▪︎ 15. Gio Tidak Membantu ▪︎

26 15 0
                                    

Yuhuuu gaisss mari jangan lupa vote-!^^




***

Setelah mendengar penjelasan bang Budi tentang siapa Paramitha dan Haju, akhirnya aku tahu bahwa Paramitha sudah berhenti kuliah sejak kematian Gio. Bang Budi juga mengatakan, Paramitha masih bagian dari keluarganya, lebih tepatnya sepupunya. Namun, ia tak terlalu ikut campur pada kehidupan Paramitha ini, yang sebenarnya aku juga tak paham atas ceritanya kemarin. Ia malah menyuruhku menanyakan selengkapnya pada Gio. Sementara si Haju, bang Budi tidak terlalu mengenalnya. Sebab bang Budi jarang ke asrama, jadi ia hanya pernah berpapasan beberapa kali dengan Haju, tidak sampai mengobrol. Sehingga aku simpulkan bahwa kunci ceritanya ada pada Gio.

Oleh karena hal itu, malam ini aku sengaja menunggu Gio menampakkan diri. Setidaknya aku harus tahu fakta lain yang bisa ia beritahukan padaku. Aku tidak ingin linglung seperti ini, bingung harus mencari informasi ke mana lagi. Apalagi aku belum tahu konsekuensi apa yang akan kuterima karena gegabah membuka kasus ini. Memang belum ada panggilan dari pihak kampus, tetapi aku yakin lambat laun diriku pasti diminta menghadap. Sebab kasus ini bukan hal yang kecil, risikonya bisa berdampak besar pada nama baik kampus.

Yah, aku tidak mau juga mendapat kecaman buruk, hanya saja aku ingin kehidupanku saat ini setidaknya berjalan tenang. Aku juga berniat jika kasus ini berhasil kutuntaskan, maka aku akan berhenti membantu arwah penasaran. Sebab melihat mereka saja rasanya energi banyak terkuras.

“Apa yang mau kamu tanyakan?”

Aku terkejut begitu mendengar suara Gio. Laki-laki berwajah pucat itu berdiri di dekat jendela, tempat favoritnya.

“Tentang Paramitha.”

“Pacarku?”

Aku mendelik, masih saja ia sempat mengklaim manusia itu sebagai pacarnya. Tidakkah ia sadar diri bahwa sudah menjadi arwah gentayangan?

“Kamu tahu dia tinggal di mana?”

Gio menggeleng, netranya menatap ke luar jendela. “Kamu bisa tanya ke Budi, Gus. Kamu pasti tahu kalo mereka sepupuan,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya.

“Paramitha menghilang, bang Budi juga gak tahu dia ke mana,” jawabku cepat.

Gio menoleh ke arahku. Dahi pucatnya terlipat, “Tanyakan pada temannya, Gus. Aku tahu dia punya banyak teman.”

“Siapa? Anak HMPS juga?”

“Kemungkinan iya, kalo gak salah ingat, namanya sama kayak pacarku.”

“Maksudmu, Mita? Lamita Aurin?” kataku menyebutkan nama perempuan yang diberitahu oleh heni kemarin.

“Aku tidak tahu nama lengkapnya, hanya saja namanya memang Mita. Setauku dia akrab dengan Paramitha. Kamu bisa tanya dia,” katanya setelah mengganguk.

“Kamu yakin dia mau membantu?” Aku sebenarnya ragu, entah kenapa agak tidak yakin dengan Gio yang tidak ingat apa pun selain kematiannya. “Dan lagi, bagaimana dengan pihak kampus yang menutup kasusmu itu dengan tiba-tiba?”

Sosok di depanku menghela napas pelan, raut pucatnya terlihat semakin pucat. Pun terlihat kebingungan. Membuat aku bertanya-tanya, apakah mati dengan cara tidak wajar itu tidak akan diterima di mana pun?

“Gio ... sebenarnya kamu siapa?”

Pertanyaan itu tiba-tiba lolos dari mulutku. Membuat aku merutuki diri. Jika arwah ini tersinggung, bagaimana?

“Carilah, Gusta. Aku tidak tahu. Aku hanya tahu jika aku mati dengan cara seperti itu.”

Aku meringis mendengarnya. Meski di depanku ini bukan manusia, entah kenapa aku merasa iba. Seolah kamu bisa menempatkan diri pada keadaan yang ia alami. Padahal jika meninggalkannya, tidak akan ada masalah yang berat, hanya saja aku sudah terlanjur masuk ke dalam lingkungan ini. Mau tak mau, aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai.

Drrt ... drrt ....

Atensiku teralihkan karena suara ponsel di atas nakas. Aku segera mengambilnya, menilik siapa gerangan yang menelepon malam-malam begini.

“Siapa?”

“Teman kelas saya.” Aku menjawab singkat, lantas mengangkat panggilan tersebut.

“Ada apa?” tanyaku pada orang di seberang.

Aku mengernyit kala mendengarnya menjerit tertahan. “Kamu kenapa?” Aku berseru panik, suaranya terdengar bergetar.

“Oke, tunggu saya 10 menit. Saya segera ke sana.” Aku lantas memutuskan sambungan. Kemudian meraih jaket denim di atas ranjang.

“Kamu akan pergi?”

Aku mengangguk seraya memasang jaket itu. “Kayaknya ada sesuatu yang ngikutin teman saya itu sampai ke rumahnya,” ujarku.

“Hati-hati.”

Setelah mengangguk, aku lekas pergi meninggalkan asrama. Kini tujuanku adalah rumah Heni.

***

Begitu sampai di pekarangan rumah Heni, aku bergegas memarkikan motor. Kemudian menuju pintu yang di bawahnya ada undakan kecil yang menghubungkannya dengan halaman.

Aku mengetuk pintu perlahan, berharap Heni sudah tidak meraskan gangguan sehingga ia membukakanku pintu. Namun, harapan hanya harapan. Nihil. Tak ada tanda-tanda orang rumah keluar.

Aku mengintip pada jendela di samping pintu. Sialnya tertutup gorden, membuat aku tak bisa menilik keadaan di dalam dari tempatku ini. Aku mengumpat pelan kala kembali mendengar suara teriakan dari dalam sana. aku menggigit bibir dengan kuat, berpikir keras harus melakukan apa. Sementara berpikir, aku terus menghubungi ponsel Heni. Berharap gadis itu menjawab dan segera keluar dari rumahnya. Entah kenapa aku merasakan hawa tak enak, tetapi setangkapku ini bukan aura dari makhluk halus.

Aku mengernyit, hidungku menangkap bau melati. Tidak mungkin jika yang datang ke sini adalah sosok di kampus itu ‘kan?

Brak!

“AGUSTA!”

Aku terlonjak melihat Heni yang keluar dari pintu yang setengah dibanting. Gadis itu terengah-engah, sepertinya ia tengah berlari ke sini.

“Apa yang–“

“Bawa aku pergi dulu, Gusta! Kamu gak akan percaya apa yang aku lihat!”

“Nanti aku jelasin! Sekarang ayo!” Aku tertarik pasrah. Kembali mengatupkan mulut, meski sudah terlampau penasaran. Dengan berat hati, aku mengantar Heni pergi ke rumah Nabila. Katanya, ia akan menginap di rumah Nabila saja untuk malam ini, dikarenakan orang tuanya akan pulang besok malam.

***

Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang