▪︎ 29. Budi Gila? ▪︎

33 16 0
                                    

Alhamdulillah bentar lagi tamat hehw

Happy reading~




***


Sebelum pergi ke rumah bang Budi yang lokasinya dikirimkan oleh bang Sio, aku menyempatkan diri mampir ke kampus. Terlebih lagi, aku baru saja mendengar fakta dari Gio bahwa Budi ternyata memiliki riwayat penyakit mental yang beberapa waktu lalu dikatakan sembuh. Namun, menurut informasi Gio, bisa saja bang Budi kembali kumat karena tekanan yang didapatkannya.

Tentu saja aku tak bisa mengabaikannya. Akan tetapi, ada yang harus kupastikan. Tentang beberapa hal mencurigakan yang bang Budi lakukan. Dan di sinilah aku berada. Di koridor menuju ke mushola. Tempat sosok hantu yang muncul dengan pakaian lusuhnya. Aku yakin ia ada di sekitar sini.

Kugerakkan kepala menoleh ke sana ke mari, memastikan sosok itu memang ada di tempat ini. Bukan tanpa alasan aku ingin menemuinya, melainkan aku ingin bertanya kenapa sosok itu mengatakan bahwa aura bang Budi gelap. Sebab setauku, aura gelap yang dimaksud itu pasti ada hubungannya dengan ilmu-ilmu sesat. Jadi, aku penasaran dengan hal ini.

Dari fakta bahwa bang Budi mempunyai penyakit mental, sedikit sekali kemungkinannya jika laki-laki ambis itu memiliki ilmu sesat seperti itu. Misalnya seperti hipnotis? Entahlah, tapi baru-baru ini aku melihat secara langsung penggunaannya. Tidak lain dan tidak bukan adalah pada video Gio dan kembarannya itu. Atau mungkin bisa jadi itu yang namanya ilmu gendam?

Bisa jadi iya. Aku tidak terlalu bisa membedakannya, karena penggunaannya hampir sama. Namun, saat aku berselancar di mesin pencarian, aku membaca bahwa gendam ternyata termasuk tekniknya. Entahlah, aku tak mau pusing. Intinya yang membuat Gio bunuh diri adalah karena hipnotis saudaranya.

Aku menoleh kala merasakan hawa dingin lewat di belakangku. Tentu aku agak terkejut, tetapi segera menetralkan ekspresiku. Memanggil sosok itu yang menatapku dengan ekspresi datarnya. Aih, apakah aku harus menjabarkannya?

"Ternyata benar, kamu datang lagi."

Wajahnya yang pucat dengan bibir yang seperti sariawan itu membuatku kasihan. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa aku juga takut di saat bersamaan. Terlebih lagi suaranya yang pelan itu seolah memiliki hawa yang dingin. Membuat bulu kudukku merinding.

Sebisa mungkin aku menahannya. Mengangguk pelan sebagai respon atas kalimatnya tadi.

"Saya mau bertanya tentang beberapa waktu lalu saat kamu melihat aura hitam pada teman saya. Apakah itu aura ilmu sesat?" tanyaku tanpa basa basi lagi.

Sosok berpakaian lusuh itu mengangguk. Terlampau pelan hingga aku seperti mendengar suara gesekan kepala dengan lehernya.

"Itu bukan aura dia, tapi sesuatu sedang menempelinya. Hanya saja aku tidak bisa melihatnya."

"Berarti benar, bukan dia pelakunya." Aku mengangguk-angguk kecil, ternyata dugaanku terhadap terlibatnya bang Budi dalam pembunuhan itu adalah salah. Eh, tapi tetap saja ia mendukung pembunuh dengan tak menyebutkan namanya.

"Oke, makasih ya. Semoga kita gak ketemu lagi," ucapku seraya melambai singkat, kemudian berbalik pergi dari koridor itu.

Kini tujuanku adalah rumah bang Budi. Sebab semuanya harus selesai dengan cepat.

***


Semua kepala itu tertoleh begitu aku turun dari motor. Tentu tak lain adalah bang Jihad, bang Sio, Haju dan Heni yang menunggu di pekarangan rumah bang Budi.

Aku bergerak mendekat setelah melepas helm. Baru hendak membuka mulut untuk bertanya, intruksi bang Sio membuat aku menoleh ke arahnya.

"Kenapa Bang?" tanyaku tak paham karena ia menyuruhku menepi ke arahnya.

"Budi di rumah sakit."

"Lha, terus kalian kenapa gak ke sana?"  tanyaku lagi.

"Lebih tepatnya RSJ," sahut bang Jihad dengan raut yang sulit kuartikan. Namun, suara lirih itu membuat aku cukup terkejut. Bagaimana bisa?

"Jangan bercanda, Bang. Gak mungkin bang Budi bakal gila," ucapku sambil menggeleng, menolak percaya dengan apa yang aku dengar. Setauku bang Budi itu kuat. Ia pernah mengalami penyakit itu dan melewatinya, jadi tak mungkin ia akan kambuh lagi. Sungguh, aku tidak percaya.

"Gak, Gus, dia beneran di RSJ. Sekarang kita di sini cuma nunggu kamu. Supaya kita samaan pergi ke sana buat jenguk dia."

Suara bang Sio berhasil membuat bahuku merosot. Jadi ... itu benar? Hilangnya bang Budi selama lebih seminggu ternyata karena ia berada di rumah sakit?

"Dia bakal pulang kan? Dia cuma kontrol kan?" Bodohnya aku masih berharap jika bang Budi hanya melakukan kontrol. Bukan masuk ke lapas orang-orang gila itu.

Sayangnya, gelengan bang Jihad dan bang Sio yang hampir kompak membuat aku kesal. Sontak aku bergegas mendekat ke arah motorku.

"Mau ke mana?" tanya Heni yang kuyakini sedari tadi matanya terlihat berkaca-kaca.

"Bukan urusanmu." Aku menyahut kesal. Maaf, mood-ku sedang turun. Jadi jika Heni marah, silakan saja.

"Gus, tenangin dirimu dulu. Jangan gegabah motoran saat kamu sedang marah," peringat bang Jihad yang tak kuhiraukan.

Setelah memasang helm, aku menarik gas dan berlalu dari sana. Entah ke mana tujuanku, yang pasti aku ingin pergi. Pergi yang jauh untuk menenangkan diri. Sebab memang tidak mudah untuk percaya bahwa bang Budi gila.

***

Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang