▪︎ 30. Klarifikasi Fakta ▪︎

43 15 2
                                    

Hyyyy pakabssss?

InsyaAllah beberapa chap lagi menuju ending ya, huhu supaya cerita sebelah bisa go publik🤣

Betewe happy reading~




***

Setengah jam selesai menenangkan diri, aku kembali ke pekarangan rumah bang Budi. Tentu saja sudah sepi. Membuat aku agak menyesal telah meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun. Yah, tapi aku tidak bisa mengendalikan emosiku. Tidak ada yang baik-baik saja dari mendapat fakta demikian.

Drrt

Aku tersenyum tipis. Chat dari bang Sio. Meski telah kubuat kecewa, ia masih mengirimiku pesan pemberitahuan.

Bang Sio
|Kami ada di RSJ, kunjungan berakhir zuhur ini
|Kalo kamu mau ke sini, mungkin kami bisa minta ke petugas untuk beri waktu tambahan

Anda
Gak perlu Bang, saya belakangan aja. Saya mau menuntaskan semuanya dulu|


Setelah membalasnya, aku memasukkan ponsel ke saku celana. Kini beralih pada seseorang yang keluar dari rumah bang Budi. Tak lain adalah ibu bang Budi, yang pernah bertemu denganku saat berkunjung ke kos bang Budi.

Wanita itu tersenyum ramah menyapaku. Ia menaruh keranjang rotannya di teras, lantas menghampiriku yang masih setia berada di samping motorku.

"Ibu boleh minta tolong, Nak?" tanyanya dengan mata yang berpendar-pendar. Seolah mengharapkan sesuatu dariku.

"Ibu tau kasus kematian Gio sudah ditutup, tapi bisakah Nak Gusta bantu Ibu buat jadi saksi atas penderitaan yang Budi alami?"

Aku bisa mendengar suara wanita itu tergetar. Seperti menahan tangis.

Aku tak bisa berkata-kata, hanya bisa mengangguk sebagai respon. Entah kenapa aku terenyuh melihat raut lelah dan mata berkaca-kacanya.

"Mari Nak, Ibu tunjukkan sesuatu yang bisa menjadi bukti tambahan selain yang di asrama."

Aku mengangguk lagi, kini mengekori wanita itu ke dalam rumah. Membiarkanku duduk di teras ruang tamu, sementara ia masuk ke ruangan temaram yang katanya akan mengambil sesuatu.

Selagi menunggu, aku menyapu pandangan ke sekitar. Di dinding hanya ada lukisan ka'bah kota Mekkah, di sampingnya ada jam dinding dengan bandul yang tak henti berayun. Selebihnya hanya dinding kosong bercat hijau sejauh mata memandang.

Kutolehkan kepala begitu mendengar suara derap langkah dari ibu bang Budi. Ia keluar dari ruangan itu. Menghampiriku dengan tergesa. Lantas menyodorkan sebuah perekam video ke arahku.

Aku mengernyit, apa konsepnya sama seperti video di asrama?

"Ini bukti dari kamera CCTV yang ada di kamar Budi. Dia sengaja selalu naruh kamera tersembunyi, termasuk di kosnya. Tapi Budi mutusin buat berhenti ngekos setelah diterima magang, katanya lebih enak tinggal di rumah karena bisa kontrol waktu makan. Nyatanya itu cuma alibinya, yang sebenarnya sejak lama udah kena teror."

Aku masih diam, mendengarkan. Sebab aku baru tau bang Budi mendapat teror bahkan sebelum aku mengungkit kasus itu.

"Nak Gusta bisa lihat videonya ya, udah ada sama tanggalnya. Ini dirampung sama Budi setengahnya, sisanya sama kakaknya karena Budi ...."

Entah perasaan apa yang aku rasakan saat melihat raut ibu bang Budi yang menyendu. Aku seperti melihat ibuku yang dulu sempat kesusahan karena kelebihan yang kumiliki. Bahkan aku pernah mendengarnya menangis, tanpa bisa membantu.

Aku mengulum bibir, tak ingin menikmati lebih lama rasa sedih yang mulai menyelimuti hati. Segera saja aku membuka perekam itu. Menonton urutan video dari awal hingga akhir. Terdapat sekitar 9 video berisi teror terhadap bang Budi, tapi hanya berupa paket dan suara-suara aneh di kamarnya. Sementara 2 sisanya berisi penampakan jelas sosok peneror yang membuat kami resah. Tak lain adalah kembaran Gio, Giel namanya.

Setelah menonton semuanya, aku mengambil napas sejenak dan mengembuskannya perlahan. Rasanya mual menonton banyak video teror itu.

"Minum dulu, Nak," ucap ibu bang Budi membuat aku mengiyakan. Kuambil gelas berisi air bening itu, menenggak isinya sampai tersisa setengah.

Tak lupa mengucap syukur terhadap dahaga pun rasa mual yang berangsur hilang. Aku berterima kasih pada ibu bang Budi sambil tersenyum. Sembari mengatakan bahwa aku siap membantu.

Aku janji. Ini yang terakhir berurusan dengan hal-hal seperti ini. Setelah ini pun aku harus menemui Argan untuk sesuatu hal, tapi kasus ini harus benar-benar tuntas.

"Terima kasih, Nak, sudah mau membantu Ibu. Semoga semuanya dilancarkan dan mendapat ridho Allah SWT.," ucap ibu bang Budi yang kubalas dengan anggukan singkat penuh arti. Aku percaya bahwa doa ibu itu cepat diijabah.

Setelah berbicara beberapa kalimat, aku memutuskan untuk pergi. Sebab jam sudah menunjukkan sebentar lagi waktu asar tiba. Jadi, perkiraannya aku bisa sampai asrama beberapa menit setelah adzan berkumandang.

***



Penunggu Kamar Pojok Asrama✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang