Dobel up yeah***
"Sudah ditentukan hukuman untuk pelaku gendam itu, Pak?"
"Sudah."
"Bagaimana, Pak? Bukankah sulit untuk menentukan hukuman bagi pelaku gendam?"
"Kami memutuskannya berdasarkan KUHP pasal 378."
"Kenapa diputuskan dengan pasal itu, Pak? Pasal itu bukankah membahas tentang tindak pidana penipuan?"
"Iya, memang benar, tetapi sesuai dengan kejahatan pelaku bahwa ia melakukan gendam atau manipulasi itu dengan tujuan menguntungkan diri sendiri. Pelaku juga memberi barang berupa paket yang dianggap teror oleh beberapa korban. Jadi, kami membenarkan bahwa adanya ancaman pelaku terhadap korban."
Tak!
Aku menoleh ke arah ibu yang mematikan televisi dengan kasar. "Kenapa, Bu?"
"Hukumannya sedikit, Gus. Cuma 4 tahun. Kalo dia ada dendam pas keluar gimana? Nanti malah buat rencana balas dendam," ucapnya dengan nada yang terdengar jengkel.
Aku terkekeh pelan, sepertinya ibu terlalu sering menonton drama bertema balas dendam.
"Loh, kamu ini malah ketawa. Ibunya lagi khawatir juga," sahutnya membuat aku menyengir sambil menunjukkan tanda peace dengan jari.
"Kita doa aja, Bu. Saya yakin dia bisa tobat kalo kuat sampe 4 tahun di dalam sel. Setidaknya dia punya penyesalan seumur hidup karena udah buang masa depannya yang berharga."
Ibu menghela napas, sepertinya beliau tak puas dengan jawabanku. "Kenapa dia gak dituntut hukuman karena udah bunuh orang?"
Aku menggeleng, mana bisa dituntut sementara Giel tidak melakukannya. Maksudku, ia tidak menggunakan tangannya untuk membunuh, melainkan membujuk. Memberikan sugesti pada korban agar melakukan bunuh diri.
Mengingat itu, aku jadi teringat Gio. Apakah Gio sudah benar-benar pergi dari kamarku?
"Kamu mau ke mana, Gus?" tanya Ibu begitu aku berdiri dari duduk.
"Aku ke asrama aja, Bu. Ada hal yang harus kuurus. Dan aku ada kunjungan ke penjara besok pagi."
"Gimana soal ruqyah itu? Udah kasih tau Argan?" tanya Ibu lagi, menahan langkahku untuk pergi.
Aku mengangguk, "Aku udah bilang ke mamiq, insyaallah katanya bisa nutup mata batinku," jawabku seadanya
"Alhamdulillah, semoga kamu gak lihat mereka lagi."
Lagi, aku mengangguk. Kini aku meraih tangan ibu, menyalaminya seraya berpamitan sekali lagi sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah.
Tujuanku kali ini adalah asrama. Aku harus benar-benar memastikan Gio sudah pergi.
***
Kurang lebih dua jam perjalanan, aku akhirnya sampai di asrama. Beberapa orang yang lewat menyapaku seperti biasa. Terlebih saat melewati kantin, ada pak Awil dan bu Sumariah yang melambai menyuruh mampir. Namun, aku menolak karena mengatakan ada urusan penting.
Aku terkekeh, yakin bahwa mereka pasti penasaran karena aku tiba-tiba masuk tv beberapa hari lalu. Namun, ini bukan saatnya aku berkoar sana sini, sebab ada hal yang lebih penting daripada itu. Yakni hidup tenang dengan tidak diganggu oleh arwah penasaran lagi.
Begitu sampai di depan pintu, aku membukanya perlahan. Mulai melangkah masuk, menekan saklar yang berada di tembok samping pintu. Sekitar menjadi terang.
Aku menyapu pandang ke sekeliling. Menatap benda-benda yang tersusun rapi seperti terakhir kali aku meninggalkannya. Tidak ada yang aneh. Pun tidak ada aura hitam atau seram yang kurasakan. Rasanya benar-benar bersih.
Kulangkahkan kaki menuju ranjang keras itu. Aku tertawa, tidak berubah. Masih sama kerasnya seperti terakhir kali aku tidur di atasnya.
Tok! Tok! Tok!
Aku bangkit dari ranjang. Menuju pintu. Membukanya.
"Selamat datang kembali, Gus. Walau gak sampai sebulan, tapi saya bersyukur kamu ternyata balik lagi ke sini."
Aku tersenyum simpul karena Haju yang mengatakannya. Laki-laki yang sebenarnya adalah seniorku, tetapi lebih memilih dipanggil tanpa embel-embel 'kak'.
"Mau ngobrol di tempat biasa?" tanyaku menyadari banyak yang ingin ia katakan.
Haju menggeleng, "Saya gak mau buang waktumu, Gus. Karena sekarang jadwal kunjunganmu ke penjara kan?"
Iya juga ya. Aku bahkan baru ingat itu. Eh, tapi harusnya tidak apa-apa. Akh ingin mendengar ceritanya beberapa hari yang kulewati tanpa mereka.
"Saya pergi sore. Jadi saya bisa denger cerita side 'kan?" Aku menaik-turunkan alis, mengundang kekehan khasnya.
Akhirnya aku dan Haju pergi ke belakang asrama. Tempat biasa kami mengobrol tentang kasus itu.
"Gimana kabarnya, Gus? Saya udah lihat beritanya."
"Baik, Ju. Hm, sulit untuk nentuin hukuman untuk pelaku hal gaib," sahutku seraya menghela napas pelan.
"Menurut saya ya, Gus, hukuman empat tahun penjara cukuplah buat dia jera. Apalagi kemarin kayaknya dia kena totok kan?"
Aku mengangguk, memang benar untuk sementara Giel tidak akan bisa menggunakan ilmunya. Ilmu itu juga tidak sembarangan dipakai, karena memerlukan konsentrasi penuh. Sebelum mensugesti orang, alangkah baiknya ia mensugesti diri agar tetap tenang saat beraksi.
"Ju, udah gak ada suara aneh lagi kan di kamarnya?" tanyaku teringat Gio pernah mengacak kamar Haju juga karena kesal.
"Udah gak ada. Teror juga gak ada. Aman damai, Gus." Laki-laki itu tersenyum sambil mengacungkan jempol, senyuman yang menular.
"Anu, ini bukan masalah serius, tapi saya boleh nanya gak?"
Aku mengernyit, tentang apa?
Haju mengulum bibirnya, kemudian mengalihkan pandangannya menuju ke sembarang arah. Membuat aku bingung.
"Apa?"
"Soal bang Sio, ... kamu udah minta maaf?"
Sontak aku membulatkan mulut. Ternyata itu toh. Aku mengangguk sebagai jawaban. "Saya udah damai sama bang Sio, dia juga minta maaf balik karena sempat kecewa. Terus sekarang dia mau fokus ke KKN-nya libur semester ini. Jadi, dia udah gak ngurus hal-hal kayak gini. Tinggal saya aja memastikan semuanya benar-benar tuntas."
"Kamu hebat ya, Gus. Bisa bertahan hidup dengan kemampuan yang orang lain pasti gak mau."
Aku terkekeh pelan, aku tidak sehebat itu. Sebab aku juga masih ada kurangnya.
"Hm, terus bang Jihad berterima kasih sama kamu karena gak kena teror lagi."
"Bukan saya yang berhasil, tapi kita semua. Saya salut sama kalian yang bertahan sampai akhir, sekarang kita sama-sama aman," kataku menyanggah persepsi Haju tentang hanya aku yang hebat. Justru Haju lebih hebat daripada aku, karena dia yang membuat kami maju untuk mengungkap kejanggalan kasus itu.
Haju tertawa renyah, "Iya-iya, kamu nih gak bisa dipuji. Kirain mau meroket, eh malah makin merendah," ucapnya dengan sisa tawa, sembari meninju kecil lenganku.
"Oh iya, Heni juga kirim salam, katanya kangen," ucap Haju yang kemudian tergelak. Entahlah ia suka sekali menggodaku dengan Heni. Padahal aku tidak ada apa-apa dengan gadis itu.
"Mana pernah saya dikasih ucapan kek gitu sama nenek lampir, makian mulu yang dikasih," kataku seraya memutar bola mata, malas.
Haju hanya tertawa, tak membalas lagi. Sementara aku yang melihatnya tertawa ceria membuatku menarik sudut bibirku. Aku berharap orang-orang ini tidak lagi kena teror dan semacamnya. Hari ini, semuanya harus benar-benar tuntas sebelum liburan semester dimulai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...