▪︎ 35. Normal ▪︎

35 13 1
                                    

Alhamdulillah gaise ini chapter terakhir yaw, di bawah ada epilog, bisa sekrol abis baca ini^^

Terima kasih sudah mampir~

Happy reading~






***



Tak terasa hampir dua minggu perkuliahan semester 1 ini menuju endingnya. Begitupula dengan diriku yang sudah tak melihat hal gaib lagi.

Aku bisa merasakan efek dari sholat hajat serta doa yang kupanjatkan secara berkala itu. Aku merasa tubuhku ringan, pikiranku jernih, dan tidak lagi membaui bau gosong. Semuanya terasa normal.

Hari kelima kala itu, aku sempat mengecek juga. Tak ada yang kulihat di depan gerbang asrama saat malam. Pun dengan toilet di dekat tempat parkir. Sudah tak ada sapaan anak kecil itu lagi. Aku merasa sudah benar-benar tak bisa melihat hal gaib lagi. Dan tentu saja aku bersyukur karena itu.

"Woi, Gus!"

Aku menoleh, mendapati Heni yang mendekat ke kursiku. Ia terlihat misuh-misuh karena tugas akhir semester harus berkelompok lagi bersamaku dan Argan.

Ah iya, hari ini kami ada kuliah pertemuan terakhir matakuliah Bahasa Inggris Untuk Biologi sebelum dibebankan oleh tugas akhir yang sudah diberikan. Namun, belum ada tanda-tanda kedatangan sang dosen. Sehingga kami ada waktu luang untuk membahas sedikit mengenai projek kelompok yang sebenarnya adalah ujian. Sistemnya hanya diganti jadi berkelompok. Sekalian saja, mumpung matakuliahnya.

"Udah sampai mana tugasnya? Biar saya yang kerjain sisanya," ucapku meraih kertas tanpa klip itu dari tangan Heni.

"Pembahasan sama latar belakang. Susah banget," rengeknya membuat aku terkekeh pelan. Cewek ini selalu lucu saat merengek, tetapi berbanding terbalik jika sudah memasang mode galak. Beuh, lebih baik menghindar, daripada kena batunya.

"Gus, saya kerjain apa? Nanti kalo gak ikut kerja, pacarmu itu bisa melayangkan palu ke kepala saya," celetuk Argan segera menarik kursi dan duduk di hadapan kami.

Aku menggeleng pelan, masih saja orang-orang ini suka menggodaku dengan Heni. Untung saja Heni tidak bawa perasaan tentang hal itu. Bisa brabe.

"Sini aku baca dulu, terus aku kasih ke kalian." Heni merebut lembaran di tanganku, mulai membacanya dengan fokus.

Aku ingin menunggu sembari memperhatikan Heni, tetapi Argan mencolek lenganku, membuat aku menoleh.

"Udah gak lihat lagi 'kan?" bisiknya, yang sepertinya tak ingin mengganggu Heni yang tengah fokus.

Aku mengangguk, "Alhamdulillah manjur," kataku sambil tersenyum simpul.

Argan mengacungkan jempol, ikut senang dengan pencapaianku.

"Ini, kalian bagi dua. Bagian ini untuk Agusta, yang ini untuk kamu, Gan," ucap Heni membuat kami berdua segera mendekat. Memperhatikan lembaran yang pecah dua itu.

"Kok saya pembahasan? Ini lebih banyak loh, Hen," protes Argan melihat bagiannya yang memang harus menggunakan banyak referensi serta membandingkan referensi dengan hasil praktik kami minggu lalu.

"Itu udah dikit, Gan. Atau kamu mau tuker tuh sama Gusta, cari referensi baru lagi untuk latar  belakangnya?"  balas Heni, tak terima diprotes.

Argan mencebik, ia tak bersuara lagi. Memilih membaca bagiannya.

Sementara aku hanya menggeleng pelan, sembari meneladani Argan membaca bagianku. Namun, aku tidak bisa membacanya lebih lanjut, karena sang dosen yang bersangkutan telah datang.

Membuat kami segera memperbaiki posisi duduk dan menghadap memperhatikan beliau yang mulai membuka acara perkuliahan hari ini.

***


"Gus, aku heran deh, kenapa kamu dari tadi senyam-senyum?" tanya Heni yang berjalanan beriringan denganku. Maklum, ia lagi-lagi menebeng, meski tau aku pulangnya ke asrama.

Aku juga sih bodoh, mau-mau saja. Karena kasihan juga jika sore begini ia masih nangkring di pos satpam. Sebenarnya tadi aku minta Argan untuk mengantar Heni, tetapi laki-laki yang rambutnya awut-awutan itu menolak karena ada urusan. Maka jadilah aku yang berkorban.

Sebab kami juga tadi Heni membatalkan jemputannya. Eh, lebih tepatnya Argan yang meminta kami diskusi sampai sore.

Heni tak marah dengan permintaan Argan tadi, sebaliknya cewek itu antusias memulai diskusi. Sehingga tugas kami tadi hanya perlu revisi sedikit dan finishing.

"Gus?"

Eh, iya? Haha, aku sampai lupa menjawabnya.

"Gak ada, Hen. Cuma seneng aja karena udah gak lihat penampakan," jawabku setelah mengangkat bahu.

"Wah, keren dong ya. Jadi kamu gak perlu bauin melati lagi," kekehnya seraya naik ke jok belakang motorku.

"Kamu masih inget aja ya. Gak takut?" godaku sebelum melajukan motor.

Heni menimpuk punggungku dengan kepalan tangannya, membuat aku mengaduh pelan sambil terkekeh. Rautnya yang cemberut cukup lucu, sehingga aku sering kali menjahilinya sekarang.

"Ketawa heh!"

"Iya-iya udah, ya ampun kdrt!" protesku karena Heni kembali menggeplak punggungku.

"Makanya jalan," kesalnya seraya meniup poninya.

Aku mengulum bibir di balik helm, menahan agar tak tertawa. Ia terlihat lucu dengan poninya itu. Tak ingin ketahuan memperhatikannya, aku memilih menjalankan motorku. Meninggalkan parkiran FKIP yang tak terlalu ramai.

***














Lanjut ke sekrol👇

Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang