Meski semalam ia menghabiskan bergelas-gelas wine, gadis yang baru saja menginjak usia 17 tahun itu berjalan santai seolah alkohol yang ia minum tak berpengaruh apa-apa pada dirinya. Senyumnya merekah dengan langkah kaki yang ringan. Hari yang indah untuk bersenang-senang di sekolah. Areta Wajdi Lituhayu menyapa semua yang dilewatinya. Termasuk pak satpam yang sudah nangkring di depan pagar dengan bekal sebotol kopi sisa berjaga tadi malam.
Namun langkah ringan itu membuatnya nyaris terjatuh. Bukan. Bukan karena kakinya seakan terbang hingga tak sanggup menapak tanah, tapi karena bahunya baru saja disenggol kuat dari arah depan. Areta menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang berani-beraninya cari masalah di pagi yang cerah seperti ini.
Perempuan itu tak lain tak bukan adalah Flora. Manusia yang sering cari gara-gara dengannya. Orang yang disegani seluruh sekolah karena ayahnya adalah seorang wakil kepala sekolah. Flora menatapnya tak suka. Padahal seharusnya, dia lah yang melempar tatapan itu. Pandangan menelisik gadis itu membuat Areta semakin kesal.
"Sorry, ya, perek," ucapan itu membuat darahnya naik. Seumur hidup, tidak pernah seorang pun menghinanya perek. Meski ia begajulan, rok di atas batas ketentuan, kemeja ketat, atau bahkan pakaian terbuka yang biasa ia pakai saat menyanyi, tak pernah seorang pun berkata di depan matanya, bahwa dia ini adalah seorang perek.
"Lo yang perek!" tepat saat Areta membalas, gadis yang menyenggolnya lantas pergi begitu saja.
Koridor yang ramai jadi semakin ramai karena teriakan Areta. Beberapa orang yang berlalu-lalang mendadak berhenti dan memperhetikannya. Tak sedikit, atau lebih tepatnya mereka semua berbisik-bisik. Entah bergumam apa tapi Areta paham pasti ia sedang dibicarakan. Ia tahu, karena tak sekali dua kali saja ia diperlakukan seperti ini. Biasanya Areta akan langsung membentak dan memasang tinjunya untuk siapa saja yang berani melawan. Namun kali ini, ia tak melakukan itu. Gadis blasteran itu langsung beranjak melanjutkan jalan menuju kelas.
Dari koridor kelas satu sampai koridor kelas tiga, sepanjang ia melangkah orang-orang terus menatap dan berbisik-bisik. Areta tidak tau apa yang salah, seakan satu sekolah kompak memusuhinya. Tatapan jijik dan benci kian membuatnya risih. Padahal menurutnya, ia belum buat masalah hari ini. BAHKAN MATAHARI SAJA BARU MENYINGSING?! Bagaimana bisa ia buat masalah kalau ia sendiri pun baru tiba di sekolah?!
Areta akhirnya duduk juga di kursinya. Sama seperti tadi, saat ia masuk orang-orang yang ada di kelas menatapnya. Areta mulai geram, namun ia memilih tak acuh karena bisa saja seluruh murid yang ada di sekolah ini sedang mengadakan 'hari membenci Areta sedunia' seperti yang ada di serial animasi SpongeBob.
"Gils!! Trending topik lo!" seru Kalan begitu memasuki kelas.
Ia yang sejak tadi sudah penasaran hanya mengangkat sebelah alis. Bertanya lewat bahasa tubuh tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Kalanie mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah tweet dari base sekolah yang dikirim oleh seorang anonim. Di sana terlihat video perempuan remaja dengan rambut cokelat terang tengah menari dengan segelas wine di tangan. Gambar itu berasal dari instagram Sophia. Story yang hanya di posting di close friend itu tersebar di akun base twitter sekolah mereka. Ujaran kebencian terus bermunculan lengkap dengan foto bahkan video Areta yang sedang membuat masalah di sekolah. Entah itu menari dan menyanyi di atas meja, bertengkar dengan Flora, sampai mengerjai guru piket agar bisa kabur keluar sekolah. Semua kelakuan buruknya satu per satu di spill oleh orang-orang yang bersembunyi dibalik akun alternya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daretaloka
Fanfiction𝙙𝙖.𝙧𝙚.𝙩𝙖.𝙡𝙤.𝙠𝙖 (n) dunia, jagat, semesta milik sepasang manusia bernama Darhan dan Areta yang berisi renjana lengkap dengan lara. ©sshyena, 2023