Jam pelajaran selanjutnya berbunyi. Anak-anak kelas satu yang baru menjadi murid sekitar lima bulan itu sudah masuk ka ruang seni dan ambil tempat di kursi masing-masing. Di hadapan mereka ada kertas, segelas air serta cat yang sudah tersusun rapi di easel masing-masing.
Areta, gadis enam tahun itu duduk diam di kursinya sembari memperhatikan penjelasan guru. Ia tidak terlalu suka pelajaran seni rupa. Karena menurutnya, seni itu membosankan. Ia lebih suka bergelut dengan soal-soal di buku atau ikut kegiatan yang menguras energi seperti berolah raga. Areta memang kurang cakap dalam mengembangkan imajinasinya.
"So class, you can start painting like I said earlier. No need to rush. Just do it slowly and calmly. Okay?" Ibu guru menyudahi penjelasannya tadi dan mulai meminta anak didiknya untuk mulai melukis.
Dengan sedikit kurang bersemangat, Areta mulai melukis sesuai apa yang ada di kepalanya. Hari ini ia tidak banyak berpikir. Jadi yang terlintas di kepalanya hanya bunga matahari. Itu juga karena tadi ia lihat bunga matahari mekar sempurna ditaman sekolah. Jadi ia mulai mencoret pensilnya pada kertas.
Ia tidak lihai dalam seni rupa. Tapi karena ia punya tujuan setelah kelas ini berakhir, ia harus segera menyelesaikannya. Papa janji akan mengajaknya berenang setelah pulang sekolah nanti. Jadi ia akan menyelesaikan tugas lalu pulang. Kalau saja bukan karena ulah dua temannya yang sejak tadi tidak mau diam, mungkin gambar itu sudah selesai. Akibat Blair dan Ellen yang bergelut saling menodongkan kuas, gelas berisi air yang sudah tercampur cat itu tumpah hingga mengenai lukisannya yang hampir selesai.
"Sorry, Areta," ucap Blair yang menyenggol gelas itu.
"We didn't mean to," Sambung Ellen ikut panik.
Areta menatap nanar kertasnya yang basah. Gambarnya sudah tak berbentuk karena rembesan air yang membuyarkannya. Gadis kecil itu menatap dua onar yang berdiri memohon maaf. Ia kesal. Karena ulah mereka berdua, gambarnya jadi rusak. Dan ia harus mengulangnya dari awal. Kalau begini, bisa bisa ia tidak jadi berenang bersama papa.
Matanya menangkap gelas yang sama pada easel Blair. Ia ambil gelas berisi air keruh itu, kemudian ia siramkan ke wajah Blair hingga seluruh wajah dan poninya basah. Beruntung ia memakai apron, jadi baju putihnya tidak terkena air kotor itu. Namun tetap saja, siapa yang tidak histeris saat disiram air kobokan cat? Gadis Eropa itu berteriak histeris dan menangis memanggil ibunya. Sedang dalam hati Areta puas dengan apa yang telah ia lakukan. Blair dan Ellen memang sering usil satu sama lain. Dan itu sedikit mengganggu bagi Areta. Sejak masuk sekolah, ia ingin sekali menegur mereka berdua. Hanya saja ia tidak tahu caranya. Ternyata, ada cara yang lebih mudah tanpa harus mengeluarkan suara.
❃
Akibat ulahnya sendiri, orang tua Areta di panggil ke sekolah. Papa yang sedang bekerja langsung buru-buru pulang dan datang ke sekolah bersama Mama. Gadis kecil itu tak menunjukkan penyesalannya. Bahkan saat disuruh meminta maaf kepada Blair, ia bungkam.
Gadis kecil itu menunggu di luar ruangan dengan tenang. Ia takut papa marah, tapi dia tak punya alasan untuk mengaku salah. Karena memang bukan dia yang pertama memulai.
"Reta," suara itu membuat gadis enam tahun itu menoleh ke sumber suara. Papa keluar bersama mama lalu duduk di samping kanan dan kirinya.
"How do you feel right now?" tanya Mama sembari mengusap surai panjangnya.
"I'm mad," jawabnya tanpa menoleh. Ia marah kepada Blair, kepada Ellen, kepada sekolah, kepada semua orang. Ia hanya ingin berenang. Lalu kenapa ia masih duduk di sini sementara kelas sudah selesai tiga puluh menit lalu?
![](https://img.wattpad.com/cover/203576943-288-k976804.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Daretaloka
Fanfiction𝙙𝙖.𝙧𝙚.𝙩𝙖.𝙡𝙤.𝙠𝙖 (n) dunia, jagat, semesta milik sepasang manusia bernama Darhan dan Areta yang berisi renjana lengkap dengan lara. ©sshyena, 2023