Dinginnya AC dan angin malam kota Bandung benar benar menusuk kulit. Penghangat ruangan sudah menyala sedari tadi namun tak terasa sedikitpun kehangatan diruangan tersebut.
Jaemin menatap tajam seseoramg yang tengah duduk tepat didepannya. Ia melirik sekilas kearah dua lawyer yang nampak sibuk berdiskusi.
"Maaf" katanya tertunduk.
"Kamu pikir tindakan kamu ini bener?"
Laki laki yang kini tengah duduk dihadapan Jaemin semakin mengeratkan genggamannya.
Ia sudah mengakui bahwa dirinya adalah satu satunya pihak keluarga yang mengetahui tindakan sang anak, Jevan.
"Aku ga tega liat Jevan kaya gitu, selama ini aku juga berusaha ngelarang dan selalu mengingatkan. Tapi, abang tau sendiri aku nggak 24 jam sama Jevan. Aku gatau apa yang dia lakuin diluar sana"
Jaemin mengusap wajahnya kasar, "kenapa ga cerita sama saya?"
"Aku ngehargai privasi Jevan bang, ngeliat bang Jaemin yang ga terlalu dekat sama Jevan aku jadi mikir berkali kali. Takut bang Jaemin gegabah dan terbawa emosi"
"Saya ga pernah paksa anak anak buat selalu jadi yang terbaik, nggak pernah. Saya ga pernah paksa Jevan buat pertahanin prestasinya"
Jisung menelan ludahnya susah payah dan tersenyum pahit. Semua ini memang berawal dari komunikasi yang terjalin kurang baik.
Ia tahu, Jaemin tak pernah memaksa. Tapi sebagai anak, Jevan dan Kala tau sang ayah memiliki hati yang keras dan perfeksionis.
Jevan merasa dituntut karena lingkungannya.
Jisung berdehem, "coba lebih deket sama anak anak bang..." katanya.
Jaemin tak membalas ia kembali terfokus ke layar Ipad mengurus pekerjaannya yang tertunda.
"Maaf Pak, kita harus ke kantor sekarang"
Jaemin menoleh, "apa yang terjadi?"
Kedua orang itu tak menjawab hanya menganggukkan kepalanya kemudian menata berkas berkas yang sedikit berantakan dimeja.
"Baiklah, kita berangkat sekarang"
"Bang...aku ikut" ujar Jisung diangguki Jaemin.
Kaki Jisung rasanya lemas seketika. Setiap menapak tubuhnya gemetar hebat tak kuat menahan rasa sesak dari hatinya.
Apalagi setelah melihat dua pengacara yang memasang wajah tegang terlebih Jaemin yang sedari tadi hanya diam.
Bahkan, setelah ia tiba di Bandung. Jisung belum mengisi perutnya sejak semalam sampai sekarang pukul 11 pagi. Ia tak merasa sedikitpun lapar ataupun haus. Yang dipikirkan adalah Jevan.
Apakah Jevan bisa bebas hari ini?
***
Minju menyenderkan punggungnya yang terasa pegal ke sofa empuk diruang tamunya. Ia baru saja pulang dari sekolah sang anak setelah mengantar buku paket yang tertinggal.
Kebiasaan buruk Kala masih saja belum hilang. Untung saja jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh, sehingga Minju bisa mengantarnya tepat waktu sebelum pelajaran dimulai.
"Abang kenapa ga telfon telfon ya?"
"Jangan jangan sakit?" guman Minju. Tatapannya tertuju pada ponsel yang menampilkan roomchat putra sulungnya.
"Atau lagi sibuk magang kali ya?" gumamnya lagi mencoba menerka nerka.
ting tong
ting tong

KAMU SEDANG MEMBACA
Kala
PoetrySebuah kesalahpahaman dan arti keluarga dari sudut pandang Na Kala. "What's wrong with you, Kala?" "Kamu kenapa ga jujur soal Jevan sama aku? Keterlaluan!" "Daddy aku gamau dipenjara"