▪︎ 13. Malam Kematian Gio ▪︎

42 17 0
                                    

Annyeong, masih stay kah sama cerita ini???

***

Setelah dipikir-pikir, menyimpulkan  alasan untuk tetap bertahan tinggal bersama arwah Gio sangat tidak masuk akal. Untuk apa aku berkorban? Agar tidak diganggu? Agar tetap nyaman berada di asrama? Bodoh!

Harusnya demi kuliah, aku bisa tinggal di mana pun. Tidak harus asrama!

Aku menghela napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan. Sungguh, aku tengah frustrasi sekarang. Ada banyak tugasku yang terkendala hanya karena berusaha membuka isi file yang entah apa. Berapa jam yang kubutuhkan? Satu, dua, tiga jam?

Tentu saja tidak. Aku sudah berusaha membuka file itu dengan berbagai cara, termasuk kemasukkan segala kata sandi rumit. Namun, apa hasilnya? Nihil.

Seminggu penuh aku hanya berusaha membuka file itu. Melupakan kegiatan perkuliahanku dan berakhir mendapat tugas tambahan yang membuat aku kepalang lelah. Jujur saja, aku rasanya ingin berteriak tak terima dengan kehidupan yang demikian. Namun, lagi-lagi tak ada waktu. Selain menyebut diri sendiri adalah sumber kebodohan itu.

Brak

Aku menoleh pada Gio yang datang. Aku mengernyit, biasanya malam senin ia tak akan menampakkan dirinya. Lantas, sekarang apa?

"Kamu melakukan hal bodoh, Agusta!"

Alisku menukik, maksudnya apa?

"Apa yang kamu katakan pada Sio?"

Aku menggeleng, memangnya apa yang aku katakan? Rasanya aku hanya bertanya, bahkan tidak menjawab pertanyaan bang Sio saat itu.

"Memangnya apa?" tanyaku akhirnya.

"Aku mendengar manusia-manusia bodoh itu mulai membicarakanku lagi," ucapnya menatapku dengan nyalang.

Aku yang tidak mengerti maksudnya hanya bisa memgernyit, manusia bodoh yang mana? Apa hubungannya dengan bang Sio?

"Kamu membuka kasusku lagi?"

Aku mengangguk, memang benar. Lagipula untuk apa aku melakukannya sendirian jika ada pihak berwajib yang dapat membantu? Hanya saja file yang kudapatkan ini belum aku ungkapkan, baru hanya bang Budi yang tau.

"Kenapa?"

"Kamu tanya kenapa? Ya, agar mereka membantu menemukan buktinya," kataku akhirnya, walau sebenarnya gak heran dengan pertanyaan Gio.

Kenapa?

Apanya yang kenapa?

"Bodoh, Agusta! Mereka tidak akan percaya!"

Aku menggesekkan gigi, tidak bisakah ia memberitahuku secara penuh tentang misteri kematiannya? Itu akan lebih memudahkanku dalam pencarian.

"Tidak. Kamu harus bisa menangkap pelaku! Aku ingin bebas dari sini, Agusta!"

Suara yang seperti hembusan angin itu berhasil membuat jendela asrama terbuka lebar, pun membuat gorden putihnya melambai-lambai.

Aku menghela napas dengan kasar, lantas menatap Gio yang auranya berbeda dari hari biasanya. Aku terdiam beberapa saat, tengah mencerna sesuatu yang sempat terlupa.

Kuyakini kernyitan di dahi terlihat jelas di mata Gio. Sebab baru tersadar sesuatu.

"Malam ini ..."

Gio mengangguk, kepulan hitam seperti asap di sekeliling tubuhnya terlihat berterbangan. Perlahan menghilang, menyisakan kepulan tipis.

"... Makammu di mana?" lanjutku, setelah memastikan dengan tersirat bahwa malam ini adalah malam kematiannya.

Bukan tanpa alasan aku meyakini itu, sebelumnya pun sama. Arwah-arwah yang kubantu akan lebih ganas dan aura hitam pekat mengelilingi tubuhnya. Tak hanya dari aura, aku sejak tadi melihat Gio memegangi lehernya. Hal yang tidak biasa ia lakukan jika muncul di hadapanku.

Sebenarnya agak ngeri mengingat cuplikan gantung diri yang pernah Gio tunjukkan padaku. Rasanya lemah sekali saat melihatnya. Tentu ada perasaan takut yang menghantuiku jika aku berakhir seperti demikian.

Astagfirullah. Apa yang aku pikirkan? Tidak-tidak, aku harus tetap waras meski fisik dan batinku tidak baik-baik saja.

"Kamu mau apa, Gusta?"

Aku menoleh, lupa jika Gio masih berdiri di tempatnya. Aku memilih beranjak, mendekat ke arah jendela. Lantas menutupnya agar angin malam tidak menerobos masuk. Baru kemudian beralih menghadap Gio yang  ternyata masih menatapku.

"Saya hanya ingin berkunjung. Siapa tau kamu ingin dikirimkan Al-Fatihah supaya tenang," ujarku sambil mengangkat bahu.

"Jangan lupa kalo aku nonis, Gusta."

Aku meringis pelan. Aku melupakannya.

"Daripada mengunjungi makamku, lebih baik kamu mulai mencari saksi."

Alisku terangkat, "Siapa?"

"Yang dekat saja. Pacarku misalnya," katanya sambil tersenyum lebar. Senyum yang aslinya mengerikan di mataku. Terlebih dengan aura pekat yang masih tersisa itu.

Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Padahal sejak tadi aku tidak merasakan  apa pu saat berhadapan dengan Gio. Lantas kenapa aku baru merasa merinding sekarang?

"Atau ... orang yang datang."

Aku menggerakkan kepala kala suara ketukan pintu terdengar. "Orang yang pertama kali melihat saya?"

Gio mengangguk, dan menunjuk dengan dagu ke arah pintu tersebut. Tanda aku harus membukanya segera.

Aku bergegas mendekat ke pintu. Membukanya. Dan hal pertama yang aku lihat adalah seorang laki-laki dengan rambut klimis dan kacamata bulat merosot pada pangkal hidungnya.

"Kamu ... yang waktu itu?"

Dia mengangguk, "Ah, saya sebenarnya ingin membicarakan sesuatu."

Aku melengo mendengar bahasnya yang terlampau baku. Tak ada logat Lombok yang terdengar dari suaranya.

"Boleh?"

Aku mengerjap, hampir melamun lagi. Aku segera mengangguk, "Boleh. Ayo," ajakku tak ingin kehilangan kesempatan.

Dia mengangguk lagi, kini berjalan lebih dulu menunjukkan tempat untuk mengobrol. Aku melirik Gio yang masih berdiri pada posisinya, tak bergeser barang sejenak. Setelahnya aku mengikuti arah perginya orang tadi.

"Di sini?"

Aku menyapu sekitar yang gelap. Laki-laki itu bahkan sudah duduk di kursi meja bundar yang ada di belakang bangunan asrama. Tak ada penerangan selain cahaya bulan di langit sana.

Aku meringis pelan, tak ayal ikut duduk pada kursi di hadapannya. "Apa?" tanyaku tak ingin berlama-lama.

"Saya siap jadi saksi untuk kasus Gio."

Aku terbelalak, maksudnya?

"Saya tau bahwa kasusnya dibuka kembali. Jadi, saya mau turut andil dalam kasus itu." Ia berkata mantap setelah mengangguk.

"Memangnya kamu siapa?" tanyaku yang tak tau siapa gerangan di depanku ini.

"Saya Haju. Saya kenal dengan Gio, sangat akrab malah," katanya memperkenalkan diri.

Aku menggeleng pelan, daripada itu, apa dia bisa dipercaya? Lagipula untuk menjadi saksi bukan ke aku lapornya, tapi ke pihak yang sudah menjadi tugasnya.

"Kamu gak percaya?"

"Bukan itu! Tapi ... kamu beneran mau jadi saksinya Gio?"

Haju mengangguk pelan, ia melirik ke sana ke mari, sebelum akhirnya menatapku dengan serius.

"Kenapa?"

"Saya ingin mengungkapkan segalanya."

***

Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang