"Kamu dengar Papa nggak sih, Ru?!" Suara bentakan terdengar lagi di speaker ponsel. Darhan baru saja dihubungi papanya perihal ia memukul Remy. Sudah tiga puluh menit berlalu dan sejak tadi beliau tidak memberi anak laki-lakinya jeda bernapas. Papa terus mengeluarkan omelan-omelan khasnya yang sudah sering Darhan dengar.
"Iya, Papaaaa." Ia memanjangkan nada bicaranya, merasa sudah menjawab pertanyaan itu untuk yang ke kesekian kali. Darhan tidak masalah sebenarnya dengan semua ocehan papa. Ia bahkan bisa dinobatkan sebagai anak laki-laki paling patuh di dunia. Hanya saja, ia bosan mendengar kalimat yang itu-itu saja. Sudah tiga kali Darhan menguap karena omelan sang papa tak kunjung selesai.
"Jangan nyusahin Bu Lela! Beliau itu udah tua, jangan nambah-nambahin kerjaan!" Kalimat ini sudah berulang kali pula Darhan dengar. Setiap menghubungi papa, pasti pesan ini yang akan diulang paling tidak dua kali selama durasi komunikasi.
"Nggak usah pulang. Papa mau ke sana," timpal beliau akhirnya mengganti topik.
"Kapan?" Darhan agak sedih sebenarnya karena dipesankan agar tidak pulang. Padahal banyak bagian dari kampung halamannya yang ia rindukan. Salah satunya, Ara.
"Satu atau dua minggu dari sekarang. Nanti Papa kabari lagi."
"Sendiri?"
"Ya, bareng adik kamu lah!"
Darhan mengangguk pertanda paham. Meski papa tidak akan mungkin bisa melihat itu, tapi beliau pasti paham lah arti dari diamnya Darhan.
"Ingat ya, Ru! Jangan buat masalah lagi! Papa nggak masalah kalau nanti akhirnya beasiswa kamu dicabut, tapi pikirin lagi usaha kamu dan adik kamu. Kamu ke sana demi dia, jadi jangan buat dia kecewa!" Pesan terakhir yang diucapkan papa mencekat lehernya. Ia kembali teringat dengan adiknya yang sangat ingin bersekolah di luar kota. Namun karena beberapa alasan, Eyang menentang.
"Iyaa, Papa sama Eyang sehat-sehat, ya. Salam buat Ara."
"Salam sendiri," balas beliau sebelum akhirnya memutus sambungan. Darhan berdecih. Hanya dimintai tolong sedikit saja enggan. Padahal bukan permintaan yang sulit. Dasar bapak-bapak.
Pemuda Sangaji itu menghempas ponselnya ke ranjang. Ia juga ikut merebahkan diri sembari menatap langit-langit kamarnya. Kira-kira apa reaksi Ara ya, kalau tahu ia batal pulang? Gadis itu sepertinya sudah rindu menggebu-gebu sampai menanyai Darhan jadi pulang atau tidak hampir setiap harinya. Ya, Darhan juga ingin pulang sebenarnya. Menemui si cinta juga mengunjungi makam mama. Ia juga sedikit merindukan eyang. Wanita tua yang bawel, sukanya memasak. Ah, dia jadi merindukan kota kelahiran.
Bunyi notifikasi membuyarkan lamunannya. Ia ambil lagi benda pipih itu untuk melihat siapa lagi yang menghubunginya. Notifikasi itu dari instagram. Pengirimnya adalah Areta. Tanpa buang waktu, Darhan langsng membuka direct message tersebut.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Darhan mengetikkan balasan kalau ia sedang tidak sibuk. Tidak lama, balasan kembali muncul. Darhan sempat terdiam. Namun detik berikutnya ia langsung bangun dari posisi rebahan dan mengambil hoodie. Si Gemini keluar kamar dan menuruni tangga. Di bawah ia bertemu Mel yang sedang mengerjakan tugas di ruang tengah. Teman satu kosnya itu tampak serius dengan kacamata yang bertengger di batang hidung. Juga dengan rambut yang sedikit berantakan, Darhan tahu kalau Melviano sudah mulai stres.