Orang Bucin

73 14 12
                                        

"Bestie! Gue liat-liat wangi banget lo hari ini!" seru Raksi yang sudah dapat mencium parfum Darhan dari radius 100m.

Lelaki yang diserukan itu mendudukkan diri di kursi. Disusul Atar dan Barra yang duduk di atas meja mereka, Darhan menatap sahabatnya satu per satu dengan senyum miring dan alis yang sesekali naik seolah sedang menyombongkan diri.

"Udah jadian lo?" tanya Atar menatap gelagat pongah Darhan.

Menjawab itu, Darhan menaikkan alisnya dua kali pada Atar. Membuat si sahabat jadi gemas ingin menonjok wajahnya.

"Gimana lo nembaknya?" kini giliran Barra yang penasaran.

Lagi-lagi, pemuda itu memberikan senyum miring untuk sahabat-sahabatnya. "Kepo lo. Udah ah, salting gue." balasnya kemudian bangkit pergi meninggalkan kelas.

"NAJIS! Alergi gue sama orang bucin!" seru Atar yang sejak tadi kesal sendiri.

"Beliau ini memang suka tidak sadar diri," sindir Barra yang juga tahu kelakuan Atar juga sama saja. Bahkan Atar lebih parah. Dia bucin akut.

"Gue menang, Barra!! Ayo sini bayar bayar!" timpal Raksi menadahkan tangannya di hadapan Barra.

Laki-laki itu berdecak sebal melihat kelakuan Raksi. Apa dia lupa kalau sudah lima hari ini Barra tidak dapat uang saku karena nilai ulangannya yang di bawah rata-rata?

"Anjing! Tau gitu nggak gue kasih tau Darhan caranya nembak," balas Barra menyesali perbuatannya semalam.

Atar yang melihat itu justru tertawa ngakak. Untung saja Atar tidak ikut serta. Kalau iya, pasti Barra akan semakin miskin lagi karena Atar ada di pihak Raksi.

"Makanya, jangan judi! Mending uangnya buat ngajak Kalan jalan," ujar Atar menceramahi Barra yang kemalangan.

"Dih, mending uangnya buat beli cilok segerobak lah!" potong Raksi kini memamerkan dua lembar uang seratus ribu kehadapan Atar juga Barra.

Dua manusia itu justru mendengus. Raksi dan segala keanehan yang dia miliki. Kebahagiaannya hanya sebatas bisa jajan cilok sehari sekali. Tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan. Kalaupun iya, pasti mereka sedang berbagi gosip tentang anak-anak Citaprasada. Tapi di balik itu, Raksi adalah teman yang cukup solid.

Mentang-mentang sudah resmi berpacaran, ke mana-mana jadi berdua terus. Biasanya, mana pernah mereka terlihat makan berdua di kantin. Kalau tidak bertiga dengan Kalan, ya bertiga dengan Raksi. Atau juga pernah berempat dengan Kalan dan Barra. Tapi hari ini, mereka hanya berdua saja. Di kursi dan meja yang bisa diisi setidaknya enam orang, kursi itu justru hanya ada mereka berdua saja. Tidak bisa begini, kalau dibiarkan bisa-bisa yang kosong akan diisi demit.

"Anjay, kapal gue berlayar!" seru Raksi yang beru saja memasuki kantin. Di belakangnya juga ada Atar dan Barra yang sibuk bertukar cerita entah pasal apa.

Areta dan Darhan acuh tak acuh, mereka tidak peduli dengan bibir tumpah Raksi. Bahkan disaat Raksi ikut duduk di meja itu-tepatnya di sebelah Areta-mereka berdua tetap tidak menggubris keberadaannya.

"Pj bisa kali..." sindir Atar duduk di hadapan Darhan dan Areta.

"Minta Raksi lah! Dia kan menang taruhan," balas Darhan akhirnya menghargai keberadaan Raksi.

"Enak aja! Gue mau beli cilok segerobak!"

"Taruhan apa?" tanya Areta kepo.

"Barra sama Raksi taruhan. Kalau-"

"Lo pilih diem apa gue bilang Freya semalam lo nganterin Gayatri pulang?" ancam Barra langsung membungkam mulut Atar. Bukan apa-apa, dia takut dihajar Areta. Meski kekuatan mereka tak sebanding, tapi Areta selalu punya cara untuk balas dendam. Dan biasanya, tidak perlu menggunakan tenaga.

DaretalokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang