“Liat deh, si bule ngepost fotonya sama Kak Remy di instagram. Caption-nya, Thanks for the surprise,” perkataan dari Regi membuat gadis yang sedang anteng menikmati jus jeruknya tiba-tiba tersedak.
Flora Florida. Gadis itu langsung merampas ponsel milik sahabatnya untuk melihat kebenaran yang baru saja ia dengar. Benar, layar ponsel dari Regi menampilkan seorang perempuan dengan rambutnya yang berwarna cokelat terang sedang menggandeng lengan pemuda dengan mesra. Semakin merasa panas saat ia melihat caption yang dihiasi oleh banyak emotikon love berwarna merah. Flora lantas menghempas ponsel Regi ke meja kantin dengan kesal hingga membuat empunya berseru heboh.
“Gue nggak percaya. Itu pasti si bule yang keganjenan. Kak Remy nggak mungkin mau pacaran sama dia! Nggak! Nggak mungkin!” ujarnya memanipulasi diri.
“Flo, mereka udah pacaran tiga bulan. Nggak mungkin gimana? Buktinya udah jelas di depan mata!” balas Regi mengusap-usap ponselnya yang mendapat kekerasan dari Flora.
“Tapi itu nggak mungkin Re. Berita mereka pacaran tuh kayak dengar bulan ada dua! Mustahil!”
“Ya-iya sih. Lagian jomplang banget. Kak Remy yang ganteng, baik, pintar, mantan ketua osis, pacaran sama cewek yang acakadut kaya Areta. Itu nggak mung—Arghh!!” perkataan Regi terpotong kala seember air membasahi ia dan Flora dari atas. Lantas itu membuat seisi kantin yang mulanya sibuk masing-masing jadi memperhatikan mereka yang kuyup.
Si tersangka yang telah menuangkan seember air pel itu tersenyum bangga melihat perbuatannya. Lalu dengan pongahnya ia naik ke atas meja sembari berseru. “Siapa pun yang punya unek-unek, kesal, atau mau ngekritik gue, bilang langsung! You can say it in front of me! Jangan nambah dosa karena ngomongin gue di belakang! Sekian!” setelah gadis itu turun dari meja, orang-orang yang ada di kantin bersorak heboh bak supporter bola. Mereka menyoraki keberanian si jelita yang kadang suka bikin geleng kepala. Setelah merasa bangga akan perbuatannya, ia beranjak keluar kantin. Ke mana? Ruang Konseling.
❃
“ARETA WAJID PUTUAYU!!” iya. Itu nama lengkapnya. Tapi itu sebenarnya salah. Areta Wajdi Lituhayu. Gadis blasteran Indonesia-Belanda yang sekarang duduk di bangku SMA kelas tiga. Kemarin baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Dan tepat sehari setelah perayaan tambah umurnya, ia sudah buat masalah saja.
“Mister, coba kita sama-sama berpikir. Bayangkan Mister yang ada di posisi Areta. Emangnya kuping Mister nggak panas dengerin orang yang suka ngomongin di belakang?” balas gadis itu membela diri.
“Areta, anak murid Mister yang paling cantik. Coba sini tangan kanannya,” kesalahan kedua yang tidak pernah membuatnya jera. Sebuah gelang.
“No! Ini hadiah dari Remy, Mister. Enak aja mau digunting!” tolaknya menyembunyikan lengan kanan di belakang punggung.
“Kalau gitu simpan. You know what our regulation, right?”
“Sumpah ya, Mister, sampe sekarang tuh Areta nggak paham sama konsep nggak boleh pakai gelang. Ini tuh nggak mengganggu proses belajar-mengajar!”
“Iya, memang. Tapi gelang yang kamu pakai itu selalu emas Areta...”
Gadis itu menghela napas gusar, setelahnya. “Fine!” ia melepas gelang itu dan menyimpannya di saku seragam.
“Good girl...” Mr. Jo kembali pada buku catatannya untuk menulis poin ke 99 milik Areta. Jika saja nanti poin anak ini mencapai 200, maka usai sudah perjalanannya bersekolah di sini.
“Tadi kamu nyiram Flora pake air apa?” Tanya Mr. Jo masih fokus pada buku tulisnya.
“Air pel,” jawabnya dengan ketus.
“Alright, sekarang kamu pel balkon lantai dua dan tiga sampai bersih, kalau tidak kamu akan Mister skors.”
“Mending di skors aja sih, Mister. Nanggung soalnya.”
“Areta!!”
❃
Menuruti perintah si Mr. Jo yang banyak omong, Areta kini telah sampai pada titik akhir dari hukumannya. Ia tinggal mengepel tangga di lantai dua saja kemudian usai sudah proses menjadi babu di siang menuju sore ini. Areta menghela napasnya, menyeka keringat yang mulai bercucuran di pelipis. Lalu dengan sisa tenaga yang ia punya, ia mulai menggosokkan tangkai pel itu pada anak tangga satu per satu.
Seluruh murid sedang belajar di jam pelajaran terakhir. Satu jam lagi bel pulang akan berbunyi. Dan ia harus segera menyelesaikan ini sebelum waktu pulang. Di pertengahan anak tangga yang sedang ia pel, seorang anak lelaki yang ia tidak tahu siapa namanya berjalan dengan santai melewatinya. Dengan napas yang terengah-engah, ia lihat anak tangga anak tangga yang sudah dipel tadi dengan ternganga. Ada jejak sepatu di sepanjang anak tangga yang sudah ia pel tadi. Areta naik pitam. Dengan tidak berperasaan, ia memukul punggung siswa tadi dengan tangkai pelnya hingga bunyi ‘buk’ yang sangat keras terdengar di antara mereka.
“Lo liat! Gue udah capek ngepel dari atas sampe sini, tapi lo injek pake sepatu kotor lo itu?!!” seru Areta memarahi siswa tadi yang masih kesakitan karena punggungnya yang dihantam dengan kayu lebih dari satu meter.
Tak terima akan perlakuan kasar itu, si lelaki berbalik untuk ikut protes. Namun entah kenapa, niatnya urung. Dibacanya nama yang tertera pada seragam Areta, kemudian berdecih. Tanpa mengucapkan maaf atau apa, lelaki dengan tingkat kesombongan di atas rata-rata ini pergi begitu saja meninggalkan Areta yang masih mengumpatinya.
“WOI! TANGGUNG JAWAB LO!” namun naas, pemuda itu sudah hilang di balik koridor lantai satu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selamat datang di bab satu! Cerita ini akan up setiap hari Jum'at pukul 7 malam. Jika terlambat diperkenankan untuk spam😉