Yuhuuu gais, hampir tengah malam wkwkHappy reading~
Btw mau infoin juga kalo cerita ini di bulan Juni bakal up di tanggal genap yaw😃
***
Tak butuh waktu lama, kami sampai di rumah Nabila. Sang tuan rumah ternyata sudah berdiri menanti kedatangan kami di gerbang rumahnya. Aku tebak jika Heni pasti sudah menghubungi Nabila.
“Kamu kenapa, Hen? Kok bisa sama Gusta?”
Aku melirik sinis gadis berbandana itu, tidak bisakah ia menyuruh kami masuk terlebih dahulu baru menanyai kami ini dan itu? Bukan dia saja yang penasaran, aku juga!
“Aku cerita di dalem, Bil. Di dalem ada siapa?” ucap Heni kini menggandeng tangan Nabila. Gadis berbandana itu menatapku, membuat aku mengernyit. Ada apa?
“Gak ada orang, Hen. Ayahku balik jam 1 nanti,” jawabnya setelah mengalihkan pandang ke arah Heni. “Kamu gak bakal macem-macem kan, Gus?”
“Saya ke sini nganter doang. Mau pulang.”
“Jangan! Kamu harus tahu ini!”
Baik aku maupun Nabila, sama-sama menatap Heni dengan penasaran. “Siapa?”
“Eh, kita duduk dulu, aku siapin teh.” Nabila mempersilakan kami duduk di kursi rotan panjang di depan beranda rumahnya. Sementara ia segera melipir pergi guna menyiapkan hidangan pada kami.
“Gusta,” panggil Heni membuat aku bergumam. “Kamu gak bakal percaya apa yang aku lihat.”
Lagi, ucapan itu yang keluar dari bibir gadis itu. Tidak bisakah ia segera menceritakannya saja?
Heni menggigit bibirnya, ia balas menatapku serius. Itu membuatku sedikit takut, tetapi aku mencoba untuk menunggunya mengeluarkan suara lagi.
“Sebenarnya setelah kita selesai diskusi tadi, aku ngerasa ada yang ngikutin aku, Gus.”
Kuyakini seperempat siku terbentuk di dahiku. Masih dengan menatapnya. “Siapa?”
“Nah itu, aku ragu ngasih tahu kamu, tapi aku gak peduli kamu mau percaya apa gak.” Aku diam, berusaha sabar mendengarnya yang suka sekali menggantungkan kalimatnya. “Siapa yang kitaa bahas tadi.”
Awalnya aku tak mengerti, seperkian detik mataku melebar. Tidak mungkin kan yang dia maksud itu Paramitha? Sebab hanya dia yang kami bahas tadi.
“Aku gak mau percaya dulu, tapi aku butuh bantuan kamu supaya aku gak takut sama setan.”
“Maksud kamu bagaimana, Hen? Apa dia bawa setan?”
“ITUUUU aku gak tahu, Gustaaa! Aku punya buktinya, gak tahu bener dia atau bukan. Aku sempat lihat wajahnya sedikit, meski gak jelas.”
Aku tidak tahu harus membalas apa, tetapi mendengar ia mengatakan memiliki bukti membuat aku tertarik. “Bukti apa?”
Heni menyodorkan ponselnya. Aku mendengus saat melihatnya. Itu hanya foto potongan kain, mana bisa dijadikan bukti. “Kamu gak lagi bercanda ‘kan?”
Heni menggeleng cepat, “Aku yakin cuma dia yang punya kaus lengan kayak gini. Karena kaus ini keliatan bukan produk sekarang, tapi entah zaman kapan.”
AKH!
Aku dan Heni saling pandang. “NABILA!”
Kami bergegas ke dalam. Aku mengikuti Heni menuju dapur, karena memang katanya Nabila tengah menyiapkan hidangan pada kami.
“BILA!” Heni berlari menghampiri Nabila yang terduduk meringkuk di sudut meja dapur. Sementara aku mengamati ruangan itu dengan seksama. Sampai pandanganku jatuh pada jendela yang terbuka, membuat gordennya melambai-lambai diterbangkan angin.
Aku mendekat ke arah jendela. Lantas melongokkan kepala keluar, mencari tanda-tanda kejanggalan yang ada. Nihil. Tidak ada jejak kaki atau bayangan yang terlihat.
Aku menoleh ke arah Nabila yang menangis sesenggukan di dalam dekapan Heni. Lalu menoleh kembali ke luar jendela, memastikan memang tidak apa-apa. Setelah memastikan tidak ada apa pun, aku menutup jendela, menguncinya agar tidak terbuka lagi. Baru kemudian aku beranjak mendekat ke dua gadis itu yang masih duduk di lantai.
“Apa yang kamu lihat tadi?” tanyaku pada Nabila yang menyudahi tangisannya.
“Pelan-pelan elah, Nabila masih syok jugaan,” sewot Heni yang tak kuhiraukan. Karena fokusku ada pada apa yang menimpa gadis berbandana itu tadi.
“Aku ... aku lihat cewek cantik!”
“Serius?” Heni yang tadi menyuruhku pelan-pelan bertanya, malah dia yang terlihat lebih syok. “Apa dia pakai kaus ini di lengannya?”
Nabila mengangguk setelah Heni menunjukkan foto kaus lengan pada ponselnya. “Rambutnya panjang, tapi aku gak lihat wajahnya.”
“Bagaimana kamu tahu kalo dia cantik?” tanyaku heran. Sedari tadi seolah kedua gadis ini mengatakan hal yang sama atas cerita tentang apa yang mereka temui.
Nabila menggeleng, “Aku gak tahu, tapi entah kenapa di pikiranku bahwa dia cantik,” katanya yang lebih membuatku heran.
“Bener. Ternyata bukan aku aja yang mikir begitu.” Heni mengangguk, membenarkan perkataan Nabila.
“Tapi kenapa kalian teriak kalo yang kalian lihat itu cantik?” Entahlah aku bingung. Bagaimana bisa mereka mengatakan ‘cantik’, sedangkan raut mereka mengatakan sebaliknya.
Keduanya sama-sama menggeleng. Seolah mereka lupa akan kejadian sebenarnya. Jika demikian, apa artinya orang itu memiliki ilmu hipnotis?“Gus, kayaknya kami harus nyalain semua lampu. Aku tiba-tiba ngerasa merinding,” ucap Heni membuyarkan lamunanku.
Walau mereka tak menjawab, aku mengangguk. Lantas bergerak membantu mereka menyalakan seluruh lampu yang ada di rumah Nabila.
“Dia sepertinya akan kembali lagi ...”
Aku menoleh, mendapati gadis berkepang dua dengan dress lusuh serta bekas luka bakar pada pipi kirinya. Kuyakini bahwa dia memang penghuni tempat ini.
“Bagaimana kamu bisa tahu? Apa tadi kamu lihat siapa yang datang?” tanyaku setelah melirik ke arah dapur, memastikan Heni dan Nabila sibuk pada kegiatannya.
Sosok di hadapanku menggeleng, “Aku tidak tahu, tapi dia bukan orang sembarangan. Auranya gelap.”
Benar dugaanku. Sepertinya orang itu memiliki ilmu, entah hipnotis atau apalah. Namun, jika merujuk pada cirinya, bisa jadi itu ilmu hipnotis.
“Apa dia wanita?” tanyaku lagi teringat perkataan ‘cantik’ yang dilontarkan Nabila tadi.
Sosok itu menggeleng lagi. “Auranya gelap.”
Aku mengernyit, jika begitu, apa orang itu cewek atau cowok?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...