DAC - 08.

23.9K 1.4K 43
                                        

Matahari sudah menampakkan dirinya, memberikan kehangatan dan menyalurkan kebahagiaan. Cahaya mulai masuk kedalam sela sela jendela.

Aru menggeliat tak lama ia mulai membuka kedua matanya, terasa berat karna lelah menangis. Aru juga heran kenapa ia bisa ada disini padahal kan kemarin ia tidur di teras depan rumah.

Tak mau berlarut dalan pikiran kecilnya, Aru bangkit dari tempat tidur nya langsung pergi keluar untuk mandi.

Selesai mandi Aru langsung keluar untuk mencari Satya dan Sinar, siapa tau mereka pulang.

Tapi nihil yang ada hanya para pekerja yang lain, Aru menghela nafasnya, sepertinya ia akan ikut sarapan bersama keluarganya hari ini.

Walau sedikit ragu tapi Aru yakin bahwa mereka pasti akan menerima, apalagi ini momen jarang Aru ingin sarapan bersama keluarganya.

Saat tiba di depan meja makan, Aru melihat kedua abang nya dan adik nya, tak lupa ibun nya yang sedari tadi menyiapkan makanan untuk ayahnya.

Aru berusaha naik keatas kursi, tubuh Aru tenggelam karna meja yang cukup tinggi, Aru setengah berdiri di kursi itu.

Pasang mata langsung menyorot dirinya, Aru kecil hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Rasanya takut dan tak nyaman, tapi Aru bukan kah ini hal yang kau inginkan?

"S - selamat pagii" sapa Aru ramah sembari membawa piring dan nasi. Tak ada yang membalas sapaan Aru, mereka terlalu berfokus pada adiknya Aru, yakni Karla.

Aru menunduk, rasa laparnya mendadak hilang, yang dia inginkan sekarang pulang. Pulang kerumah yang sebenarnya.

Aru hendak menyendok sop ayam untuk ia makan dengan nasi tapi sudah di larang oleh lyaa, "Itu sop khusus untuk adek kamu, jangan ambil paha nya kalau mau kuah nya saja" ujar Lyaa.

Aru mendengar kemudian mengangguk, ia hanya mengambil kuah dari sop ayam itu, padahal paha yang dimaksud tersaji beberapa potong.

Gabriel yang merasa bahwa ibunya terlalu berlebihan, menyendokan sop ayam untuk Aru. Aru mendongak menatap Gabriel yang sama sedang menatapnya.

Aru tersenyum membuat semua orang terpana akan senyumnya. "Terimakasih abang" ucap Aru senang, ia tidak masalah jika harus makan dengan kuah sop saja tapi asalkan mendapatkan pertahatian dari seseorang yang sangat jauh untuk ia gapai.

Gabriel mengangguk dan mempersilahkan Aru sarapan, Aru mulai memakan makanannya sambil menatap Gabriel yang ada didepannya.

"Mata kamu merah banget, kenapa?" tanya Gabriel disela sela acara sarapan mereka. Aru menunduk ingin menjawab tapi rasanya ciut kala ayahnya tak mengeluarkan ekspresi sama sekali.

"Heh kalau ditanya itu dijawab! Bukan cuman nunduk" ketus Gibran yang menunggu jawaban.

"Aru gapapa" jawab Aru singkat dan kembali menghabiskan sarapannya.

•••

Selesai sarapan Aru langsung turun dari kursi meja makan walau sedikit kesusahan. Kaki mungil nya berhasil berpijak pada lantai.

Aru memutuskan tidak sekolah hari ini, kalau Aru sekolah siapa yang akan bayar sekolahnya nanti, selama ini Satya yang membayar.

Aru lebih memilih untuk pergi ketaman dekat komplek, wajah manis itu sudah banjir keringat karna berlari. Taman komplek masih sepi tidak seperti biasanya mungkin pada sekolah.

Aru Menaikkan tubuhnya untuk naik keatas ayunan. Ayunan itu gerak perlahan. Menikmati dingin dan hangat udara pagi.

Tak lama air mata nya jatuh, sesak di dadanya mulai terasa, Aru anak yang lemah, ia butuh pelindung untuk menghadap kerasnya dunia.




#TBC

Gimana guys lebaran nyaa

Damian Arutala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang