Perahu mulai bergerak. Belum seberapa jauh perahu kami berjalan, tampak anak-anak umur sepuluhan berenang di sekeliling perahu kami. Sambil melambaikan tangannya mereka tampak ceria. Mereka berteriak, “Ayo kakak, ayo kakak lempar uangnya!”
Kami heran dan saling bertatapan, apa yang dilakukan anak anak itu? Mang Oleh menjelaskan pada kami bahwa anak anak itu sengaja berenang, dan akan menyelam untuk mencari kepingan uang yang dilempar oleh orang yang menaiki perahu. Sebenarnya jumlah yang mereka dapat pun tidak seberapa, tapi sensasi bermain bersama teman dengan menyelam dan mengambil lemparan koin adalah kesenangan untuk mereka. Sebenarnya itu bisa membahayakan jiwa mereka. Namun, permainan itu turun temurun tetap ada sampai sekarang.
Langit Jakarta cerah. Perahu kami terus melaju ke tengah laut. Perahu bergerak ke tengah laut dan ombak pun mulai terasa. Semakin lama Pelabuhan Sunda Kelapa semakin tak kelihatan. Beberapa ekor ikan lumba-lumba melompat-lompat di sekitaran perahu kami. Di tengah Laut Jawa, angin mulai terasa menerpa muka. Langit biru luas membentang di atas. Laut biru membentang di bawahnya. Dan perahu kami adalah titik di tengah laut lepas.
Tapi indahnya alam raya tak berlangsung lama. Di kejauhan tampak awan hitam. Bergulung perlahan di langit. Tak lama kemudian angkasa mulai mendung. Awan gelap meliputi angkasa.
Setelah itu senyap. Udara seperti hilang, tidak ada angin yang bertiup. Lautan pun tidak ada ombak. Udara tidak panas tapi juga tidak dingin. Anyep. Nafas kami berat, seperti sedikit tersedak. Lambat laun, kami tidak bisa melihat lautan. Cahaya gelap menyeliputi alam. Jarak pandang terbatas. Aku hanya bisa melihat sedikit wajah Satria dan Nisrina samar-samar meski kami duduk bersebelahan. Kami semua pun ketakutan, terutama Nisrina. Dia mengoceh banyak.
“Guys, gimana nih? Gue ngga mau mati disini.”
Mesin perahu mendadak mati. Padahal angin pun tak ada. Maka layar perahu tak bisa berfungsi menggerakan perahu. Karena tidak ada angin yang meniup layar perahu kami. Mang Oleh tampak tenang di tengah kepanikan kami. Mang Oleh mulai mengayuh perahu.
“Gimana nih, Mang?”tanyaku cemas.
“Tenang aja neng, kita sudah hampir sampai Pulau Neymark.” Kata Mang Oleh. “Cuaca begini tanda kita sudah masuh perbatasan zona pulau.”
“Guys.. Lihat!” Nisrina menunjukkan ponselnya padaku dan Satria. Ponsel itu tiba-tiba blank, layarnya hitam seperti energi baterainya habis. Aku dan Satria mengecek ponsel juga. Sama, ponsel kami mati semua. Padahal baterai ponsel kami masih penuh.
Keadaan tanpa angin, cahaya dan energi cukup lama. Sampai tiba-tiba lembaran-lembaran cahaya menelisik kegelapan. Cahaya suram perlahan mulai hilang. Alam kembali terang. Angin mulai semilir mengelus mukaku. Pelan-pelan perahu bergerak ditiup angin.
“Kita sudah hampir sampai.” kata Mang Oleh sambil menunjuk ke depan. Tak terlalu jauh tampak samar wajud sebuah pulau. Di angkasa burung-burung camar beterbangan, tanda mulai ada kehidupan.
“Almost there.” Kataku riang.
Kini terlihat jelas penampakan pulau Neymark. Pulau yang tidak terlalu besar tapi tidak juga kecil. Terdapat pantai yang berpasir putih. Kami sudah bisa melihat dengan jelas sekarang.
“Kita sudah sampai.” kata Mang Oleh. Ia menambatkan perahunya pada batu besar di tepi pantai. Kami turun dengan meniti batu-batu yang lebih keci[ menuju pantai berpasir putih. Ujung celanaku basah oleh desiran ombak lautnya yang jernih. Mang Oleh tak ikut turun. Ia cuma melihat kami hingga menjejakkan kaki di pasir.
“Sepuluh hari lagi saya kembali. Sekitar jam 12.00 siang, saat matahari tegak lurus di langit, tepat di posisi batu ini.” Teriak Mang Oleh. Aku dan Satria melambaikan tangan tanda mengerti.
Mang olehku meninggalkan kami bertiga dan mendayung perahunya menuju ke tengah laut.
“Guys, gimana cara kita pulang?” Nisrina kembali cemas.
“Tenang, 10 hari lagi Mang Oleh datang. Kita puas-puasin menikmati pemandangan di pulau ini. Lihat sekeliling lo, hirup udara segarnya. Indah dan menyejukkan bukan?” kataku menenangkan Nisrina.
“Santai aja, Nis. Ada gue sama Melati kok, tenang aja.” Kata Satria.
Setelah Nisrina kami tenangkan. Aku mengeluarkan peta rahasia dari tasku. Aku, Nisrina dan Satria melihat peta sebentar. Setelah paham kami pun melanjutkan perjalanan ke dalam hutan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Almost There
PengembaraanBermulai dari mimpi, petualanganku menjadi nyata. Sebuah pulau yang tak terpeta dan akhir petualangan yang tak terduga. Dan akhir petualangan yang penuh tanda tanya.