▪︎ 17. Mencari Lagi ▪︎

49 19 0
                                    

Ahay gaiseee sudah mulai up lagi yaw xixxi mari jan lupa voment-!^^

Happy reading~





***

Setelah kejadian yang dialami oleh Heni dan Nabila waktu itu, kini keduanya ikut membantuku mengungkapkan kasus kematian Gio. Tak tanggung-tanggung bang Budi juga semakin gencar menginformasikan bahwa Paramitha telah ia temukan. Sekarang senior itu memintaku untuk datang ke kos bang Sio. Sebab tanpa penjelasan, bang Sio ternyata ikut mencari tau. Bukan hanya itu, Haju juga rajin mengkonfirmasi tentang bukti-bukti yang ia ketahui. Yah, meski perkembangannya lambat karena ia lupa tempat menyimpan bukti yang ia temukan di kamar Gio. Setidaknya yang membantuku ramai, hanya saja Gio tidak tahu itu. Sebab arwah satu itu rada sensitif dengan orang baru.

Aku menoleh kala mendapati bang Sio yang keluar dari kamarnya. Ia melirik ke sana ke mari, entah tengah mencari apa, yang pasti tatapannya seperti ketakutan.

"Kenapa, Bang?" tanyaku begitu ia duduk di hadapanku.

Bang Sio menggeleng, "Gak tau. Setelah ikut pencarian kemarin bareng Budi, saya ngerasa ada yang aneh. Apa iya saya ketempelan? Kamu ada lihat gak makhluk di sekitar saya?" tanyanya kembali menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan.

Tidak heran lagi jika ia bertanya demikian, karena bang Budi pasti sudah membeberkan semuanya. Termasuk diriku yang indigo ini.

"Gak ada, Bang. Side bawa bawang putih ya?" jawabku sekaligus bertanya. Bukan tanpa alasan aku bertanya, aku membaui ada aroma tumbukan bawang putih itu saat bang Sio datang.

"Loh? Kerasa baunya?" herannya yang kutanggapi dengan anggukan. Ya gimana, bau bawang putih itu cukup menyengat loh.

"Keras banget gak?" tanyanya lagi seraya mengeluarkan dua bungkus kantong kain berukuran kecil ke arahku.

"Isinya bawang putih?" Pertanyaanku terkesan retoris.

Bang Sio mengangguk, "Saya maling bawang punya Inak saya ini, mahal kalo beli bawang mah," ungkapnya, padahal aku tidak bertanya.

Namun, kalimat itu sukses membuat aku mendelik. "Pantesan gak bekerja, orang barang curian," selorohku membuat laki-laki itu menyengir.

"Eh, jangan bahas saya. Itu si Heni sama Nabila mana? Saya mau minta diperetuk ini, takut banget saya ketempelan. Pineng aneh, padahal saya udah minum kopi dua gelas siang tadi," katanya memindahkan topik seenak jidat, ya meski masih berhubungan dengan pembahasan pertama.

"Gak ada apa-apa di sekitar side, masa gak percayaan sih?" ucapku tak habis pikir dengan laki-laki di hadapanku ini. "Lagian tadi Heni bilang mau mampir ngewarung dulu di depan SD," lanjutku menjawab pertanyaannya.

"Asem, malah kita di-"

Kalimat bang Sio menggantung manakala ponselnya berdering keras. Bang Sio mengernyit, ia menatapku sembari menunjukkan layar ponsel yang menampilkan dengan nama 'nomor pribadi'. "Siapa anjir?" tanyanya memelototkan matanya.

"Angkat aja, Bang. Siapa tahu itu pinjol yang nagih hutang side," jawabku asal, sengaja agar tidak tegang-tegang amat. Apalagi bang Sio semakin menunjukkan raut was-wasnya.

"Ini!"

Aku menatapnya datar, bisa-bisanya ia melempar ponselnya ke arahku. Untung aku sigap menangkapnya, jika tidak, ya sudah wassalam.

"Halo," sapaku setelah menarik icon hjjau itu ke atas.

"Gio?"

"Sudah di alam lain. By the way, ini siapa ya?" tanyaku begitu mendengar suara perempuan di dalam ponsel itu.

"Anjir, alam lain gak itu!" celetuk bang Sio seraya menutup mulutnya guna menahan tawa.

Aku mendelik, kembali fokus pada suara di seberang yang terdengar.

"Ah, aku kira dia masih hidup. Oh iya, ini dengan siapa ya?"

Aku menghela napas pelan, benar-benar malas menjawabnya. Lalu aku menyerahkan ponsel itu pada bang Sio. Laki-laki itu mengambilnya, sebelum menjawab perkataan orang di seberang, ia menyalakan loudspeaker-nya.

"Saya temannya Gio. Saya ngerasa familiar sama suara, Mbak. Apa Mbak ini temennya Gio ya?" tanya bang Sio.

"Bukan, tapi saya ...."

Baik aku maupun bang Sio mengernyit saling tatap. Entah kenapa suaranya tidak jelas begitu menyebut identitasnya.

"Bisa diulang, Mbak?" pinta bang Sio lagi. Aku yakin dia sama herannya denganku.

"Saya ...."

Aku menganga kecil. Dia sebenarnya bilang apa? Kali ini kalimatnya lebih panjang. Sepertinya ia menceritakan sesuatu.

"Sudah ya, saya sudah memberitahu kalian."

Tut.

Beberapa detik, aku terdiam. Sama halnya dengan bang Sio, sebelum akhirnya ....

"Ini setan kan, Gus?"

Aku menggeleng pelan, daripada setan, ini lebih ke orang iseng. Namun, aku teringat bang Sio tadi mengatakan merasa mengenal orang itu.

"Siapa yang side maksud familiar?" tanyaku penasaran.

"Pacarnya Gio. Suara medoknya yang asli Jawa buat saya yakin kalo itu dia." Aku mengangguk, karena tak tahu harus merespon seperti apa.

Aku balas menatap bang Sio. Ia juga balas menatapku, kali ini memelotot. "DIA KETEMU!" seruku kami bersamaan.

"Ayo cepet telepon itu Budi! Kita harus ketemu sama Paramitha ini!"

Aku segera mengeluarkan ponsel. menghubungi bang Budi yang entah sedang sibuk apa. Aku tak peduli, asalkan kasus ini segera terungkap.

"Gimana?" Aku menggeleng pelan, nomor bang Budi tidak aktif. Padahal tadi malam, laki-laki itu yang menyuruh kami untuk berkumpul.

Tok! Tok! Tok!

Aku dan bang Sio menoleh ke arah pintu toilet yang tak jauh dari tempat kami. Kami saling pandang, lantas menatap lagi pintu yang seperti diketuk dari dalam itu.

"Gus," panggil bang Sio yang kubalas dengan gumaman seadanya. Tak dapat dimungkiri bahwa aku juga takut, meski bukan pertama kali melihat yang seperti demikian.

"Cek coba, Gus," kata bang Sio membuat aku mendelik. Mentang-mentang diriku ini indigo, dikira tidak takut juga kah dengan suara misterius itu?

Namun, namanya rasa penasaranku lebih besar dari rasa takutku, aku bangkit dan perlahan mendekat ke arah toilet. Entah mengapa kali ini aku lebih was-was ketimbang melewati jalanan kampus di fakultas teknik. Pelan, tapi pasti, aku kian mendekati pintu. Tanganku terulur untuk menyentuhnya, tiba-tiba ....

"AGUSTA KAMPRET!"

***

Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang