai sambel. Yang kayak biasa aja," kataku memesan makanan. Setelah selesai memesan, aku duduk di bangku biasanya. Tepat menghadap etalase berisi berbagai lauk.

"Baru pulang, Mas Gus?"

Aku mengangguk sebagai respon atas pertanyaan wanita paruh baya yang berdiri di sebelah pak Awil, penyewa ruangan asrama yang ia ubah menjadi kantin.

"Kenapa anak-anak mahasiswa suka sekali pulang telat, Mas Gus?" Kali ini pak Awil yang bertanya. Ia meletakkan sepiring nasi berisi lauk-pauk di hadapanku.

"Biasa, Pak, menjelang pengangkatan pengurus baru organisasi bakal super sibuk." Aku menjawab seraya meraih piring. Lantas mulai menyantap makananku dengan tenang.

Pak Awil duduk di depanku. Ia menoleh ke sana ke mari. Kemudian menatapku dengan serius. "Mas Gus tau?"

Aku menggeleng, memangnya apa?

"Kamar yang Mas Gus tempati baru kali ini gak ada keluhan. Biasanya orang-orang yang menyewa selalu minta uangnya dikembalikan dan milih pergi dari asrama," kata pak Awil membuat aku mengernyit, penasaran.

"Bener kata Bapak, Mas Gus. Gak ada yang bertahan sampai sebulanan, cuma dua-tiga hari malah keluar," timpal bu Sumariah, istri pak Awil yang selalu mendampingi saat berjualan.

"Memang ada apa di sana, Bu?" Aku memberanikan diri bertanya, padahal sudah tau 'sesuatu' ada di sana.

"Kurang tau juga, Mas Gus. Tapi saran saya sih hati-hati aja, perbanyak zikir dan mengingat Allah agar terhindar dari bahaya," ucap bu Sumariah membuat aku hanya mengangguk pelan.

Tiba-tiba saja nafsu makanku jadi hilang membahas hal seperti ini.

"Mas Gus," panggil bu Sumariah membuat aku menoleh. "Mas Gus bisa lihat hantu?"

"Loh, emang iya?"

Aku tersenyum simpul, menggeleng pelan. "Gak bisa, Bu, Pak."

Bohong. Mana mungkin aku berani mengatakan bahwa aku bisa melihat mereka. Bisa-bisa aku dijadikan ustadz rukiyah part 2.

"Kakak ganteng, makanannya buat aku aja ya? Hihi ..."

Refleks aku menoleh ke belakang. Mendapati anak kecil di kamar mandi tadi.

"Kenapa Mas Gus?"

Aku menggeleng, "Gak ada, Pak. Saya balik ke kamar dulu ya," kataku lantas bergegas pergi dari sana. Persetan dengan nasiku yang masih tersisa, karena aku harus cepat bernegosiasi dengan Gio.

***


Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang