Ahay menuju ending, pi boong chuaaks***
Setelah berunding dengan orang tua Gio - Giel, akhirnya mereka memutuskan untuk merelakan sang anak untuk bertanggung jawab. Tentu terjawab juga keresahan yang mereka alami sejak dibukanya kembali kasus Gio itu. Mereka berharap dengan adanya penangkapan Giel, tidak ada korban lagi setelahnya.
Sebenarnya aku kurang percaya pada polisi mengingat pengalaman dari kasus Gio yang tak terlalu terurus. Sebab polisi tidak akan dapat membantu banyak dalam penangkapan hal gaib. Namun, kali ini aku akan turun andil setidaknya untuk terakhir kali sebelum aku melepaskan kemampuan ini.
Oh iya, aku tidak lupa memberitahu ibuku di rumah bahwa aku menjadi saksi dalam kasus kali ini. Meski ia sempat menangis karena diriku yang mengambil resiko besar ini, ia tetap mendukungku. Tetap mendoakan anak semata wayangnya ini. Haha tidak bohong, aku terharu. Aku senang beliau tidak melarangku membela yang hak.
Kini aku berada di rumah sakit. Tepatnya rumah sakit jiwa provinsi. Aku berniat bertemu bang Budi setidaknya sebelum sidang hukum untuk Giel dilaksanakan. Sebenarnya aku akan menemui bang Budi setelah semuanya selesai. Akan tetapi, aku ingin meminta maaf pada laki-laki itu. Sebab, aku pernah mencurigainya.
Aku menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah masuk ke ruangan serba putih itu. Di dalamnya ada bang Budi yang meringkuk di sisi brankar. Entah sedang memainkan apa, terlihat seperti slime.
"Jangan sampai membuat mood pasien buruk ya, Mas," peringat perawat yang mengantarku sampai pintu.
Aku mengangguk pelan. Semoga aku tidak melakukan kesalahan.
Perlahan, aku mendekat ke arah bang Budi. Ia sibuk dengan kegiatannya, sementara aku berjongkok tak jauh darinya. Belum saja aku mengeluarkan kalimatku, bang Budi lebih dulu menoleh. Menatapku bingung.
Melihat raut itu, aku seperti berhadapan dengan orang asing. Bukan bang Budi yang selalu melayangkan tatapan serius nan tegasnya.
Aku terenyuh, mengingat betapa bersalahnya aku saat mencurigainya sebagai pelaku. Kuyakini mataku berkaca-kaca. Aku mendongak, berusaha menahannya agar tidak luruh.
Lalu balas menatap mata sayu yang masih menatapku. Aku berusaha tersemyum, seraya menyerahkan gantungan kunci couple yang adalah milik bang Budi. Benda itu sengaja kusimpan sebagai bukti jika bang Budi terbukti bersalah, tetapi kenyataannya ia hanyalah korban.
Laki-laki itu mengernyit, mengambil benda itu dari tanganku. Rautnya tak bingung seperti tadi. Namun, ia tiba-tiba menangis. Menelungkupkan kepalanya di antara tekukan lutut.
Giliran aku yang bingung. Entah apa arti gantungan kunci itu sehingga membuat bang Budi menangis. Meski penasaran, aku tak berani bertanya.
Beberapa menit berlalu, hanya tangisan bang Budi yang terdengar. Sementara aku masih diam menemaninya. Aku menepuk-nepuk bahunya, berharap itu membuatnya tenang.
"Saya gak gila, Gus."
Aku terbelalak mendengar kalimat pertamanya. Apa tadi?
Bang Budi menggeleng, "Saya gak gila."
Lagi, bang Budi menggeleng-geleng, kini lebih cepat. "Saya gak gila."
Aku ingin mempercayainya, tetapi raut paniknya mengatakan sebaliknya. Apa penyakit mental bisa merusak kerja otak?
"Gus, saya gak gila. Orang itu yang gila!"
"Maksud side ... Giel?"
Bang Budi mengangguk, "Iya itu! Saya gak gila!"
Bang Budi tiba-tiba mencengkram lenganku. Matanya memelotot, dengan kepala menggeleng-geleng cepat. Sembari mengulang kembali kata-katanya tadi.
Aku berusaha melepaskan tangan bang Budi dari lenganku. Pun berusaha menahan perih akibat kuku bang Budi yang terasa menancap di kulit.
Aku menghela napas lega saat derap langkah masuk menghampiri kami. Perawat laki-laki dan perempuan, pun dengan dokter segera melepaskan bang Budi dariku. Perawat perempuan itu memintaku segera keluar. Mau tak mau aku mengangguk, memperhatikan bang Budi yang berteriak mengulang kalimatnya.
Aku tak bisa melihatnya. Itu memupuk rasa bersalah dalam dadaku. Aku merasa gagal menyelamatkan semuanya. Aku .... menyesal telah melibatkan semua orang.
Setelah ini, aku harus apa?
Drrt
Aku menjauh dari pintu. Meninggalkan bangunan besar itu menuju ke halaman luas rumah sakit jiwa tersebut. Lantas memeriksa ponsel yang sedari tadi berbunyi.
"Kamu di mana, Gus?"
"Di rumah sakit, Hen. Ada apa?" tanyaku mendengar suara Heni yang terdengar senang.
"Giel udah ada di kantor polisi. Kanu mau ke sini? Katanya ada hal yang perlu kamu lakuin?"
Aku bergumam sebagai jawaban. Benar, ada hal yang harus aku lakukan. Namun, aku tidak menyangka jika laki-laki itu tertangkap lebih cepat dari dugaan.
"Sekarang dia di mana?" tanyaku setelah diam beberapa saat.
"Di dalam sel, tapi kamu bisa kunjungi dia kok. Jangan sampai kamu kena hiptonisnya, Gus."
Aku mengangguk, ada benarnya. "Iya, saya mau dia ngerasain yang kita rasain."
"Kamu ada ilmu gendam juga, Gus?" Suara gadis itu terdengar menahan tawa, ia pasti tengah berada di sisi bang Jihad dan bang Sio.
"Gak ada, Hen. Ada yang lebih tinggi dari ilmu itu." Aku tersenyum simpul, jelas ilmu yang kumaksud adalah indera keenam yang kumiliki.
"Oke deh, Gus, sini cepetan. Nanti keburu diusir kita nih," ucapnya membuat aku mengiyakan. Lantas menutup sambungan setelah mengatakan aku akan segera menyusul.
Baiklah, tak ada waktu untuk merasa bersalah sekarang. Karena sekarang adalah waktunya untuk membuat pelaku yang sesungguhnya jera. Akan aku pastikan dia tidak melakukan hal kejam itu lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggu Kamar Pojok Asrama✔
Horror[Follow sebelum baca!] Hari pertama menapaki asrama yang terlihat kuno itu, Agusta Afriandi tak ada merasakan keanehan. Namun, saat tiba tengah malam, ia dikejutkan dengan penampakan arwah laki-laki berwajah pucat dengan goresan merah pada lehernya...