Terbebas Di Pasir Hisap

16 18 0
                                    

“Mel,” kata lirih Satria. Ia berusaha mengatur napasnya.
“Ya, kenapa Satria?” Sahutku sambil mengatur napas pula. Aku tak berani membuat Gerakan fisik, Bahkan Gerakan napas dada pun kuusahakan selembut mungkin.
“Gue tau gimana cara kita keluar dari sini,” bisik Satria.
“Gimana caranya? Kaki gue rasanya udah gak enak nih, udah penuh pasir,” kata Nisrina bodoh. Namanya juga pasir hisap, ya pasti penuh pasir, bukan penuh asap.
“Gue pernah baca artikel, cara keluar dari pasir hisap caranya gini…” kata Satria menjelaskan. Dalam kondisi darurat kayak gini malah bahas artikel, gerutuku dalam hati. Elo editor?
“Pertama goyangkan kaki pelan-pelan melingkar disekitar kaki. Beri sedikit ruang untuk menggerakan kaki. Perlahan usahakan untuk berbaring di atas pasir apung dan bergerak agar kita tidak tenggelam.” Terang Satria setengah bergumam.
Kami pun melakukan Gerakan seperti paparan Satria. Berat. Ngga semudah teorinya. Napasku tersengal-sengal. Bahkan untuk menggerakkan kaki 1 cm aja butuh effort besar.
“Fisikawan telah menghitung bahwa gaya yang diperlukan untuk mengeluarkan kaki dari pasir hisap dengan laju satu sentimeter per detik kira-kira sama dengan gaya yang dibutuhkan untuk mengangkat mobil berukuran sedang.” Kata Satria menjelaskan. Gila, Satria tiba-tiba seperti Pak Yudo guru fisika kami. Hei, apa ahli fisika itu pernah kecebur di pasir hisap atau coba-coba ngangkat mobil? Gerutuku.
Kami pun mencoba menggunakan cara Satria untuk bisa keluar dari pasir hisap dengan susah payah. Terus… Terus… Tidak menyerah.
“Yes, akhirnya bebas juga.” Teriakku gembira.
“High five,” Seru Satria saling menepukkan tangan ke aku dan Nisrina secara bersamaan. Leganya akhirnya terbebas dari pasir jahanam ini. Kami berbaring di tepi daratan yang yang lebih keras dan padat. Mataku terpejam seraya mengumpulkan sisa-sia tenaga.
“Duh, gue lapar nih.” kata Nisrina. Perutnya berbunyi sangat kencang. Sepertinya cacing-cacing itu memukul perkusi keras-keras di perutnya, tanda sudah lapar.
“Sama nih, mel. Gue juga lapar.” kata Satria.
“Ya udah, cari makanan dulu yuk. Gue juga lapar,” kataku.
Tapi mau makan apa? Pesan makanan online ngga bisa. Ini kan di pulau antah berantah. Ngga ada sinyal. Ngga ada di peta. Ku lempar pandangan ke sekeliling. Cuma semak menghampar.
“Kita mau makan apa? Daun semak-semak?” keluh Nisrina dengan nada seperti menangis.
Satria dengan santai melangkah menuju semak yang agak berbeda dengan yang lainnya. Semak-semak atau pohon kecil dengan kulit pohon berwarna coklat kemerahan. Tunas kecilnya berbentuk segitiga. Rantingnya berbentuk silinder, ramping, halus dan menjalar. Pucuknya sekitar 3 mm dengan sisik-sisik.
“Kita punya makanan!” Seru Satria berdiri riang di dekat semak itu. Tangannya menjumput buah berbentuk bola-bola kecil berwarna ungu tua gelap. Ia tertawa lebar sambil melambaikan tangan, menunjukkan buah-buah pada kami. Satria memberi kami beberapa. Ia masukkan ke mulutnya, mengunyah sambil meringis. “Rasanya getir dan agak asam.” Satria tertawa.
Dengan ragu aku dan Nisrina memasukkan sebuah ke mulut. Wow, buah apa ini? Rasanya ngga biasa. Tapi apa boleh buat. Cuma ini yang kami dapat. Sekeliling Cuma semak. Andai ada pohon mangga harum manis atau pepaya, keluh batinku seraya mengunyah pelan buah aneh ini, membayangkan rasa manis mangga.
“Ini buah juniper beri namanya. Juniper beri adalah biji buah pinus betina dari tanaman juniper. Orang biasa memakai buah ini sebagai rempah dalam makanan dan minuman mereka. Minuman keras,” kata Satria sambil memperagakan orang yang sedang minum air beralkohol itu langsung dari botolnya. Lalu ia berjalan gontai seperti orang mabuk. Kami tertawa melihat kelakuan Satria. “Juniper beri pertama kali muncul sekitar 250 juta tahun yang lalu. Mereka telah ada di bumi ini saat sebagian besar daratan masih bergabung dalam satu benua yang disebut Pangaea, dan ini menjelaskan mengapa spesies tunggal Juniperus communis bisa berasal dari Eropa, Asia dan Amerika Utara.” Terang Satria.
“Kok elo tau?” tanya Nisrina.
“Kan ada Wikipedia.” Kataku nyeletuk. Kami semua tertawa.
Tanpa berpikir Panjang, Nisrina lagsung memetik beri yang terdapat di semak itu.dan menyatapnya.
“Eh, Nis. Hati-hati, tidak semua juniper beri aman. di antara beri itu ada yg beracun.”kata Satria. Aku dan Nisrina tersentak. Tak jadi memetik.
“Nggak kok… yang ini aman.”kata Satria tertawa meralat warning-nya.
“Tau dari mana kamu yang ini aman?” tanya Nisrina ketus.
“Feeling aja. Aku sudah makan 10 buah. Lihat aku ngga apa-apa,” kata Satria seraya merentangkan tangan.
Aku dan Nisrina saling berpandang. Tapi rasa lapar menuntun tangan kami ikut memetik beri dan menyantapnya beberapa buah.
“Ahh.. lumayan mengganjal lapar. Kita lanjutin perjalanan kita yuk.” Kataku. Tapi tanpa kami sadari langit ufuk barat mulai meredup. Hari sudah beranjak malam. Kami sudah berjalan jauh dan tubuh sudah tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan lagi.
“Girls, yuk kita istirahat dulu. Kalian bawa tenda dan sleeping bag, kan?”
“Bawa.” kataku dan Nisrina serempak.
Satria menunjuk tegalan datar dengan sedikit rerumputan. Cukup luas menghampar sejauh 20 kaki dari semak yang mengeliling.
“Yuk.. kita bangun dulu yuk, tendanya.” kata Satria di tengah tanah yang lapang itu. Kami mengeluarkan gulungan tenda camping dari ransel. Satria dengan sigap meletakkan inner tenda di tanah. Ia posisikan pintu tenda tidak menghadap arah angin. Satria menginstruksikan kami untuk merangkai pipa-pipa besi ringan dan memasang frame besar. Dengan hati-hati kami memasukkan ujungnya pada lubang inner tenda. Tali bagian ujung tengah inner tenda kami pasang bersilangan dengan kedua frame besar tadi. Kami pun selesai membangun tenda.
Setelah itu Satria pergi kea rah semak-semak. Ia mencari dan mengumpulkan ranting-ranting kayu kering. Satria lalu menggali lubang kecil berjarak 4 langkah kaki dari tenda. Ia letakkan segunungan kayu itu di lubang agak besar dan dangkal.
“Kita buat api unggun. Api unggun saat kemah dapat memberikan kehangatan, membantu memasak makanan, dan melindungi manusia dari serangan binatang buas.” Urai Satria pada kami yang terbengong-bengong melihat aktifitasnya. Lalu ia menyusun batu melingkari area yang hendak dibuat api unggun itu.
“Batu-batu ini akan menahan api unggun sekaligus memberi batas di antara kayu yang dibakar dengan benda-benda lain yang mudah terbakar.” Terang Satria. Kami berdua memperhatikan dengan kagum.
Kemudian satria meletakkan segenggam rumput kering di buwah gunungan kayu yang tersusun mengerucut ke atas. Satria mengeluarkan korek api dari saku celana. Lalu, wusss… api menyala membakar rumput kering dan perlahan membakar kayu-kayu. Cahayanya lamat-lamat menerangi alam yang mulai redup. Kami bertiga duduk memeluk lutut memandang lama api unggun. Semua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Yuk tidur udah larut malam nih.” Kata Satria menguap.
“Lo serius, Satria kita tidur di sini? Banyak nyamuk, nanti gue digigitin lagi.” kesah Nisrina melahirkan perasaan susah dengan mengaduh dan menarik napas.
“Iyalah, Nis. Kita tidur di sini. Kalo elo gak mau tidur ngga papa. biar gue sama Melati aja yang tidur. Udah ngantuk.” kata Satria menggelar sleeping bag-nya di antara kemah dan api unggun. Satria tidur di luar tenda dan kami para girlies tidur di dalam kemah.
“Iya Nis. Tidur aja yuk. Menurut peta, perjalanan kita masih panjang. Masih jauh. Mending kita istirahat dulu biar besok udah fresh lagi.” Kataku.
“Ya udah deh, gue juga udah ngatuk banget ini,” kata Nisrina tidak mau melanjutkan kegalauannya. Derik suara binatang yang bersahutan menemani kelelapan tidur mereka.
Keesokkan paginya, kami melanjutkan perjalanan kita.
Menurut peta, kita sudah dekat dengan Pulau Neymark.
“Almost there,” kataku
“Hah, serius, Mel?” kata Nisrina
“Iya, kata peta sih gitu... habis kita ke sungai, kita telusuri hutan,” kataku. “Sampailah kita ke spot tujuan.”
“Itu mah masih jauh, Mel Namanya.” rajuk Nisrina cemberut
“tenang aja lagi, kita gak akan kenapa-kenapa. Percaya deh sama gue.” Cetus Satria






Almost ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang