▪︎ 19. Panggilan ▪︎

47 13 2
                                    

Yuhuu up heheh

Karena kemarin tanggal genap gak up, jadi saia mau dobel up, tapi sorean ya hwhw

Happy reading~

***





"GUSTA!"

Aku menghela napas pelan, menoleh ke arah pintu yang dibuka dengan kasar. Di ambangnya, berdiri Haju dengan napas terengah-engah. Aku menaikkan sebelah alisku, menatapnya lama. Menunggu kalimat apa yang akan ia keluarkan setelah meneriakkan namaku tadi.

"Anu, itu, pihak kampus anu, ..." Haju mengaduh, sepertinya ia kesulitan mengolah kata.

Laki-laki gondrong itu meninju pintu kamarku. Seolah menyalurkan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Tatapannya terlihat khawatir, pun terlihat emosi yang tertahan di sana.

Aku mengangguk pelan. Meskipun ia berbelit, tetapi aku paham maksudnya. Jika Haju saja tau, berarti lima orang lainnya juga tau.

"Siapa aja yang tau?" tanyaku, meragukan pendapat sendiri.

Haju menurunkan tangannya, ia menoleh ke belakang. "Boleh gak kita bahas di tempat biasa?"

Ah, iya, ini masih kawasan asrama. Meski kamarku memang di pojok, tetapi tak menutup kemungkinan ada yang mencuri dengar.

Aku mengiyakan, lantas mengikutinya ke halaman belakang asrama. Kami kemudian duduk di kursi meja bundar dekat pohon jeruk limau. Haju menoleh ke sana ke mari, seolah memastikan tidak ada orang yang berkeliaran.

"Dari mana kamu tau kalo saya dipanggil pihak kampus?" tanyaku membuat ia menghentikan aksinya.

"Siapa lagi kalo bukan Budi." Haju mengangkat bahu, "Apa kamu gak merasa kesal?"

Kesal untuk apa? Dibanding kesal, aku lebih penasaran dari mana semuanya mengetahui bahwa aku mendapat surat peringatan dari pihak kampus. Tak tanggung-tanggung, yang memanggilku adalah rektornya.

"Side malah kelihatan lebih kesal, apa ada pengaruhnya?" tanyaku tak tahan juga untuk tak bertanya.

"Mungkin bagi kamu gak ada, Gus, tapi bagi kami ... menyelesaikan apa yang telah dimulai adalah prioritas."

Aku tertegun mendengarnya, tidak salah, aku benar-benar tertegun.

"Apa kamu bakal pergi ke rektorat?" tanyanya, membuat aku refleks mengangguk. "Kapan?"

"Besok."

Haju mendecak, "Apa kamu ngerasa ini wajib?"

Aku mengangguk, ini pun untuk kepentingan bersama. Tak dapat dimungkiri bahwa aku sebenarnya sudah muak dengan segala perhantuan dan tetek bengeknya. Hanya saja, sulit untuk berhenti penasaran.

Haju menghela napas panjang, kemudian menatapku dengan wajah serius. "Saya bakal dukung apa pun keputusanmu."

Aku mengernyit, "Kenapa kamu percaya sekali sama saya?"

Jujur saja, aku bingung dengan sikap Haju. Seolah-olah memang ia yang paling lelah. Padahal jika kuceritakan, pikiranku juga tak kalah rumit. Bergelut dengan perkuliahan yang semakin padat dan dengan arwah yang datang silih berganti. Jangan tanyakan Gio, ia seperti hilang ditelan bumi. Hanya waktu-waktu tertentu sosok itu menampakkan dirinya. Namun, tidak dengan mimpi buruk berulang yang ia sematkan padaku. Sudah jelas bahwa sosok itu tak baik sedari awal. Dan dengan bodohnya aku membuat kasus itu demi ketenangan yang kudambakan.

Nihil. Hanya kekacauan yang tercipta. Maka harus kuakui bahwa membantu orang yang telah mati itu tidak ada gunanya. Lebih baik mendoakannya agar terbebas dari dendam kesumat di alam sana.

"Teror."

Keheningan yang tercipta, terintrupsi begitu saja oleh suara Haju. Aku menoleh, kembali melayangkan tatapan bertanya.

Haju mengangguk, "Ya, saya diteror, sama seperti Heni dan Nabila. Saya gak bisa bilang karena berharap kamu segera menangkap pelaku pembunuhan Gio. Tapi pengharapan saya sepertinya berjalan terlalu lambat," ucapnya.

"Jangan minta maaf," ucapnya lagi saat aku hendak membuka mulut. "Daripada kamu minta maaf, saya punya ini untuk dikasih ke kamu."

Aku mengerjap pelan melihat benda di tangan Haju. Seperkian detik beralih menatap Haju, melayangkan pertanyaan lewat perantara mata.

Haju mengangguk, "Hm, itu bukti yang saya temuin di kamar Gio sehari setelah dia meninggal. Saya menyusup ke kamar itu malam-malam saking penasarannya dengan kematian Gio yang gak berdasar."

"Maksudnya? Side yakin gitu kalo Gio gak bundir?"

"Yakin gak yakin, saya percaya gimana hasilnya. Dan kalaupun Gio memang bundir, kita gak bisa nuntut. Makanya keputusan sekarang ada di kamu, Gus."

Aku menghela napas pelan, lantas mengembuskannya perlahan. Cukup sulit untuk menentukannya. Namun, jika penggeledahan kampus ini diteruskan, tidak menutup kemungkinan citra kampus ini akan buruk.

"Kayaknya kamu perlu istirahat yang cukup malam ini, karena besok kamu bakal ketemu sama rektor," ucap Haju seraya berdiri dari duduknya.

"Sepertinya begitu," ucapku tak yakin. Entah mengapa aku merasa khawatir, padahal belum tentu bapak rektor itu akan memarahiku terhadap kasus ini.

Haju menepuk bahuku, membuat aku menoleh ke arahnya. "Saya duluan, jangan begadang." Ia tersenyum, lantas berlalu pergi meninggalkanku yang masih menatap punggungnya.

Tak lama setelah itu, aku bangkit dari posisiku, kemudian melangkah masuk ke asrama.

***



Ruang dengan suhu di bawah 20°C itu tidak hanya membuat menggigil, tetapi sukses menciptakan keheningan yang lama. Pun membuat kami juga hanya saling tatap untuk beberapa waktu yang lalu.

Kini jam dinding menunjukkan pukul 12 kurang 10 menit. Benar-benar waktu yang cukup lama jika dihitung dari jam 11 tepat saat kami mulai duduk di sofa mulus itu.

Aku berdehem, melirik orang tua Gio yang juga ternyata datang. Bukan hanya mereka, ada bang Budi juga yang duduk di dekat pak rektor. Duduk menyamping karena hanya pak rektor yang duduk di single sofa.

"Gusta."

Baru saja hendak membuka mulut, pak rektor itu lebih dahulu menyebut namaku. Aku bergumam pelan, menyahut. Netraku tak luput dari bang Budi dan orang tuanya Gio.

"Kasus itu akan ditutup."

***


Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang