Yuhuuu sudah up lagi-!^^
***
Selesai diskusi dengan Heni kemarin, aku mengajak bang Sio untuk mengecek isi file yang masih dirahasiakan oleh bang Budi. Sebenarnya aku juga mengajak Haju, tetapi laki-laki semester 3 itu tidak bisa membolos kuliah karena sedang ujian lisan. Yah, aku sih tak apa, hanya saja ekspresinya yang cemberut kala itu membuatku tidak percaya bahwa ia memiliki julukan si cowok cool di prodinya.
"Kita mau periksa ini ke mana?"
Aku menoleh, "Saya janjian di sini. Gak apa-apa 'kan?"
"Kamu gak takut dia ikut kena teror?" Aku menggeleng, tentu saja itu menjadi kekhawatiranku awalnya. Namun, orang yang kumintai tolong mengatakan tidak masalah dengan teror yang kujelaskan.
"Wah, dia berarti pemberani ya," ucap bang Sio memuji orang itu.
Aku menggerakkan kepala, setuju. Bisa dikatakan memang orang ini mengambil risiko yang besar dalam pekerjaannya. Sebab, benar adanya jika uang kadang menjadi segalanya.
Netraku melebar kala melihat notifikasi di ponsel. Aku bergegas bangkit, menyambut orang itu yang memasuki gerbang indekos bang Sio.
"Loh? Al?"
Kuyakini seperempat siku terbentuk di dahiku, sambil menatap bergantian bang Sio dan orang yang dipanggil Al itu. "Side berdua saling kenal?"
"Nggih, saya kenal bang Sio karena masih satu kelurahan," jawab Al membuatku ber-oh panjang.
"Saya gak tau kamu pilih Al untuk buka file itu. Memang harus dibuka pake sandi ya?"
Aku mengangguk, sebenarnya aku tidak tau pasti teknik yang dipakai. Memang benar file itu menggunakan sandi, tetapi beberapa kali kucoba untuk membukanya malah tetap tak bisa. Sehingga aku berpikir bahwa sandinya mungkin cukup rumit.
"Boleh dimulai gak, Gus? Soalnya saya gak bisa lama-lama," ucap Al yang segera saja dipersilakan bang Sio untuk memasuki kamarnya.
Setelah kami bertiga duduk melingkar di karpet yang sengaja digelar oleh sang empunya, akhirnya Al memulai aksinya mengotak-atik laptop ku.
"Kamu udah berapa lama jadi kang otak-atik laptop ini?" Bang Sio yang duduk di sampingku bertanya pada Al. Aku menggangguk setuju atas pertanyaan bang Sio, karena sama penasarannya dengan laki-laki semester 5 itu.
"Udah lama. Sebenarnya saya ambil TI, Bang, tapi di kampus saya malah keterima kimia. Jadilah ini pekerjaan sampingan," jelas Al, membuat kamu berdua ber-oh panjang.
"By the way, nama side siapa sih, Al?" Kali ini aku yang bertanya, sebab di awal pertemuan adalah bang Budi yang mengurus semuanya. Namun, sekarang laki-laki itu sibuk sekali, sehingga jarang bisa berkumpul dengan kami karena magangnya.
Al terkekeh, mengundang tatapan heran dariku. Lesung pipinya jadi terlihat jelas dengan mata menyipit seperti bulan sabit.
"Nama saya Lalu Jandi Anugerah, tapi orang-orang panggil saya Al," jawabnya masih dengan senyuman di birainya.
Aku mengangguk pelan, ternyata keturunan ningratnya Lombok. Pantas saja aku merasakan orang ini terlihat tidak biasa.
"Eh, kenapa kamu ambil job kayak gini? Bukannya kamu orang kaya?"
Aku meringis mendengar bang Sio yang bertanya dengan frontal. Mana wajahnya serius sekali dengan alis yang hampir bertaut.
"Sengaja. Karena saya lagi punya gebetan," katanya seraya mengangkat bahu.
"Oh, kayak gak mau pake uang ortu ya kalo nafkahin ceweknya?"
Astaga, aku tidak bisa menahan tawaku. Bang Sio ini benar-benar bertanya dengan wajah tanpa dosa seperti itu. Seolah memang pertanyaannya mengandung hal yang seserius itu.
Sementara Al hanya terkekeh pelan, laki-laki itu menggeleng pelan sebelum akhirnya berkata, "Gak juga. Ini juga untuk kepuasan diri, karena saya memang suka ilmu ini."
Bang Sio mengangguk-angguk, "Ada gunanya kamu sekarang di sini. Ya udah, sok lanjut. Saya keluar bentar ya, tak ambilin minum," ucapnya yang lantas berlalu dari hadapan kami.
Aku tersenyum simpul, mood-ku jadi bagus mendengar celetukan bang Sio tadi. Tak kusangka memang orangnya se-humble itu.
"Gus, sebenarnya ...."
Aku menoleh, "Kenapa?"
"File itu." Aku mengernyit, tidak paham apa maksudnya. Kalimatnya terkesan menggantung.
Al menghela napas pelan, kemudian menunjukkan laptop ku yang menampilkan isi file rahasia itu. Betapa syoknya aku melihat isinya. Netraku bergulir meminta penjelasan dari Al. Aku yakin dia bisa menjelaskannya.
"Benar, isi file yang kamu minta itu ... ini." Al kembali menunjuk ke arah layar. "Saya gak tau kalo isinya adalah hal kayak gini. Apa kamu mau tonton dulu?"
Aku tidak bisa berkata-kata. Melihat file itu membuatku mual. Perutku rasanya mules. Namun, jika aku tak menontonnya, maka aku tidak akan tau isi asli dari file itu dengan sampul video yang begitu.
"Ini kita gak kayak nonton film blu* kan?" tanyaku sebelum memutuskan untuk menontonnya.
Tanpa kuduga, Al terbahak. Entah apa yang lucu. Aku menatapnya heran.
Al menggeleng, "Bukan. Saya yakin isinya gak seperti sampul. Tapj anjir sih yang buat videonya kok kepikiran pake sampul itu," ucapnya setelah meredakan tawanya.
Mau tak mau aku mengangguk. Memutuskan untuk mulai menontonnya, sembari berusaha menahan mual yang kembali kurasakan begitu melihat isi videonya.
"ASTAGFIRULLAH! MATIIN AL!"
Bukannya mematikan video, Al membalikkan laptop itu ke arahnya. "Apa saya bantu buat ringkas isi videonya setelah saya tonton?"
Aku tidak menggeleng maupun mengangguk. Rasa mual masih kurasakan.
"Kamu keluar aja dulu. Wajahmu pucat banget soalnya, nanti biar saya ceritain aja isinya."
Meski ragu, aku mengangguk pelan. Segera keluar dari kamar bang Sio guna mencari udara segar untuk menenangkan diri. Kududukkan bokongku di teras depan kamar. Menunggu bang Sio yang entah membeli minuman ke mana.
Aku melirik sekitar yang sepi. Entah kenapa di kos ini tak pernah sekalipun aku lihat adanya penampakan. Terlihat biasa saja dan ... rasanya tenang.
Belum sempat aku menghirup udara sambil memejamkan mata guna merilekskan diri. Suara Al yang berteriak memanggilku membuat aku tersentak kaget. Buru-buru aku berlari ke dalam, melihat Al yang memegangi dadanya dengan napas menderu.
"Astagfirullah, untung kamu gak nonton, Gus." Laki-laki itu mengelus dadanya berkali-kali. "Astagfirullah, saya harus sholat tobat kayaknya nanti ini," ucapnya lagi membuat aku penasaran dengan apa yang terjadi.
"Ada sesuatu?" tanyaku setelah duduk di hadapannya.
Al mengangguk cepat, "Ada."
"Kamu mau tunggu bang Sio dulu atau mau denger duluan?" tanyanya membuat aku menoleh ke arah pintu. Bang Sio pasti ingin tau juga, tetapi sebelum itu ada hal yang perlu kusaring sebelum informasi ini sampai ke orang lain.
"Saya denger duluan aja, saya takut kalo bang Sio gak terima dengan file yang saya lihat tadi."
Al mengangguk, sepertinya ia juga setuju dengan pendapatku. Memang informasi ini bisa jadi sulit diterima oleh orang lain.
"Oke, saya mulai ya." Aku mengangguk, mempersilakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...