Satu Dari Sedikit Manusia Baik

108 12 14
                                    

Sial. Dia terlambat lagi. Di hari pertamanya masuk sekolah setelah tiga hari menerima hukuman skorsing. Kalau saja ia bisa bangun lebih pagi dan mengejar gerbang yang sudah tertutup rapat, mungkin Areta tidak akan terlambat. Namun tenang saja. Ia sudah belajar dari pengalaman. Atau sebenarnya, hanya mengulang kesalahan yang sama. Gadis itu langsung ke belakang sekolah. Di mana tembok setinggi dua meter sudah pernah ia panjat dua kali berkat bantuan Darhan. Bedanya, hari ini ia sendiri. Tapi tidak perlu khawatir karena Areta sudah memakai celana training agar roknya yang pendek tak mengekspos seluruh kaki jenjangnya.

Gadis itu meloncat beberapa kali untuk bisa mencapai puncak tembok sebelum akhirnya ia menarik diri ke atas. Namun bunyi siulan menghentikan aktivitasnya. Siulan yang terdengar menggoda dan menyebalkan. Areta menoleh, pemuda berseragam acak karena kancing yang tak terpasang dan menampakkan kaus hitam polos miliknya berjalan mendekat.

"Telat mulu lo," komentar pemuda itu saat tiba di depan dia.

"Ngaca! Lo juga telat, kali!" balas Areta agak kesal mendengar sindiran itu.

Darhanaru Sangaji-terlambat sudah jadi makanan sehari-hari. Ia terkekeh sembari mengacak lembut puncak surai Areta kemudian melempar tasnya ke dalam. Setelah bunyi bruk yang keras, Darhan jongkok di dekat pagar tembok itu. "Ayo buruan."

Areta tersenyum senang. Darhan selalu bersedia jadi pijakan kakinya untuk memanjat dinding. Lantas gadis itu membuka sepatu dan melemparnya ke dalam. "Jangan ngintip!" Tegur Areta saat kepala Darhan hendak mendongak.

"Lagian apa juga yang bisa diintip." Ia menunduk lagi. Padahal ia hanya ingin memastikan Areta bisa naik ke pundaknya dengan selamat. Tapi malah dituduh yang bukan-bukan. Padahal kan Areta sudah memakai training. Tidak akan ada pula bagian tubuhnya yang terlihat dari bawah rok.

Bunyi gebrukan kembali terdengar. Dapat Darhan pastikan kalau gadis blasteran itu sudah mendarat dengan selamat. Sekarang gilirannya. Dengan mudah tanpa harus mengeluarkan effort yang banyak, Darhan mampu melompat dan memanjat pagar dinding itu. Ia pun mendarat dengan selamat di sebelah Areta yang sibuk memakai sepatu.

"Thanks ya udah bantuin gue naik," ucap Areta sembari mengikat tali sepatu.

"Kalau dipikir-pikir, banyak juga utang budi lo sama gue," celetuk Darhan membuat sepatu yang tadinya hendak membalut kaki jadi melayang ke kepalanya.

"Pamrih!" Seru Areta meraih sepatunya dan memasang kembali agar bisa lekas masuk kelas sebelum guru yang mengajar masuk.

"Bukan pamrih! Ini tuh konsep hidup give and take! Kalau memberi, pasti menerima!"

"Ya, itu namanya pamrih!! Udah deh, capek ngomong sama lo. Gue duluan! Thank you!!" Areta pergi meninggalkan Darhan lebih dulu. Ia rasa guru yang mengajar sudah masuk karena bel jam pelajaran kedua sudah berbunyi.

Sedang Darhan hanya terkekeh saja melihat Areta yang lari dan menghilang masuk ke koridor. Bukannya dia mengharapkan imbalan karena beberapa kali telah membantu Areta. Tadi Darhan bercanda saja mengingat setiap kejadian nahas yang menimpa gadis itu, sengaja maupun tidak sengaja Darhan pasti ikut terlibat. Jadi, tadi dia hanya asal celetuk.

"Ini sudah yang ke sekian kali Darhan terlibat perkelahian, Bu. Poinnya sudah terlalu banyak dan saya takut kalau Darhan tidak bisa lagi melanjutkan sekolah di sini." Suara Mr. Jo terdengar melas. Mungkin beliau sudah sangat lelah menghadapi salah satu muridnya yang suka membuat onar.

"Tapi bukannya Darhan bersekolah di sini karena beasiswa prestasi, Pak? Memangnya tidak bisa dipertahankan?" tanya Bu Lela selaku Ibu Kos yang mewakili orang tua Darhan.

DaretalokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang