14

39 6 0
                                    

"Jangan kecapean, Jev"

Jevan hanya mengangguk kecil dan tersenyum dari balik alat bantu napas yang menguap. Tubuhnya berbaring dengan nyaman diruangan serba putih itu

"Sekolah kamu lancar?"

"Lancar om, tapi udah mulai sibuk mendekati ujian"

Laki laki yang nampak lebih dewasa itu tersenyum membenarkan kacamatanya.

"Are u okay?"

"Ya" jawab Jevan dengan mantap.

Kepalanya menoleh melihat dokter tersebut mengambil kursi dan duduk disamping ranjang.

"Kamu harus jaga kesehatan dengan ekstra, apalagi kamu tau punya asma. Cape sedikit bisa aja kambuh" katanya dibalas anggukan Jevan.

"I'm okay, aku selalu sadar sama kondusi tubuh aku kok"

Dokter tersebut terkekeh menggelengkan kepalanya, "ur parents should be proud of you"

Jevan hanya tertawa tanpa suara. Setelah menghabiskan sekitar 20 menit untuk terapi uap dan konsultasi sebentar. Akhirnya Jevan sudah bisa melepas alat bantu nafas itu dari wajahnya.

Kemudian ia turun dan duduk dikursi meja sang dokter.

"Semuanya baik ga perlu dikhawatirkan. Kamu sendiri yang tau batas limit kesehatan kamu" ujarnya. Jevan lagi lagi hanya mengangguk.

"Jevan, can you stop?"

"What?" Jevan menatap mata dokter tersebut yang mulai berubah.

"Stop use that things"

"I will"

"But when?"

Kepalanya menggeleng putus asa, "i don't know"

Jevan menunduk, kepalanya terasa pusing karena terlalu banyak memikirkan hal hal berat seharian ini. Tubuhnya butuh istirahat tapi masalah seakan melarang dirinya untuk istirahat barang sejenak.

Telinganya menangkap sebuah helaan nafas dari seseorang yang duduk dihadapannya. Jevan tersenyum kecil, miris. Ia menatap kedua kakinya yang berbalut sepatu hitam bermerk Nike.

"I think i'm addicted" lirihnya.

"You are"

Tiba tiba Jevan merasa bersalah. Rasanya sulit sekali untuk memperbaiki diri dan mencoba untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Tapi bagaimana mungkin? Ia merasa kesalahan itu seakan mengikat darahnya sampai tubuhnya pun menolak untuk memperbaiki diri.

"Kamu bisa,Jev, look at you! Kamu sangat tertata dalam hal apapun, Bang Jaemin juga bangga banget sama pencapaian kamu yang sekarang"

"But that things made me stand like this. What i gonna do? Aku ga bisa lepas, i try. Aku udah coba berkali kali tapi efeknya luar biasa tersiksa"

Jevan menatap merasa bersalah pada Jisung, dokter pribadinya. Selama ini dirinya tak pernah mengeluhkan apapun pada orangtuanya. Dia hanya mengeluh pada Jisung.

Untuk ke sekian kalinya ia menangis. Menangis didepan Jisung. Isakan lembut keluar dari bibir tipis milik laki laki berumur 18 tahun itu. Tangannya terangkat mengacak rambutnya frustasi.

Jisung hanya menunduk. Ia menumpu kedua sikutnya dimeja menatap keponakannya dengan miris. Sedih, ia sedih karena tak bisa membantu Jevan selama ini.

"I'm a sinner,my mom should hate me" isaknya pilu. Anak itu mulai meraung semakin keras sampai menggema diruangan Jisung.

Sedangkan Jisung masih diam,membiarkan remaja yang sebentar lagi dewasa itu menangis menumpahkan segala emosi yang ditahan.

Ia tahu apa yang dirasakan Jevan. Ia mengerti mengapa Jevan sampai seperti ini. Jisung mencoba mengerti dan selalu melihat keponakannya dari sisi positif.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang