Annyeong~
Huhu akhirnya up, mari ramaikan😃
***
Aku berjalan gontai memasuki kamar asrama. Perutku masih terasa mual akibat kejadian di kos bang Sio tadi. Entahlah sepertinya hari ini aku sedang sial. Bahkan aku tak ingat sudah berapa kali aku bolak-balik mengeluarkan isi perutku. Mengingatnya membuatku tak bersemangat.
Tanganku bergerak menutup jendela yang terbuka. Merapikan gorden yang berkibar ditiup angin. Aku tolehkan kepala ke sudut ruangan. Di sana aku mendapati Gio tengah berdiri dengan tatapan datarnya.
Aku melengos. Hantu itu tidak dapat membantu banyak. Saat aku butuh ingatannya yang kemungkinan dapat membantuku mengungkap kasus itu, sosok itu bah tak dapat mengingatnya. Ia hanya tau bahwa dirinya tak mati dengan bunuh diri.
Aku menghela napas. Meski tak peduli dengan kehadiran Gio, tetap saja aku tak bisa mengabaikannya. Tubuhku berbalik, kini menghadapnya yang setia dengan tatapan datar.
"Ingin mengatakan sesuatu?" tanyaku melihat ia yang diam saja.
Aku mengernyit setelah dibalas anggukan olehnya. "Apa?"
Sosok itu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Namun, berhasil membuatku bergidik.
Aku mengambil langkah mundur. Menjaga jarak dari Gio yang mulai memunculkan aura tak mengenakkan. Belum sempat aku mendekati pintu, tangan pucat nan dingin itu merangsek maju. Mencekik leherku, membuat punggungku menimbulkan suara berdebam pada dinding di belakang.
Tak ayal aku mengaduh, berusaha menahan sakit pada punggungku. Seraya menatap bingung pada Gio yang membalas dengan tatapan marah.
"Orang itu menjebakku!"
Suara lirih itu berhasil membuat aku memejamkan mata. Rasanya seperti hempasan angin yang menabrak wajah. Aku membuka mata manakala cekikan itu terasa lebih erat dari sebelumnya.
"A-apa? Si-sia-pa?" Aku berusaha mengeluarkan suara meski rasanya tercekat.
"Paramitha."
Netraku memelotot, hendak bersuara lagi. Akan tetapi tangan pucat itu seolah tak mengizinkanku. Sebaliknya rasa sesak mulai menyergap. Aku tak sanggup lagi membalas tatapan marah Gio, napasku terengah. Pandanganku mulai memburam. Hal terakhir yang dapat kutangkap dari Gio adalah sebutan nama yang tak kalah penting dengan Paramitha, sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Setelahnya gelap.
***
"AGUSTA!"
Suara seruan itu membuat kepalaku pening. Aku menggosok mata, mengerjap pelan guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke pupilku. Setelah dirasa bisa melihat dengan jelas, kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
Tembok putih sejauh mata memandang. Lantas pandanganku jatuh pada tiga orang yang menatapku khawatir, ya itu jika aku tidak salah menebak raut wajah.
"Gus, aku gak apa-apa?" tanya Heni, yang terlihat agak kusut kali ini. Apalagi matanya terlihat bengkak.
"Kamu salah nanya anjir! Dia yang sakit, kenapa kamu yang nanya gak apa-apa?" Haju menyahuti Heni, nadanya terdengar kesal.
Heni melengos, seolah suara Haju adalah angin lalu. Ia kembali menatapku, "Apa yang kamu rasain?"
Aku mengernyit, memangnya aku kenapa?
"Kamu kena gangguan hantu lagi."
Suara laki-laki dewasa di samping Haju membuatku menoleh refleks. Tidak lain dan tidak bukan adalah bang Budi.
Aku tersenyum miring, tiba-tiba ingat kejadian tadi malam. Tentu saja aku sangat ingat bahwa Gio menyebut namanya setelah Paramitha.
Aku yakin Gio bukan tanpa alasan menyebut nama sahabatnya itu. Pasti ada sesuatu antara keduanya yang aku tak ketahui.
"Gimana keadaanmu?" tanyanya seolah tak menghiraukan tatapan tajamku ke arahnya.
"Iya, Gus. Saya kaget lihat kamu pingsan semalam pas saya cek kamu ke kamar udah pulang apa belum. Langsung aja saya minta bantuan ke pak Awil buat bawa kamu ke rumah sakit universitas," sahut Haju membuat aku mengangguk-angguk pelan.
"Makasih ya," kataku seraya menampilkan senyuman tulus. Sebab jika tak ada dia, mungkin aku sudah mati tadi malam.
Aku mengalihkan pandang. Kini pandanganku jatuh pada Heni yang bergeming menatapku. Aku mengernyit, "Kenapa?"
Haju terkekeh pelan, "Sorry, saya hubungin dia saat kamu pingsan itu. Bukan cuma dia sih, tapi semua yang terlibat. Termasuk—"
"Saya." Aku dan Haju menoleh kompak pada bang Budi.
"Kita kayaknya perlu bicara empat mata, Gus. Saya yakin kamu punya banyak pertanyaan di kepalamu."
Aku melirik Haju dan Heni. Seolah mengerti, Haju mengangguk pelan. Meraih tangan Heni, hendak menariknya ikut keluar, tetapi gadis itu menggeleng.
"Kata Haju kita semua terlibat sekarang. Jadi, biarin aku ikut terjun mengungkap sampai ke akar-akarnya. Aku tau bahwa aku gak bisa bantu banyak, tapi lihat Agusta jadi kayak gini buat aku gak bisa tinggal diam aja."
Aku mengernyit, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Seperti bukan Heni yang sering melayangkan tatapan tak bersahabat padaku.
"Ini urusan kami berdua, Heni. Kalo kamu terlibat, urusan ini akan semakin runyam." Bang Budi menggeleng, "Bukan, tapi kita semua berakhir menyedihkan. Terlebih lagi kasus ini udah gak ada tanggung jawab pihak kampus lagi."
Aku dapat menangkap tatapan tak suka dari Heni saat menatap bang Budi. Entah benar atau hanya perasaanku saja.
"Urusan apa? Ingat Bang, kita semua terlibat dalam teror yang sama. Jadi, kita juga harus menyelesaikannya sama-sama." Gadis itu berucap tegas, membuat bang Budi mendecak.
"Heni," tegur Haju, yang meski terlihat bingung. Ia kembali menarik tangan Heni.
"Aku gak mau keluar, Haju!" Heni menghempaskan tangan Haju. Ia kembali menatap ke arah bang Budi. "Aku gak bakal keluar. Aku mau ikut selesaiin ini. Aku bakal ungkap peneror itu, apa pun yang terjadi. Meski mual dengan paket aneh yang berdatangan, aku gak akan mundur setelah apa yang kuterima."
"Cukup." Bang Budi mengintrupsi. Ia menoleh ke arahku. "Kalo kamu ingin mengungkap semuanya, harusnya kamu gak perlu libatin banyak orang."
"Bukan—"
"Side bener, Bang." Aku memotong kalimat Heni yang hendak memprotes. Aku mengagguk, "Kali ini kita bahas berdua. Kebetulan ada banyak hal yang ingin saya tanyain ke side. Semoga jawaban side memuaskan."
Aku beralih ke arah Haju dan Heni yang masih di tempatnya. Aku tau Heni pasti tak terima dengan keputusanku, tetapi aku tak ingin melibatkan gadis itu lebih jauh lagi. Sebab teror yang ia alami adalah aku sendiri. Begitupula dengan Haju. Meski ia bersedia membantu hingga akhir, tetapi aku merasa bersalah telah melibatkannya. Sebab tak seharusnya ia masuk ke dalam perangkap orang itu.
"Saya baik-baik aja. Kalian kabarin bang Sio sama bang Jihad ya, mereka gak perlu jenguk. Saya bakal balik asrama siang ini," ucapku berusaha meyakinkan keduanya.
Heni menghela napas, "Gimana kamu yakin?" tanyanya, yang sepertinya belum bisa menerima keputusanku.
"Makasih udah bantu saya, tapi sebaiknya kalian gak terlibat terlalu jauh. Saya yakin bisa ungkap kasus itu dengan bantuan bang Budi." Aku menarik sudut bibir, membentuk lengkungan ke bawah. Berharap dengan ini Heni tidak bersikeras lagi.
"Iya, Gus, sama-sama. Kami keluar dulu kalo gitu." Haju menarik tangan Heni, kali ini gadis itu tak memprotes. Aku masih memandangi keduanya hingga hilang di balik pintu. Sebelum akhirnya suara bang Budi mengambil alih atensiku.
"Kamu tau sesuatu, 'kan?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...