▪︎ 23. Teror Lagi ▪︎

44 18 0
                                    

Yuhuu up-!

Happy reading~



***

Kos bang Sio.

Aku kembali ke sini usai dari rumah. Tak kuhiraukan rencana bertanya pada Gio malam ini, karena penelepon misterius itu.

"Kamu ... ditelepon juga?" tanya bang Sio setelah aku selesai menceritakan kejadian tadi sore.

Aku mengangguk, lantas menoleh pada bang Jihad yang terlihat heran. "Side gak diteror juga, Bang?"

"Dia sebenarnya lagi syok, Gus. Dia denger suara orang yang nelepon tadi, dan dugaannya sama kayak kita bahwa  orang itu adalah Paramitha." Bang Sio yang menyahut, sementara bang Jihad mengangguk. Sepertinya membenarkan perkataan bang Sio.

"Asli, setahu saya Paramitha udah gak ada. Tapi kenapa suara yang nelepon kalian malah mirip suara dia?"

Aku dan bang Sio menggeleng kompak. Tentu saja itu juga menjadi pertanyaan bagi kami. Tambahan pertanyaannya, kenapa orang itu bisa menghubungi kami di satu waktu secara bersamaan?

"Jihad, apa bener kubur yang kamu temuin itu kuburnya Paramitha?"

Bang Jihad mengangguk mantap, benar-benar tak ada keraguan di wajahnya. "Saya berani sumpah, Yo! Saya gak bakal bercandaan kalo tentang mati," ucapnya tegas.

Aku menghela napas, kepalaku rasanya sakit memikirkan semua ini. Belum lagi besok aku ada presentasi kelompok, hah entahlah apakah bisa kukejar belajar malam ini atau tidak.

Bang Sio menepuk bahuku, membuat aku menoleh ke arahnya. "Kenapa, Bang?"

"Kamu balik gih, tenangin dirimu dulu. Saya yakin kamu juga lebih banyak yang dipikirkan selain ini." Bang Sio tersenyum tipis, tak dapat dimungkiri jika ia juga terlihat lelah dengan semua ini. Yah, meski ia tak mendapat teror paket atau bayangan orang seperti aku dan yang lainnya, tetapi tetap bisa membuat mentalnya mengendur.

"Iya, bener, Gus. Kamu perlu istirahat, besok kita lanjutkan lagi diskusi ini," sahut bang Jihad membuat aku mengangguk setuju.

Keduanya benar. Aku lelah. Energiku terkuras habis dalam perjalanan ke mari. Tak ayal pula dengan pikiranku. Semerawut.

Aku mengusap wajah dengan telapak tangan. Mengembuskan napas panjang. Tiba-tiba teringat akan mainan kunci yang beberapa waktu lalu ditunjukkan oleh bang Sio.

"Bang, mainan kunci itu masih ada? Maksud saya kepingan itu."

"Eh, yang tadi kamu tunjukkin ke saya itu juga, Yo?" sambut bang Jihad ikut bertanya.

Bang Sio berlari ke dalam kamar. Tak lama setelahnya kembali duduk di hadapan kami. Beruntungnya penghuni kos yang lain sedang keluar, jadi kami cukup leluasa untuk membahas topik sensitif tentang perhantuan dan tetek bengeknya.

"Ini maksudmu, Gus?" Bang Sio kembali menunjukkan kepingan mainan kunci berbahan kayu itu ke arah kami. Aku mengangguk sebagai respon, dan hal itu juga membuatku ingat di mana pernah melihatnya.

"Dapet di mana, Yo? Setahu saya yang punya ini cuma Budi. Apa ini punya Budi?"

Suara bang Sio berhasil membuat kami menoleh ke arahnya. Aku mengernyit, benarkah?

"Dapet pas diskusi di sini, tapi pas kamu gak ikut itu karena kamunya nolak buat terlibat," jawab bang Sio yang kini meletakkan benda berbahan kayu itu di tengah-tengah kami.

Bang Jihad membulatkan bibirnya, seraya ber-oh panjang. Tak lupa dengan anggukan kecil beberapa kali. "Mainan ini punya pasangan, seingat saya terakhir kali lihat benda ini di gantungan tas Budi."

Aku terbelalak, ternyata benar bila benda ini punya pasangan. Artinya, kepingan satunya yang berada pada Haju adalah pasangannya.

"Kenapa, Gus?"

Aku menggeleng pelan, tidak berani menceritakannya sebelum aku membuktikan kebenarannya. "Gak ada, Bang. Cuma kaget aja, berarti bang Budi punya pacar yang dikasih keping sebelahnya."

"Gak yakin, Gus. Budi itu orangnya aneh. Tapi entah kenapa bisa sahabatan sama Gio yang notabene-nya mahasiswa yang cukup famous dulu," jelas bang Jihad.

Aku melirik bang Sio yang menyetujui. Bagaimana memberitahu keduanya ya? Akankah mereka percaya jika aku memberitahu bahwa benda itu ditemukan Haju di asrama, tepatnya kamar asrama yang kini aku tempati itu. Dan aku yakin pasti bang Budi afa hubungannya di balik ini dengan

Belum sempat aku mengeluarkan kalimatku, tiba-tiba decitan gerbang kos bang Sio terdengar menggema di sekitar kami. Aku mengernyit, lantas menoleh ke arah pandang kedua seniorku ini.

Di tengah-tengah gerbang itu, samar-samar aku melihat bayangan. Aku menyipitkan mata, berusaha menangkap sosok apa yang ada di tengah sana. Cukup lama menatapnya dengan menyipit, aku menyadari bahwa sosok itu mempunyai bayangan saat sebagian tubuhnya maju mengenai cahaya lampu, yang tepat berada di atas setelah gerbang.

Fokusku buyar begitu mendengar panggilan dari bang Jihad. Ia sepertinya juga melihat apa yang aku lihat. Bukan sesosok hantu, melainkan yang kami perhatikan adalah manusia hidup.

"Kamu lihat juga kan, Gus?" tanya bang Jihad, sepertinya memastikan bahwa dirinya tak salah tangkap.

"Bentuknya gimana, Bang? Menurut side itu cowok atau cewek?" tanyaku setelah mengangguk, menjawab pertanyaannya yang tadi.

"Cewek."

Aku dan bang Jihad saling pandang manakala menangkap suara bang sio yang ternyata ikut memperhatikan. "Rambutnya panjang—"

"—Awas, cok!" Bang Sio mendorong kami berdua, membuat kami berguling dari teras menuju ke bawah.

Aku mengaduh, sambil mengelus bokongku yang terkena ujung teras. Seperkian detik aku menoleh ke bang Jihad yang juga melakukan hal yang sama sepertiku.

"Yo, apa yang kamu lihat sebenarnya?" tanya bang Jihad menatap lurus laki-laki berambut blonde itu.

Bang Sio menggeleng, "Saya gak tau, tapi saya yakin kalo dia cewek."

Bang Jihad beralih ke arahku. Seolah mengatakan bahwa yang dilihatnya tidak sama dengan bang Sio. Namun, apa pun itu. Aku setuju dengan penglihatan bang Jihad kali ini.

"Cowok," tegasku. "Ya, dia cowok."

"Bukan itu yang penting, tapi ... ITU!" tunjuk bang Sio pada sebuah kardus yang terlempar dan berada tepat di dekat kakiku.

"Yang isinya ... kepala tikus?"

***




Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang