The Siblings

79 11 21
                                    

Darhan kembali sampai di hotel tempat Ara menginap. Selepas mengantar Areta tadi, ia menyempatkan pulang ke kos untuk mengambil baju dan kembali lagi ke sini. Kemarin, Papa baru memberinya uang tambahan di luar uang bulanan. Dan sedikit sudah ia gunakan untuk membayar ongkos taksi bersama Areta tadi. Sekarang, uangnya memang masih ada dan lebih dari cukup. Namun ia terlalu sayang untuk menggunakannya mengingat uang bulanan yang hampir habis. Darhan lantas memutar otak memikirkan dengan cara apa ia membayar taksi ini.

Di luar jendela ia lihat seorang pria dengan seragam rapi hendak memasuki lobi. Darhan lantas keluar dengan tak lupa menyuruh sopir taksinya menunggu.

"Pa!" panggil Darhan membuat empunya menoleh dan berhenti.

"Bayarin taksi," sambung Darhan berlalu begitu saja setelah mengatakan permintaannya.

Sang papa mendengus tidak heran. Sudah hal yang biasa melihat anak bujangnya melimpahkan hasil perbuatannya pada si ayah. Pria itu lantas mendekati taksi sembari membuka dompetnya.

"Berapa, Pak?" tanya papa sedikit menunduk menyamakan dengan tinggi jendela mobil biru itu.

"120.000, Pak," jawab sopir taksi itu.

Papa menghela napas lagi sembari menggeleng. Namun ia tetap mengeluarkan nominal uang yang diminta. Entah ke mana perginya Darhan hingga tarif taksinya begitu mahal. Padahal, jarak antara kos dan hotel tidak sejauh itu. Pantas saja dia melimpahkan hal ini pada papanya, sebab jika ia membayar dengan uangnya sendiri, maka uangnya akan berkurang banyak.

Sudah dua hari ini ia terus bolak-balik masuk ke hotel. Alasannya tentu saja karena ingin bertemu dengan Ara. Jadi hari ini, ia memutuskan untuk menginap dan tidur bersama adiknya. Lagi pula, sudah lama mereka tidak bertemu. Mungkin akan bisa bertemu lagi saat Darhan pulang ke Bandung. Dan itu tidak bisa dipastikan kapan karena jadwal sekolahnya.

Sedang Ara, gadis itu homeschooling. Dulu sewaktu kecil, mereka bersekolah di sekolah swasta dengan daya tampung murid yang sedikit. Itu sebabnya Ara tidak memiliki teman. Hal itu jugalah yang mendukung keinginannya untuk bersekolah di luar kota dan punya banyak teman. Namun ternyata, keinginan itu ditentang oleh Eyang mengingat Ara yang punya penyakit turunan dari ibunya-diabetes. Makanya yang diizinkan pergi hanya Darhan. Dan Ara memilih untuk bersekolah dari rumah saja.

Wangi sabun menguar begitu Darhan keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang basah ia usak kasar dengan handuk agar tidak terlalu basah. Pakaiannya yang semula memakai paju sekolah kini berganti jadi kaus dan celana pendek.

Darhan menggantung handuknya di gantungan. Ia kemudian menghampiri adiknya yang duduk sembari memainkan ponsel. Laki-laki itu ikut duduk bersandar di sebelah Ara sembari memperhatikan ponsel adiknya.

"Liat apa?" tanya laki-laki itu makin mepet dengan Ara.

"Ru, basah! Sana keringin rambut dulu!" seru Ara karena rambut kakaknya yang basah mengenai wajahnya.

"Bawel!" gerutu Darhan namun bangkit juga untuk mengeringkan rambutnya dengan hairdryer Ara.

"Gimana sekolah?" tanya Darhan di sela-sela kegiatannya.

Ara melirik sekilas kemudian beralih lagi sembari angkat bahu. Tampak tak minat dengan pertanyaan kakak laki-lakinya. "Biasa aja, masih sendiri," jawabnya.

"Kamu mah emang homeschooling. Ya sendirian atuh, masa se-RT," jawabnya dengan dialek Sunda yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa-siapa.

"Ya, makanya. Aru kan udah tau kegiatan sekolah Ara sehari-hari kayak gimana? Ngapain di tanya," balas gadis itu agak ketus.

"Basa-basi." Darhan mematikan hairdryer Ara kemudian kembali duduk di sebelah adiknya. Memperhatikan isi ponsel yang menampilkan instagram berisi aktor ibu kota kesukaan gadis itu.

DaretalokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang