Kesepakatan

26 18 0
                                        

Taksi online kami sampai di Penjaringan. Taksi kami berhenti di muka pelabuhan. Di dermaga Nampak merapat banyak kapal Phinisi. Kapal layar tradisional khas milik Indonesia, yang berasal dari suku Bugis dari provinsi Sulawesi Selatan. Kapal ini memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di bagian depan, dan dua lagi di bagian belakang kapal. Di bibir dermaga banyak truk-truk besar menunggu muatan kapal.
“Guys, kita harus ngapain sekarang?” Tanya Nisrina. Matanya bingung memandangi orang-orang yang tak satu pun mereka kenal.
“Coba buka petanya,” Kata Satria pada ku.
“Kita belum sampe pulau Satria.” Sela Nisrina.
“Iya, siapa tau disitu ada petunjuk.” Jelas Satria.
Akupun menyerahkan peta itu kepada Satria.
“Di peta ini dikatakan kita harus cari Mang Oleh pemilik perahu sewa yang akan mengantarkan kita ke pulau Neymark.” Kata Satria.
“Oh iya, benar.. perahu Mang Oleh. Kenapa aku ngga ingat tadi.” Kataku.
Kami pun mulai bertanya kepada orang sekitar. Mulai  dari tukang sapu, tukang rokok dan ibu penjual nasi tidak ada yang kenal.
“Guys, gimana ini?” keluh Nisrina.
“Sabar, kita tanya lagi. Baru beberapa orang yang kita tanya. Ada banyak orang di pelabuhan yang belum kita tanya.” Ucap Satria mantap. Dia selalu optimis.
Sampai akhirnya, di salah satu sudut pelabuhan, tampak seorang lelaki tua yang asyik merokok. Ia duduk di tanggul pinggir dermaga.
“Kita tanya bapak itu aja,” kataku menunjuk lelaki tua tersebut. Entah kenapa, suara hatiku seolah mengarahkan jariku pada bapak itu. Satria dan Nisrina memandangku. “Ayo… “ kutarik lengan Nisrina. Satria mengikuti.
“Permisiiii…” kataku.
“Pak maaf mau nanya, kenal sama Mang Oleh, tukang sewa perahu?”tanya Satria.
Bapak tua itu cuma memandang kami bertiga. Ia enggan menjawab malah melanjutkan rokoknya.
“Pak, tau dimana Mang Oleh?” Tanyaku belum menyerah. Dan si lelaki tua perokok itu tetap enggan menjawabnya. Cuma memandangi aku dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Ada yang salah dengan kostumku? Pikirku heran.
Aku berinisiatif untuk mengeluarkan peta itu sedikit. Nisrina dan Satria pun memberi kode untuk memasukkan kembali ke dalam tas.
“Bapak tau kertas ini?”aku pun menunjukan sedikit ujung kertas itu, dari dalam tasku, pada lelaki tua perokok itu. Ia memandang tajam padaku. Bapak tua ini sepertinya mengenal kertas yang kupegang.
“Dari mana adek dapat kertas itu?” Tanyanya penuh selidik.
“Hmm… seorang bapak tua memberikan ini pada saya, ketika saya pulang sekolah.” Ucapku.
Dia lalu menunjuk seseorang yang sedang berdiri di dekat perahu layar.
“Ternyata ada juga yang dapat kertas itu,” katanya pelan dan  lalu melanjutkan kembali rokoknya.
Kami pun segera menghampiri orang yang sedang berdiri di dekat perahu layar tersebut. Seorang kakek tua dengan pakaian lusuh, berkulit coklat, sedikit berotot, memaki topi berwarna merah yang sudah tua.
“Maaf, ini dengan Mang Oleh ya?” tanya Nisrina 
”Mang Oleh siapa ya?”tanya kakek tua.
“Yang suka sewakan perahu.” Timpal Satria.
“Ngapain nyari Mang Oleh?” Tanya Kakek itu lagi.
“Bisa tolong antarkan kami  ke pulau?” Kata Satria.
Lelaki tua itu tampak gugup. Dia pun memperhatikan kami dengan tatapan serius. Melihat dari ujung kepala sampai kaki kami satu per satu.
“Bisa tolong antarkan kami ke pulau Neymark?” tanyaku.
Kakek itu memandangi kami bertiga dengan pandangan aneh. Satria pun berbisik kepadaku. “Keluarin petanya, Mel.”
Aku pun menunjukan sedikit ujung kertas tersebut dari dalam tasku.
“Bapak kenal jenis kertas ini?” tanyaku memancing.
Kakek tua melihat ujung kertas itu dan berkata, “Adek dapat kertas itu dari mana?”
“Saya dapat dari seorang lelaki tua,  di stasiun kereta saat saya pulang dari sekolah.” Jelasku menceritakan semuanya kepada orang itu.
“Jadi bapak kenal Mang Oleh?” Tanya Satria memastikan.
“Iya, dengan saya sendiri.” Katanya mengenalkan diri.
“Kenapa ngga bilang dari tadi sih?” gerutu Nisrina. Aku pun menyikut tangan Nisrina.
“Saya hanya mengantar sampai ke pulau, tidak menemani kalian bertiga.”
“Lho, terus kita sendirian?”kata Nisrina.
“Tugas saya hanya mengantar. Dan akan menjemput kalian, 10 hari kemudian di titik yang sama, jam 12 siang. Saya hanya menunggu satu jam. Kalo sampai adek-adek tidak muncul, saya akan tinggalkan pulau itu dan kembali ke Pelabuhan.” Tukas Mang Oleh.
Nisrina menengok padaku dan Satria.
“Sudah siap dengan resikonya?”tanya Mang Oleh.
“Resiko?” Tanya Nisrina seraya memandang mukaku dan muka Satria.
“Ongkosnya Satu juta rupiah untuk sampai ke pulau itu. Tidak termasuk ongkos pulang. Gimana? Deal?” Tatap mata Mang Oleh tajam pada kami.
Aku semakin penasaran ada apa sebenarnya di pulau itu. Sedangkan Nisrina menampakkan wajah cemasnya.
“Ini serius kita ke sana? Cari penyakit aja. Kalo kita kenapa-kenapa gimana?” Omel Nisrina.
Belum selesai Nisrina berbicara, Mang oleh langsung berjalan. Kami pun mengikutinya.
“Perahu Mang Oleh yang mana?” tanya Satria.
“Perahu Mang Oleh yang warna hijau.” kata Mang Oleh menunjuk perahu yang tertambat di salah satu sudut dermaga.
“Ongkosnya satu juta deal?” Tanya Mang Oleh.
“Deal,” Kataku seraya mengeluarkan sepuluh lembar uang warna merah dari tasku. Aku berikan pada Mang Oleh. Ia langsung memasukan ke saku bajunya tanpa menghitung.
Perahu Mang Oleh tidak terlalu besar. Perahu kayu warna hijau dengan Panjang kira-kira 10 meter. Ada 4 kursi kayu panjang bersusun untuk duduk penumpang. Di tengah terpancang tiang layar. Di belakang terdapat motor tempel. Mang Oleh   menegangkan tali tambat perahunya.
“Hati-hati melangkah. Perahu agak goyang.” Katanya sambil  menahan kuat tali tambatnya agar perahu seimbang. Kami pun naik ke atas perahu.
Rrrr.. Mang Oleh men-start mesin motor tempel perahu.


Almost ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang