Ocehan Panjang

115 11 26
                                    

Areta masuk begitu saja tanpa menjawab pertanyaan kakaknya. Ia malas berdebat karena rasanya seluruh energi yang ia punya terkuras habis. Tapi yang jadi pertanyaan dalam kepala si jelita, tumben sekali Arsel sudah pulang? Ini bahkan belum senja tapi batang hidung lelaki itu sudah terlihat di depan pintu rumah.

"Reta, Kakak mau bicara." Gadis yang sudah hendak menaiki tangga itu berhenti dan berbalik badan. Menatap lelaki yang sepuluh tahun lebih tua darinya dengan tatapan jengah. Tolong lah, apa akan ada drama baru hari ini?

Dengan terpaksa, Areta kembali mendekati kakaknya. Duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Arsel. Ia melipat tangan di dada, menunggu kalimat apa yang akan keluar dari bibir kakak laki-lakinya.

"Bisa tolong kamu ceritakan apa yang terjadi sebenarnya? Kakak cuma tahu soal kamu yang mabuk di club. Tapi kalau kamu ditampar, kakak nggak tau sama sekali," jelasnya ikut membuat pose yang sama seperti adiknya. Melipat tangan di dada dan mata yang mengintimidasi.

Areta merotasi bola mata. Sejujurnya, ia malas untuk bercerita. Bicara bukanlah hal yang ia suka. Lebih baik orang lain mencari tau tentang yang sebenarnya sendiri saja, daripada ia harus menjelaskannya secara detail.

"Iya, waktu Kakak lembur itu, Reta ke club. Terus ada yang cepuin instastory nya Sophi ke base. Ya udah besoknya Reta di rujak satu sekolah. Terus kalau yang ditampar..." Areta menggantung ucapannya kemudian angkat bahu. Ia bahkan tidak mengerti kenapa bisa Remy menamparnya. "Katanya sih dia malu pacaran sama Reta."

"Pacar kamu yang sering jemput pagi-pagi ke rumah itu ya?" tebak Arsel membuat adiknya mengangguk.

"Siapa namanya?"

"Remy. Kenapa?"

"Kasih tau alamatnya. Kakak mau buat perhitungan. Beraninya sama perempuan. Dia nggak tau siapa Arsel Dhega Ekaraj?" Pria itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju nakas untuk mengambil kunci motor.

"Nggak usah lebay deh, Kak. Itu orang juga udah bonyok sama Ajay," Arsel berbalik setelah mendapatkan kunci motornya. Ia duduk kembali di kursinya dan menatap Areta dengan wajah marah.

"Tapi nggak bisa gitu, Reta. Kakak aja nggak pernah nampar kamu!"

"Dia udah bonyok, Kak..."

Pria itu mengusap wajah frustrasi. Masalah yang diciptakan adiknya selama dua hari ini membuat kepalanya sakit. Pertama, ia sudah tau kalau adiknya ini sering minum. Tapi ia tidak tau kalau Areta berani pergi ke club. Kedua, berani-beraninya Remy menampar disaat Arsel saja tidak pernah menyentuh adiknya. Ketiga, kenapa Areta tidak membalas? Sebagai seorang yang sudah hidup selama belasan tahun dengan sosiopat, ini kali pertama Arsel lihat Areta tak melakukan perlawanan apapun. Padahal tadinya, Areta adalah anak yang pemberani. Ia sanggup melakukan apa saja demi memenuhi keinginannya. Ia juga tidak segan menampar orang yang lebih kecil atau lebih dewasa darinya jika ia mendapat perlakuan yang tidak biasa. Memang yang Arsel tau, gejala sosiopat akan berkurang seiring bertambahnya usia. Tapi Arsel tidak tau kalau akan berkurang sebanyak ini dalam kurun waktu yang cepat.

"Ajay. Suruh dia ke rumah," celetuk Arsel setelah jeda yang cukup panjang.

"Mau ngapain???" kagetnya.

"Mau bilang makasih. Lagian dia udah lama nggak ke sini, 'kan? Padahal dulu sering."

"Nggak. Samperin aja langsung ke rumahnya. Jangan bawa dia ke sini. Reta nggak mau!" Bukannya benci Ajay, tapi ia hanya tidak mau lelaki itu makin besar kepala dan menaruh harapan yang lebih tinggi lagi. Areta tidak mau pemuda itu semakin menganggap pertemanan ini istimewa karena Arsel ada dipihaknya. Karena sejak dulu pun, Ajay hanya teman bagi Areta.

DaretalokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang