22. Ayah Sakit

4.5K 588 15
                                    

~Happy Reading~

Rama mencubit pipi istrinya gemas, sudah 5 menit dia mencoba membangunkan wanita itu tapi tidak ada respon,"Yang." Dia membangunkan istrinya di jam 4 pagi, seperti biasanya sebenarnya sampai Laras bangun dan mengerut bingung menatap suaminya.

Pasalnya suara Rama seperti akan hilang,"Suara kamu kenapa?"

"Yang suara aku ilang, aku gak bisa bangun." Rengeknya yang sebenarnya lebih mirip dengan berbisik.

Laras melirik jam di kamarnya,"Tapi belum sholat, ayo bentar, nanti izin aja nggak usah berangkat ngajar." Wanita itu membantu Rama bangkit dan ke mushola rumah untuk mereka ibadah.

"Hidung aku meler yang," Setelah bersentuhan dengan air, dan terkena angin pagi hari yang dingin sekali ini karena mushola rumah memang semi outdoor.

Ibu muda ini lari ke kamar mendahului sang suami,"Duh, aku pindahin Kian ke kamar sebelah dulu deh, kamu kayaknya flu dan demam." Dia memindah Kian ke kamar sebelah untuk menghindari kontak langsung dengan si Ayah yang flu demam hari ini.

Ketika memasuki kamar mereka kembali, di lihatnya Rama malah membuka laptopnya di atas tempat tidur,"Tidur lagi aja."

"Bentar  yang, lagi mikir enaknya kasih tugas apa ya ke mahasiswa?" Gumam Rama masih sempat-sempatnya yang katanya lemas dan pusing ini memikirkan tugas mahasiswa, sungguh teladan sekali ya Pak Rama.

Laras mengecek suhu tubuh Rama dengan punggung tangannya,"Tenggorokan kamu sakit nggak mas?"

Rama dengan wajah memelas,"Banget, hidung juga, tapi semua anggota tubuh aku lemes." Laras mengangguk paham, sepertinya dia harus membuat hidangan yang bisa membantu menghangatkan tenggorokan dan perut

"Pake plester demamnya Mas."Perintahnya sementara dia akan membuatkan lelaki wedang jahe.

Tetapi baru bangun dari ranjang tangannya sudah di tahan dengan wajah melas sang suami,"Lemes, nggak kuat gerak." Padahal plester demam ada di laci nakas sebelah lelaki itu berbaring.

Hari ini Laras harus serba cepat mengerjakan pekerjaan rumah, karena ada 2 bayi yang di urus hari ini, si bayi asli dan Ayahnya. Jam 7 pagi Laras menjemput Kian dalam kamar, setelah mendengar suara rengekan anak itu dari baby monitor.

Dia meletakkan anak itu di playmat,"Kian di sini dulu ya, Bunda buatin sarapan Kian sama Ayah dulu." Laras menyetel lagu anak-anak di TV ruang keluarga, membiarkan Kian jogetan di pagi hari yang cerah ini.

"Twingkle twingkle litle stars." Sesekali Wanita itu ikut bernyanyi menarik perhatian Kian.

Untuk anak itu juga,"Haaahaaahaa," berteriak semangat melihat gambar warna-warni dan musik di layar TV.

Kalau sudah begitu maka Laras bisa bebas masak dengan tenang, selagi dia bisa memantau sesekali apa yang dilakukan, apalagi jika Kian sudah berteriak semangat begitu.

"Pagi." Suara serak Rama menyapa mereka, dengan wajah pucat dan lemas.

Laras baru saja membuka panci sop ketika mendengar suara suaminya, dia menoleh kaget,"Eh kok ke sini? Jangan dekat-dekat Kian ya."

"Iya." Rama merengut di ruang makan, menyandarkan kepalanya di meja sambil menatap Kian dari kejauhan.

Kian berguling di playmat menatap ke arah dapur plus ruang makan, anak itu tersenyum lebar,"Haaaa."

Dihidangkannya semangkuk sup ayam hangat dan semangkuk nasi ke hadapan Rama,"Ini aku buatin sop Ayam, tadi aku juga buat pir kukus jahe biar tenggorokan lega." Laras menunjuk panci kukus yang masih di atas kompor.

"Ayo Kian makan juga." Laras datang membawa mangkuk biru berbentuk kepiting, mendudukkan Kian di kursi makannya.

Bayi 7 bulan ini tidak lupa menggebrak-gebrak meja ketika mengetahui saatnya dia sarapan,"Iya, makan kayak Ayah, sama kok punya Kian juga sop ayam."

"Enak yaa?" tanya Laras pada Kian, dibalas senyum lebar memperlihatkan 4 gigi kecilnya.

Di sela kegiatan sarapannya, anak itu menoleh ke arah Rama sampai si Ayah menyadari hal itu,"Ayah nggak bisa gendong Kian hari ini," kata Rama sedih sekali.

Berjemur pagi ini juga berbeda dengan biasanya, dengan dua kursi yang sudah di pasang dengan jarak yang lumayan jauh, Rama dan Laras duduk di sana dengan Kian di pangkuan Laras. Kian asik menggigit teether jerapahnya tampak keren dengan topi dan kacamata hitamnya, apalagi kaki kecil itu menyilang santai seperti orang dewasa saja.

"Sudah 15 menit, ayo kita masuk." Laras kembali menaruh Kian pada playmat, kembali fokus pada suaminya yang memasuki rumah dengan langkah pelan, sepertinya memang benar lelaki jika demam bisa drama bukan main.

"Mas mau pir kukus jahe nya?" tanya wanita itu sambil kembali mengecek suhu tubuh Rama, dan langsung saja lelaki itu menyandarkan kepala pada pundak istrinya.

Rama menganggukan kepala,"Ke kamar aja," katanya lemah, menikmati tangan istrinya yang sekarang mengusap punggungnya.

Di tengah manjanya Ayah pada Bundanya, Kian yang mengamati akhirnya berteriak dari tempatnya berguling-guling,"Aaaaa!"

"Iya, iya." Rama mengalah dan segera masuk kembali ke kamar, jika bisa sudah dia unyel-unyel Kian saat itu juga.

Saat Laras menyiapkan pir kukus untuk Rama, ada suara langkah kaki mendekat dari arah luar rumah.

Muncul Ibu Laras dari pintu, menyapa cucunya dengan gembira,"Kian lagi apa?" 

Tau jika sedang di sapa, anak itu menggerakkan tangan dan kakinya aktif. Bahkan suara nafasnya terdengar jelas dengan senyuman lucunya, karena dia bayi rasanya apapun jadi terlihat lucu.

"Eh lagi di rumah?" Kening Laras berkerut karena mendapati Ibunya berada di rumah sepagi ini

Kian sudah dalam gendongan Mbah Uti-nya,"Ada janji sama orang yang mau beli buah naga belakang rumah tu." Ibu Laras menunjuk pohon buah naga yang bisa mereka lihat dari rumah Laras, memang lumayan lebat.

"Tadi kayaknya Rama masih di rumah?" tanya Ibu Laras pada anaknya yang sudah akan mengantar pir kukus buatannya ke kamar.

Laras mengangguk,"Emang nggak kerja, lagi sakit."

"Lho sakit apa?" tanya wanita paruh baya ini kaget.

"Flu sama demam." Penyakit biasa sebenarnya, Laras biasanya masih tetap bisa melakukan kegiatan sehari-hari tapi berbeda dengan Rama yang langsung tepar begitu saja.

"Kian mau ngungsi di rumah mbah aja?" tanya Ibu Laras pada Kian, menetap wajah polos bayi dalam gendongannya dengan gemas.

"Dia udah aku pindah ke kamar lain sih bu." Lagi pula Kian pasti butuh Laras jika sudah masuk jam tidur siang nanti.

Ibu Laras menghempaskan tangan pertanda tidak menerima alasan,"Tapi apa nggak repot? sini sama Uti aja ah sudah lama nggak ke rumah." Tanpa babibu wanita itu membawa Kian berdiri dari playmat.

Laras yang mengangkat piring akhirnya menoleh cepat,"Lama itu 2 hari lalu."

BERSAMBUNG...
Monmaap agak lama ya guys, semoga suka dah yaaa
BTW ini cerita mau sampe berapa bab? wkwk kehidupan sehari-hari yang ringan gini justru panjang bokk 
See you next part
Salam

Kuncup Peony

BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang