▪︎ 21. Perkataan Sio ▪︎

37 16 0
                                    

Yuhuuu update cepet🤩

Yoo happy reading gaise, kalo baca cerita ini bisa sambil denger lagunya Ava yang judulnya Higher atau bisa cari langsung dengan kata kunci "ost pyramid game"😆


***


"Jadi, ... ada apa?"

Aku menunduk, menatap jari-jemari tangan di pangkuan. Padahal semalam aku sudah mendengar dari Heni dan Haju bahwa mereka diganggu lagi oleh orang misterius itu. Begitupula dengan bang Budi yang menghentikan pencarian Paramitha.

Pasal Gio, entahlah. Aku juga bingung. Beberapa hari lalu ia mengatakan hal aneh, aku tak paham maksudnya.

"Gusta?"

Kepalaku terangkat, menatap bang Sio sambil tersenyum tipis. "Side ... gak kena teror kan?" tanyaku pada laki-laki berambut blonde itu.

Bang Sio menggeleng, "Memang yang lain kena teror ya? Saya denger Heni marah-marah karena ngerasa hidupnya berubah sejak kenal kamu katanya," ucapnya sekaligus bertanya.

Giliran aku yang menggeleng, bukan tak mengakui fakta, hanya saja ini sedikit janggal. Aku tak tau bagaimana peneror itu bisa mengetahui siapa saja yang terlibat dalam pengungkapan kasus itu. Anehnya lagi, hanya bang Sio yang tak tau pasal teror-meneror.

"Kenapa? Tatapanmu kayak punya maksud tersembunyi."

Aku tak menghiraukan celetukan bang sio, sebab aku tengah mencari hal yang mencurigakan pada wajahnya.

"Kenapa woi! Jangan buat saya takut, merinding dilihatin kamu kayak gitu. Saya masih normal hei!"

Aku mendecak. Sepertinya memang orang ini tidak ada kaitannya dengan kematian Gio, pun dengan teror itu.

"Lagi sekali kamu natap dan bikin saya kaget, saya jagur kamu, Gus!"

Aku menyengir, seraya menunjukkan tanda peace dengan jari. Setelah bang Sio melengos, aku menghela napas pelan. Meski tak ada tanda-tanda mencurigakan pada bang Sio, aku masih ragu. Kenapa hanya bang Sio yang tak kena teror?

"Kenapa gak kena teror juga, Bang?" tanyaku setelah menyesap kopi buatan bang Sio.

"Kamu nanya saya, terus saya nanya siapa? Berarti mandi garam sama makan bawang putih saya manjur," katanya membuat aku menoleh refleks.

"Maksudnya, side tuh mandi garam? Bener-bener mandi garam?" Aku tak bisa percaya dengan perkataannya, tetapi apapun ucapannya pasti selalu mengandung fakta.

Bang Sio mengangguk mantap. "Eh, tapi gak juga sih. Saya ngambil air laut, itu masih disebut air garam kah?"

Aku melayangkan tatapan datar ke arah laki-laki itu. Entah kenapa aku agak kesal bila ia sudah menceletuk, tetapi selalu benar saja ucapannya. Mengherankan.

"Gus?"

"Eh, iya. Bisa kayaknya, Bang. Saya juga bingung ngomong sama side."
Bang Sio menggeleng pelan, "Kamu lagi mikirin apa? Susah banget rupa hidupmu."

Aku tertawa–tawa yang terdengar sumbang. Ah, lagi sekali aku katakan bahwa aku bingung.

"Kenapa kamu gak kepikiran buat rukyah diri? Atau sekalian kamu tutup mata batin."

"Mudah sih ngomong gitu, Bang. Kalo bisa, mungkin udah dari lama saya tutup. Pas SMA saya udah berusaha ngabaiin semua yang saya lihat, tapi ada aja yang nyantol ngeganggu," ujarku yan mengundang tatapan prihatin dari bang Sio.

"Berat juga ya." Aku hanya mengangguk menanggapi.
Beberapa saat kemudian hanya hening. Membiarkan suara musik di kamar lain yang mendominasi. Kami mulai sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku melirik bang Sio yang merebahkan tubuhnya pada kasur di belakang kami. Aku menggeleng pelan, kembali menghadap depan, memperhatikan dinding biru yang kosong.

"Gus," panggilnya membuat aku bergumam. "Sebenarnya saya penasaran."

Aku menoleh, kini mengubah posisi duduk ke arahnya. "Tentang apa?"

"Tentang semuanya. Tentang kamu yang lihat hantu, teror, dan penutupan kasus."

"Mundur aja, Bang. Sebelum kena teror kayak yang lain." Aku mengembuskan napas pelan, lantas kembali melanjutkan, "Saya agak nyesel, Bang, ngelibatin kalian dalam masalah saya. Sebelumnya gak pernah gini, tapi entah saking lelah atau pengen nyerahnya saya, jadi saya nyari bantuan sebanyak-banyaknya. Saya gak tau bakal gini jadinya."

Bang Sio terkekeh, "Memang kamu cenayang, heh? Mana bisa kamu prediksi mau ngapain besoknya. Ingat, kita itu cuma bisa berencana, urusan besok mah Allah yang atur."

Diam-diam aku membenarkan perkataannya. Namun, hal itu terpatahkan lagi mengingat diriku yang memiliki kelebihan seperti ini.

"Gus, gak ada yang bisa milih mau hidup gimana pas lahir. Gak bisa milih mau hidup miskin atau hidup kaya. Gak bisa milih mau jadi power ranger atau ultraman. Karena semuanya udah diatur, tapi yah bukan berarti kita nyerah. Itu sih gak banget ya, gak gentle juga jadi manusia pas punya masalah dikit bawaannya pesimis mulu. Kayak kamu ini contohnya," ucapnya panjang.

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Bingung mau menyahuti apa. Aku ikut merebahkan tubuh di samping bang Sio. Menatap langit-langit kamar berwarna kuning telur.

"Kenapa saya ya, Bang? Kenapa gak orang lain aja yang ngerasain ini."

Bang Sio mendecih, tetapi tak ada kesan meremehkan di dalamnya. Seolah aku memang sudah biasa dengan sikap bang Sio.

“Mungkin memang takdirnya. Berarti kamu kuat sama cobaan yang diberikan.”

Aku menggeleng pelan, tak ingin membenarkan ucapan bang Sio. Sebab jika aku kuat menjalaninya, mengapa aku sering mengeluh? Bukankah katanya, orang yang kuat menjalaninya adalah orang yang selalu sabar dan tak mengeluh atas hal yang dialaminya?

Bang Sio menghela napas panjang, lantas menoleh ke arahku. “Ngeluh mah normal, Gus. Seenggaknya dalam hidup, manusia ada bersama keluhannya. Entah itu diutarakan atau gak, tetap aja dia punya keluhan. Contohnya kayak saya, ngeluh kalo ngerasa ketemuk, tapi langsung mandi air garam sebagai solusi.”

“Memang ngaruh, Bang?” tanyaku masih tidak percaya dengan ceritanya.

“Ngaruh. Itu buktinya saya gak kena teror kayak yang lain,” ucapnya sambil mengangguk.

“Saya coba deh besok,” balasku, cukup penasaran juga dengan hasilnya. Siapa tahu dengan begitu aku bisa menutup mata batinku.

“Em, bentar Gus, ada yang mau saya tunjukin.” Bang Sio bangun dari posisi rebahannya, kini mendekat ke arah lemari kayu tanpa cermin yang tak jauh darinya.

Aku ikut bangkit, memperhatikan bang Sio menggeledah lemarinya. Namun, tak lama kemudian ia berbalik dan menunjukkan sebuah kepingan kayu yang seperti punya potongan yang lain. Aku mengeryit, seperti pernah melihatnya, tetapi lupa di mana.

“Ini saya temuin pas kita kumpul di sini. Saya gak tahu siapa pemiliknya, tapi kayaknya kamu tahu karena lihat reaksimu yang gak biasa.”

Aku menggeleng, “Saya ... kayaknya–“

“SIO!”

***

Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang