▪︎ 6. Secuil Tentang Gio ▪︎

65 21 7
                                    

Halo, bagaimana kabarmu?

Masih setia mengikuti cerita ini?👀






***


Dua jam yang lalu, aku sudah berada di kampus. Tepatnya di taman samping gedung C. Yah, lagi-lagi aku terjebak di sini. Entah kenapa mahasiswa-mahasiswa ini suka sekali duduk di hamparan rumput taman samping gedung ini. Walaupun memang nyaman, tetapi tidak denganku. Berbagai makhluk sudah pernah kutemui di sini.

Paling mengherankannya, entah kenapa sosok anak kecil yang sering tertangkap oleh mataku. Eh, ada sih orangtua, tetapi tidak banyak. Bisa dihitung jari. Seperti sekarang, dari balik tanaman semak yang sengaja dirawat itu, aku bisa melihat sesosok kakek tua yang membelakangiku. Tubuhnya sepenuhnya menghadap jalanan di depan sana. Jangan tanyakan bagaimana wajahnya, tentu aku tidak mau berkontak mata. Bisa brabe kehidupan kuliahku untuk kesekian kalinya. Cukup sudah di asrama saja.

"Gus, yang lain sudah dihubungi?" Aku menoleh ke arah seorang laki-laki dua tahun lebih tua dariku.

Aku mengangguk, lekas mengeluarkan ponsel dari kantung celana hitamku. Menggulir layar pada aplikasi hijau untuk berkirim pesan tersebut. Lantas mengetikkan pengumuman agar anggota HMPS segera datang ke mari.

"Bang, ternyata banyak yang izin gak bisa hadir," kataku setelah mendapat balasan dari beberapa orang. Tak terkecuali teman-teman kelasku yang entah kenapa mendadak izin.

"Orang-orang ini kalo urusan kumpul gini kok susah banget ya, Gus. Coba pas bercanda dalam grup, beuh ribut banget. Padahal ini untuk organisasi mereka sendiri loh. Gak ada prioritas banget!"

Aku meringis pelan mendengar kalimat bang Budi yang terdengar kesal. Belum sempat aku menyahuti, beberapa orang yang kukenal mendekat ke arah kami.

"Woi, Bre! Apa kabar side ne?" tanyanya pada bang Budi.

Sudah jelas memang pertanyaan itu ditujukan padanya, karena laki-laki dengan rambut macam oppa Korea itu yang paling jarang hadir. Jika tadi aku menyahuti perkataan bang Budi, kemungkinan aku akan melontarkan sindiran, tapi untungnya kutahan. Maklum, dia seniorku, dan aku tak mau mencari musuh di sela-sela kesibukan menyenangkan ini.

"Lah, Agus, berembe kabar?"

Ternyata aku baru terlihat ya, hm. Se-asyik itu mereka mengobrol sampai melupakan aku yang hanya memperhatikan mereka.

"Baik kok, Bang. Side gimana? Masih galau sama cewek kemarin, heh?" jawabku yang kulanjut dengan gurauan.

"Sue'! Malah diingetin." Aku tertawa renyah. "Tapi udah gak lah, saya udah ada gebetan baru," lanjutnya membuat aku mendelik.

Dasar laki-laki.

"Sob, kamu udah siap proposal kegiatannya? Besok banget kita harus cari sponsor." Ucapan bang Budi mengambil alih atensi kami bertiga.

"Udah. Tinggal nunggu tanda tangan dari kamu dan pembina," jawab bang Sio, yang tadi menanyaiku.

"Lama banget kamu ttd doang, Bud. Kenapa jugalah kamu ikut magang,  kami yang urus ini itu tanpa ketua jadi repot banget," sahut bang Jihad, laki-laki satunya yang tak pernah takut mengkritik kepemimpinan bang Budi.

"Iya-iya, saya juga gak tau bakal naik jabatan gini. Lagian kan besok udah lengser, adik tingkat yang bakal naik," ucap bang Budi menyudahi percakapannya. Sebab beberapa mahasiswa yang dapat hadir sudah kelihatan batang hidungnya. Membuat kami kemudian duduk melingkar. Segera memulai rapat.

***

Aku, bang Jihad, bang Sio, dan beberapa mahasiswa lain masih duduk di tempat tadi. Hanya sebagian yang sudah meninggalkan tempat rapat. Termasuk para mahasiswi yang tadi datang terlambat.

Kini kami hanya berbincang ringan, random saja. Bahkan ada yang membahas uang bulanannya atau lebih parah masalah percintaannya.

Aku hanya menggeleng pelan mendengarkan cerita mereka. Tak habis pikir dengan cerita mereka yang beragam. Sebelum akhirnya sampai pada pembahasan yang tak pernah kuduga sekalipun.

"Oh, Gio ya?"

Sebisa mungkin aku mengatur ekspresi wajahku, tak ingin ketahuan terkejut dengan pembahasan mereka. Aku mulai menajamkan telinga, mencuri dengan apa pun yang mereka sampaikan tentang Gio.

"Saya juga ngerasa kasihan sama dia. Pasti berat banget tanggungan hidupnya makanya milih bunuh diri."

"Ya lagian siapa yang bakal kuat saat masalah datang bertubi-tubi?" Bang Sio menyahuti. Ia menghela napas, lalu kembali bersuara. "Saya gak tau yang dia rasain gimana, tapi cukup buat kita sadar harus tetap teguh pendirian apa pun masalahnya."

Aku mengernyit, "Gio itu ... siapa, Bang?" tanyaku berusaha senatural mungkin menjadi orang yang tak tau apa-apa.

"Anggota HMPS juga, seangkatan dengan kami." Aku mengangguk kala bang Jihad menjawab.

"Terus dia ke mana sekarang? Pindah kampus kah?"

Terdengar helaan napas yang hampir kompak dari lima mahasiswa di depanku ini. Sepertinya topik yang ini cukup sensitif untuk dilanjutkan.

"Sebenarnya ini dirahasiakan, tapi khusus deh untuk kamu karena hari ini cuma kamu yang dari kelas A yang hadir." Bang Sio mengangguk pelan pada teman-temannya. Lantas kembali menatapku dengan serius.

"Gio itu udah meninggal. Dia korban bundir. Gak tau alasan pastinya apa, tapi yang jelas gak ada tindak lanjut dari polisi untuk usut kasus dia. Padahal dari pihak keluarga, kekeuh bilang kalo Gio gak mati karena bundir," jelas bang Sio membuat aku mengangguk paham.

"Jadi, almarhum itu gimana sekarang? Gak ada autopsi gimana?" tanyaku tak sadar jadi sangat penasaran. Padahal aku belum berbicara lagi dengan Gio bahwa aku setuju atau tidak untuk membantunya.

"Gak ada, Gus. Mereka lepas tangan. Dan polisi nutup kasus itu sebagai kasus bundir."

"Kenapa kayak gitu?" tanyaku lagi. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di sini.

Bang Sio mengangkat bahu, "Dari pihak kampus juga abai, Gus. Kayaknya takut mencoreng nama kampus."

"Kamu mau nanya apa lagi?" Bang Jihad menatapku datar, sepertinya ia bosan dengan pembahasan aku dan bang Sio.

"Gak ada lagi, Bang," sahutku seraya menampilkan deretan gigi.

"Kamu gak nanya sekalian tuh, di mana dia bundir?" Suara ketus bang Jihad refleks membuatku menggeleng.

"Ogah, Bang. Saya masih mau hidup aman di kampus ini. Lagian ceritanya udah lama kan ya," jawabku tak ingin terlihat nelangsa jika mereka tau aku tinggal di kamar bekas Gio.

Bang Jihad hanya bergumam, sedangkan yang lain tertawa melihat raut datar yang ditampilkan laki-laki itu. Kemudian mereka lanjut membahas hal lain.

Aku memilih tak peduli. Kuarahkan pandangan pada tanaman semak itu, sosok kakek itu masih di sana. Segera kualihkan perhatianku, tak ingin diketahui sedang memperhatikan.

"Ke mana, Gus?"

"Saya mau balik, Kak. Duluan ya," pamitku begitu berdiri, dan menepuk-nepuk rumput yang menempel pada celanaku. Baru kemudian, aku berlalu dari hadapan mereka.

***

Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang