Yuhuuu tengah malam~
Happy reading gaiseeee-!^^
***
"Kasus itu akan ditutup."
Sontak aku melebarkan mata. Menatap tak percaya pria paruh baya di hadapanku itu."Kamu keberatan? Mereka yang memintanya," katanya lagi kini menunjuk orang tua Gio yang duduk di berhadapan dengan bang Budi.
"Kenapa ... kalian ..."
Jujur, aku tak bisa berkata-kata. Meski semalam niatku memang sudah bulat untuk menarik laporan itu, tetapi rasanya ada yang janggal.
"Maafkan kami, Gus. Ini keputusan kami sekeluarga. Kami juga tidak enak dengan pihak kampus, yang tidak bersalah, tapi malah menjadi korbannya. Jadi, menurut kami kasus ini lebih baik ditutup," ucap pria paruh baya yang tak lain adalah ayahnya Gio.
Bohong. Dari matanya terlihat ada raut ketakutan nan kekhawatiran. Jelas alasan yang dilontarkan bertolak belakang. Sepertinya memang ada sesuatu yang tak beres."Tapi, Pak, bagaimana dengan–"
"Gus, keputusan tetap keputusan. Di sini tugas kamu cuma membantu, bukan memaksa."
Suara bang Budi membuatku menoleh. Aku mendecih pelan, memangnya siapa yang awalnya menyuruhku membuka kasusnya?
"Apa nama kampus akan bersih setelah kasus ditutup?" tanyaku melayangkan tatapan tak bersahabat. Entah kenapa aku merasa tidak suka dengan kalimat bang Budi barusan. Seolah aku hanya memegang peran sebagai pembantu dalam penyelesaian masalah ini. Tidakkah ia tau seberapa menderitanya diriku semenjak menapaki kaki di asrama itu?
"Bukan masalah itu, Gus. Kamu bisa tanya pak Rektor, apa dia juga mengalami hal yang sama dengan kami," katanya membuat aku mengernyit. Memangnya apa yang terjadi?
Pria berjas yang dipanggil pak rektor itu menghela napas pelan, netranya teralihkan menatap jendela besar dengan bingkainya yang dilapisi cat berwarna coklat terang. “Dia lewat sana,” katanya menunjuk ke arah jendela.
“Siapa?” tanyaku, masih tak paham maksudnya.
“Peneror.”
Refleks, aku menoleh ke bang Budi yang menjawab. “Jadi ... kalian juga?”
Mereka mengangguk kompak, membuat aku tak bisa tak terkejut. Bagaimana bisa?“Begitulah, Agusta. Sehingga kami memutuskan untuk menutup kasus ini. Berharap dengan ditutupnya kasus ini, tidak ada lagi teror yang kami rasakan.”
Aku menggeleng pelan, bukan tak setuju. Hanya saja lagi-lagi aku merasakan kejanggalan. Bagimana bisa orang-orang yang terlibat membantu mengungkap kasus Gio malah diteror semua?
“Iya, Nak, kami sepakat menutupnya karena hal itu,” timpal ibu Gio setelah mengangguk pelan.
“Tunggu. Bukannya saya gak setuju, tapi sebelumnya saya mau tanya.” Aku menatap mereka satu per satu. Berusaha melihat hal yang mencurigakan dari mereka masing-masing. Namun, nihil. Tak ada terlihat hal yang mencurigakan.
“Siapa yang neror kalian?”
Mereka menatapku, lantas saling pandang satu sama lain. Hal itu tentu membuatku bingung.
“Orangnya cantik.”
“Iya-iya, benar. Cantik,” timpal ayah Gio membenarkan jawaban istrinya.
Pak rektor juga mengangguk, membenarkan. Sementara bang Budi bergumam, tentu ikut mengiyakan juga.Aku berdecak, ternyata sama semua. Anehnya hanya Haju yang menyatakan bahwa sang penerornya laki-laki, tanpa ada kata ‘cantik’ seperti yang lainnya. Entah kenapa seolah ini telah diatur untuk membuatku bingung.
“Ada yang ingin kamu tanyakan lagi, Agusta?”
Aku menggeleng, aku tidak yakin akan menanyakan hal apa di saat aku dilanda kebingungan seperti ini. Terlebih lagi aku merasa tidak ada penjelasan berarti yang bisa disampaikan oleh pak rektor. Hanya perlu membiarkan pria itu mengurus urusannya agar nama kampus ini tak tercemar.
“Kalo begitu kami pamit, Pak. Maaf telah mengganggu waktu sibuknya,” ucap bang Budi seraya menyalami pak rektor. Aku meneladani, mengangguk sopan sebelum benar-benar keluar dari ruangan dingin itu.
Begitu berada di luar, bang Budi memanggilku. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah memastikan tidak ada orang di sekitar kami.
“Apa?”
“Jangan bahas tentang Gio lagi. Kalo bisa kamu pindah saja ke kosnya Sio atau Jihad. Saya denger di sana ada kosong,” ucapnya membuat aku menggeleng.
Waktu semester 1 hanya hitungan minggu. Aku akan pindah dari asrama setelah semuanya selesai. Termasuk mengungkap kasus itu sendirian, meski tanpa bantuan pihak berwajib.
“Jangan gila, Gus. Kita gak tahu ke depannya bakal gimana.” Aku bisa menangkap kekhawatiran dari iris hitam milik bang Budi itu. Namun, tekadku sudah kuat. Aku akan berusaha sebisaku untuk menyelesaikan apa yang telah kumulai.
“Daripada itu, bagaimana dengan Paramitha?” tanyaku mengalihkan topik. Aku ingin tahu kabar gadis yang menjabat sebagai pacar Gio itu. Sebab aku masih berharap bisa mendapat informasi tentang kehidupan Gio darinya.
Bang Budi menggeleng. Ia tak menjawab, sebaliknya melewatiku. Tentu aku segera mengekor, aku tahu bahwa bang Budi pasti sesuatu. Rasanya ganjil jika ia malah tak tahu apa pun tentang Paramitha dan Gio. Terlebih keduanya adalah orang dekatnya.
“Saya jarang bergaul sama mereka, Gus,” jawab bang Budi setelah aku menanyakan keakraban persehabatan mereka dahulu. “Meski dianggap sahabat, nyatanya keduanya lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Saya ngikut aja, tapi gak pernah benar-benar ikut.”
Bang Budi tersenyum simpul, seraya mengangkat bahu, “Udah lewat, tapi kenangannya masih terasa.”
“Jadi, sebenarnya Gio itu gimana?” tanyaku, penasaran.
“Dia baik, cuma ya setelah Paramitha masuk dalam circle kami, perlahan semuanya berubah.”
Aku mengernyit, “Berarti bukan sekelompok dari awal kuliah?”
Bang Budi mengangguk, “Entahlah, bisa dibilang begitu?” Laki-laki itu mengangkat bahunya, lantas mengeluarkan rokoknya. Memantiknya tanpa memedulikan aku yang anti dengan asap.Aku membiarkan laki-laki itu beberapa saat dengan rokoknya. Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Kenapa?”
“File itu ... apa isinya video Gio?”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...