Yheye double up-!^^
***
Aku mengerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke pupilku. Lantas membuka mata dengan kesadaran penuh. Langit-langit ruangan adalah hal pertama yang menyapa indera penglihatanku.
"Eh, Gusta, udah gak apa-apa?"
Aku mengernyit, menatap Haju dengan penuh tanya. Memangnya aku kenapa?
"Syukurlah kalo kamu gak apa-apa. Tadi kamu tiba-tiba pingsan."
Netraku melebar, segera aku beranjak memeriksa ponsel di kantong hoodie-ku. "Di mana?"
"Apa? Hape mu?"
Aku mengangguk, memangnya apa lagi?
"Lagi diperiksa sama bang Sio, ternyata ada banyak yang kamu sembunyiin dari kami."
Tak ingin mendengar penjelasan lebih lanjut, aku segera keluar kamar. Menghampiri bang Sio yang tengah mengecek ponselku bersama dengan bang Jihad.
"Bang!" sentakku, tak terima privasiku dilanggar begitu saja.
"Kenapa kamu gak cerita, Gus?" tanya bang Sio setelah aku berhasil merebut ponselku. "Tega banget ngeliat kami kek orang dongo, gak tau apa-apa."
"Saya bakal kasih tau, tapi saya mastiin dulu." Aku beralibi, tak mungkin mengatakan jika aku tak ingin membaginya.
"Tapi seenggaknya kamu kode ke kami, biar kami gak ikut juga diteror sampai saat ini. Menurutmu karena siapa kami ikut terlibat jauh seperti ini? Gak lain, cuma karena kamu, Gus."
Aku bisa menangkap raut kecewa dari bang Sio. Namun, aku tidak bisa mengelak.
"Menurutmu, kami bela-belain kayak gini karena mau bantu siapa? Bantu kamu, Gus. Tapi saya kecewa karena caramu yang masih nyimpen rahasia kayak gitu."
Aku menggeleng pelan, "Bukan itu yang penting, Bang."
"Gus."
Aku mengintruksi bang Jihad untuk tidak ikut bersuara. Pun dengan Haju dan Heni yang juga hanya diam.
"Urusan kecewa, nanti aja, Bang. Saya perlu ketemu bang Budi dan minta penjelasannya. Kemudian, saya harus balik ke asrama, ada sesuatu yang harus saya lakukan."
"Apa rencanamu? Kalo kamu masih nyimpen rahasia, saya menolak untuk bantu," ucap bang Sio tegas.
Tak ada pilihan. Aku mengangguk, mengiyakan. Sebab, aku memang membutuhkan mereka untuk mengungkap kasus ini.
"Kalian udah nonton kan?"
"Iya, Gus. Tapi aku gak paham, cowok itu ... kenapa mirip Gio?"
Jika Heni saja bertanya-tanya, maka aku juga demikian. Namun, menurutku itu sudah terjawab. Di mana ternyata Gio memiliki kembaran. Tak heran jika beberapa waktu lalu saat aku di rumah sakit melihat siluet yang mirip dengan Gio. Aku yakin pasti dia dalang di balik semua ini.
"Benar Heni, dia kembaran Gio." Bang Sio akhirnya menyahut lagi. Kini diiringi dengan helaan napas panjang. Aku tau, pasti ia masih tak bisa menutupi kecewanya, tetapi kali ini perasaan pribadi tidak dapat diikutsertakan. Sebab, kami harus fokus.
"Saya minta tolong kalian cari alamat bang Budi. Saya bakal balik ke asrama buat ketemu Gio. Ada hal yang perlu kita luruskan," ucapku cepat, merasa tidak ada waktu lagi.
"Oke, hati-hati, Gus." Aku mengangguk penuh arti ke arah Haju. Laki-laki ini cukup berjasa dalam membantuku memecah kasus, di saat bang Budi terlihat enggan membantu.
"Bang, maaf sebelumnya. Setelah selesai ini, saya bakal berusaha minta maaf dengan benar. Saya pamit." Aku tersenyum singkat. Berharap kasus ini memang menemui akhirnya. Dengan kata lain, selesai.
***
"Bagaimana? Apa kamu ingat sesuatu?"
Yap, tujuanku ke asrama adalah Gio. Aku sengaja meluruskannya. Sebab aku ingin setidaknya Gio pergi dengan tenang.
Gio mengangguk sebagai respon. Ia terlihat puas setelah melihat isinya.
"Ada yang—"
"Gak ada, Gus. Aku mengaku salah. Memang benar, Paramitha meninggal karena aku. Karena aku meminta dia menggugurkan janinnya."
Aku menggeleng, "Dia gak ngelakuin itu."
Gio mengernyit, "Maksudmu?"
"Dia mogok makan yang berakhir di-opname."
Gio tertunduk. Sepertinya ia menyesal.
"Apa? Apa yang bisa aku lakuin untuk nebus kesalahan itu, Gus?"
Indera runguku menangkap nada resah pada kalimatnya.
"Aku ... aku gak bisa buat dia bahagia," ucapnya lagi dengan raut menyendu.
"Ada, ada yang bisa kamu lakuin," kataku tak ingin berlama-lama melihat raut Gio yang terkesan masam.
Gio mendongak, "Apa itu?"
"Kembali dengan tenang, Gio. Saya yakin Paramitha menunggumu di sana," ucapku berusaha tenang, tak terbawa suasana.
"Maksudmu, aku kembali ke alamku?"
Aku mengangguk. Itu adalah solusi yang tepat. Sebab, mengulur kepulangan itu tidak baik. Lebih baik ia mengikhlaskan semuanya di sini.
"Itu pilihan terbaik kan?"
Aku mengangguk pasti. Tidak ada yang lebih indah dari merasakan rasa damai.
"Baiklah, aku akan kembali." Gio tersenyum, dengan wajah pucat seperti itu membuatnya terlihat sedikit menyeramkan.
"Terima kasih ya, karena kamu bersedia bantu aku sampai akhir. Jadi, hari ini aku pamit. Mungkin satu minggu ke depan aku udah hilang dari kamar ini," ucapnya dengan senyuman yang terkesan tulus.
Aku mengangguk, tersenyum simpul. Berharap ia bahagia untuk pulang.
Setelah memastikan itu, aku bergegas untuk pergi lagi ke rumah bang Sio. Namun, aku terhenti ketika melihat ponselku.
Bang Sio
|Cepet ke rumah Budi
|share loc📍***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...