Annyeong, kangen tak?
Hehe
Happy reading~
***
Setelah mengetahui isi file yang tak senonoh itu, aku bergegas menghubungi bang Budi saban hari. Namun, sampai sekarang tak ada tanda-tanda jika laki-laki itu akan membalas atau mengangkat panggilanku. Membuat aku jadi resah dengan teror yang kembali kurasakan.
Ah iya, aku juga telah kembali ke asrama. Tak peduli jika Gio akan melakukan aksinya. Sebab yang harus kufokuskan saat ini adalah bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Jujur, diriku tentu tak ingin berlarut-larut dalam kengerian yang kualami.
"Gus, saya udah coba hubungin bang Budi. Gak ada jawaban." Haju terlihat kusut. Sepertinya setiap malam ia selalu begadang.
"Saya juga udah, hasilnya nihil." Giliran bang Sio yang menyahut, diangguki oleh bang Jihad di sampingnya.
"Ke rumahnya aja gimana?" Heni yang satu-satunya perempuan ikut menyahut, dari tadi hanya menyimak. Bahkan ia juga sudah tau isi file yang dirahasiakan bang Budi. Hanya saja, aku menceritakannya secara langsung. Sebab tak berani mengambil risiko jika Heni melihat sendiri.
"Bang, side berdua tau rumah bang Budi kan?" Aku menatap keduanya bergantian. Meminta informasi.
"Sebenarnya kami cuma tau kosnya, tapi berhubung dia gak ada kuliah semester 5, jadinya bakal susah nyari dia. Lagipula memangnya hubungan file itu sama Budi apa?" jawab bang Jihad.
"Saya tau, Ji. Kemarin sempat dikirim lokasi sama Budi. Bentar, saya cari dulu riwayat chat-nya," sahut bang Sio setelah diam beberapa saat. Sepertinya ia tengah memikirkan jawaban ini.
Aku, Haju dan Heni mengangguk. Menunggu bang Sio mengotak-atik ponselnya. Sementara menunggu, aku membuka room chat-ku dengan Al yang mengirim potongan video rusak kemarin. Ini tugas terakhirnya, dan setelahnya ia tak akan ikut campur lagi.
Aku mulai menonton video tersebut, mengamati dengan seksama. Video itu menampilkan latar kamarku di asrama. Entah diambil dari sudut bagian mana, yang jelas aku yakin jika itu tembok asrama. Ranjangnya yang paling kuhafal.
Video terus berjalan, hanya kekosongan yang terlihat. Tak ada tanda-tanda bahwa ada seseorang di sana.
Brak!
Meski di dalam video dan aku menggunakan earphone, tidak dimungkiri jika aku terkejut mendengar suara pintu yang seperti didobrak. Aku kembali mengamati video, berusaha terlihat biasa saja.
Aku menjeda video itu sejenak, mendongak memastikan rekan-rekanku ini sibuk mencari rumah bang Budi lewat ponsel milik bang Sio. Setelah memastikan mereka tidak ada yang memperhatikanku, aku kembali menghidupkan video itu. Kutautkan alis saat memperhatikan seseorang yang tak asing di dalamnya.
Tak!
"Kamu bodoh, Gio! Kamu bodoh!"
Suara benda jatuh terdengar lagi. Kini lebih keras dan lebih banyak benda yang sepertinya sengaja dijatuhkan.
Lagi, suara pintu kamar itu terbuka keras. Berdebam. Mengundang atensi Gio yang sebelumnya mengamuk. Kini Gio menghadap ke arah pintu yang terbuka, hanya saja bagian pintu tidak terlihat dalam video ini. Jadi, aku hanya bisa menebak jika Gio memang menghadap ke arah sumber suara tadi.
"Ya, kamu memang bodoh."
"Kamu gak berhak mengataiku bodoh, sialan!" Gio terlihat emosi. Lagi-lagi hanya Gio yang tersorot. Tidak dengan suara yang berbincang dengan Gio.
"Seharusnya kamu mati."
"UNTUK APA? UNTUK APA AKU TANYA!" Gio kembali melempar benda di atas nakasnya. Kuyakini jika benda yang ia lempar itu pecah di lantai, suaranya tak dapat dibohongi.
"Karena kamu telah membunuh pacarmu."
"Bukan aku! Tapi kamu!" seru Gio terlihat menunjuk-nunjuk lawan bicaranya.
"Masih tidak mau mengaku?"
Entah kenapa aku merinding mendengar suara orang itu. Seperti ada hawa dingin yang menembus layar saat mendengarnya berbicara.
Mataku melebar tatkala orang itu menyentuh bahu Gio. Posisinya membelakangi kamera tersembunyi yang ditaruh oleh bang Budi. Pun membuat Gio tidak terlihat jelas pada video ini.
"Kamu mau kan mati untuk menebus kesalahanmu atas perginya Paramitha?"
Aku mengernyit, mengapa suaranya jadi berubah lembut?
Namun, yang membuatku tak bisa berkata-kata adalah kalimat orang itu.
"Mau?"
Gio terlihat mengangguk. Hah? Kenapa tiba-tiba?
Laki-laki itu mengambil kursi belajarnya. Menyeretnya sampai ke tengah ruangan, jika aku tak salah menebak posisinya.
"Ambil ini, dan pasanglah di langit-langit ruangan."
Jantungku berdegub kencang melihat Gio mengambil tali tambang berukuran kecil itu. Tanpa menontonnya, aku bisa menebak jika Gio memang mati karena bunuh diri. Akan tetapi, bukan bunuh diri yang dengan keinginannya sendiri. Melainkan ada faktor pendorong dari orang itu.
"Bagus. Sekarang letakkan lehermu pada tali itu."
Aku menutup mulut dengan telapak tangan, pun dengan mata melebar tak percaya dengan pemandangan di dalam video itu. Gio benar-benar menaruh kepalanya tanpa protes. Aku yakin pasti ada sesuatu.
Brak!
Suara kursi terjatuh itu membuat aku benar-benar kehilangan kosa-kata melihat tubuh Gio bergelantung membelakangi kamera. Sementara orang tadi ....
"AGUSTA!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...