Dobel up-!^^***
"Woi, Gusta!"
Refleks kugerakkan kepala ke arah sumber suara. Di depan auditorium yang luasnya tak terkura itu, sudah berdiri tiga laki-laki yang menggunakan almamater kebanggaan kampus. Aku tersenyum, menghampiri ketiganya.
"Kalian kenapa di luar? Udah selesai sidangnya?" tanyaku, retoris. Sebab jika mereka tak di luar, berarti belum selesai sidangnya.
"Pake nanya!"
Aku meringis, sekedar basa-basi pun bisa membuat bang Budi emosi. Ah iya, just information, Bang Budi sudah sembuh dari penyakitnya. Sekitar pertengahan libur semester 2, bang Budi mulai dirawat jalan. Tidak lagi divonis gila karena penyakit mentalnya. Ia sepertinya mulai berbenah dengan pikirannya, tak menyangkal lagi jika banyak yang masih mendukungnya. Dan aku tidak menyangka dia tetap lanjut kuliah, bahkan kini sudah sidang pada akhir semester 7. Artinya bang Budi, bang Jihad, dan bang Sio sudah lepas tanggungan kuliah.
"Kamu gak kangen sama saya? Gak pernah ketemu loh dari satu tahun yang lalu," ucap bang Sio membuat aku terkekeh pelan. Ya gimana, wong bang Sio sibuk KKN. Terus sibuk menyusun proposal dan lainnya. Sama halnya dengan bang Jihad, bedanya pria dingin itu tetap terlihat tenang.
Sementara bang Budi dibebaskan dari beban PLP dan KKN, sebab ia sudah lebih dulu mengambil jatah magang. Alhasil liburan kuliahnya ia gunakan untuk pemulihan diri.
"Kangen kok, dikit aja. Saya udah pendak lihat side ribut di grup. Jadi kek gak ada bedanya," candaku diiringi kekehan kecil.
Bang Sio meninju lenganku pelan, tentu aku tau itu hanya bercanda.
"Eh, mana Haju? Gak dateng dia?" tanyanya mengalihkan topik seenak jidat.
"Saya denger dia jadi ketua ya?" Ini bang Budi yang menyahut. Beuh, meski tidak aktif lagi di organisasi, tetapi bang Budi seolah up to date dengan segala informasinya. Curiga dia juga memasang CCTV di ruang sekretariat.
"Sibuknya ngalahin kamu, Bud," ucap bang Jihad yang sedari tadi hanya diam.
Hm, benar, Haju sedang sibuk-sibuknya di HMPS. Mahasiswa semester 5 yang akan naik ke semester 7 itu tak menyia-nyiakan kesempatan menjadi ketua. Sehingga memang jarang sekali aku temui di asrama, malam pun ia masih setia di kampus. Benar-benar budak organisasi, heh.
"Eh, Argan katanya mau ke sini."
Aku mengangguk, laki-laki yang dari semester 1 yang rambutnya dibiarkan urakan dan gondrong itu memang mengatakan akan datang. Akan tetapi, hingga saat ini batang hidungnya tak kelihatan.
"Terus mana dia?"
Aku mengangkat bahu, tak tau. "Tunggu aja di kantin yok! Di sini kalian ngapain aneh? Perasaan sidangnya di FKIP, kalian malah nyasar ke audit," heranku.
"Iya, tadi ada temen yang ngajak foto, jadi kita di sini. Terus ini niatnya sekalian ke kantin rektor, tapi nunggu kalian dulu. Eh, malah baru kamu doang yang dateng," jelas bang Sio yang diangguki kedua rekannya.
"Tadi mau ajak Heni, tapi katanya nanti bareng Nabila," ucapku memberitahu, karena hanya Heni yang belum mereka tanyakan.
Bang Budi berdehem, "Udah jadian?" kekehnya membuat aku memutar bola mata malas.
Lagi-lagi suka sekali orang-orang ini menceng-cengin diriku dengan Heni. Entah bagaimana dengan Heni, aku takut ia salah paham.
"Kamu gantungin anak orang?!" sahut bang Sio dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat. Tentu saja mengundang tawa bang Budi dan bang Jihad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...