Pemakaman di pagi buta. Embun pagi bak selimut yang menutup penglihatan. Namun udaranya sedikit dingin dan menusuk permukaan kulit terluarnya. Rambut halus yang ada di pergelangan tangan pelan-pelan berdiri. Entah karena dingin atau merinding. Tapi Areta tak pernah merasa terusik. Karena entah sejak kapan, tempat ini berubah jadi rumah. Tempatnya berkeluh kesah tanpa sepengetahuan manusia manapun. Tempat yang lebih bisa menerima ia, lebih dari rumahnya sendiri.
"Halo, Papa," sapa nya begitu tiba di hadapan nisan dengan keramik hitam.
Ia kemudian jongkok agar bisa lebih dekat dengan orang yang telah lama meninggalkannya. Bahkan tanpa sedikit pun salah perpisahan.
"How are you? Betah ya di surga sampai nggak pernah jenguk Reta di mimpi lagi," sambungnya sembari mengusap nisan tua yang tulisannya sedikit menghilang.
"Maaf ya, belakangan Reta terlalu sibuk sama dunia sendiri sampai nggak sempat jengukin Papa. Tapi kayaknya Papa juga nggak kangen ya sama Reta? Nggak lah! Buktinya aja nggak pernah datang ke mimpi Reta lagi. Males ah! Reta ngambek!" Gadis itu bersedekap. Mengerucut lucu seolah sedang marah dengan orang yang diajaknya bicara. Padahal nyatanya, ia sedang bicara dengan gundukan tanah.
Tangan gadis itu mulai merayap di atas tanah liat yang terdapat banyak bunga kering. Ia tersenyum, masih ada juga yang bersedia menjenguk papanya. Meski kemungkinan paling pasti, ia hanyalah Arsel.
"Kakak sering datang, ya?" gumamnya dengan hati yang perlahan-lahan membiru. Ia jadi sedih mengingat hubungan antara ia dan kakaknya jadi sejelek ini. Padahal tadinya, Arsel adalah orang yang paling bisa Areta percaya sekuat ia percaya pada Papa. Lebih dari pada Mama.
Helaan napas berat terdengar. Ia menyeka matanya yang berair namun tak sampai jatuh ke pipinya. Areta sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Apalagi disaat-saat seperti ini. Dulu papa yang paling sering menghibur dan mengajaknya bermain. Bahkan memaklumi setiap tingkah di luar nalar yang selalu Areta perbuat. Papa selalu berkata, "Gapapa, Reta nggak harus selalu jadi kuat." Dan setelah itu Papa akan memeluknya sembari menyanyikannya sebuah lagu.
"Kakak...masih nyebelin. Suka marah-marah. Jarang di rumah padahal Reta takut sendirian." Runtuh sudah. Usahanya untuk tidak mengeluarkan air mata gagal. Nyatanya, ia terisak juga.
"Tapi kakak hebat, Pa. Dia nggak pernah biarin Reta kekuarangan. Reta selalu merasa cukup, bahkan setelah Mama ikut pergi." Disekanya air mata yang jatuh di pipi. Setelah satu tarikan napas, gadis itu tersenyum. "I'm glad to have brother like him. Walaupun sering bikin jengkel."
Areta menatap nama yang tertera di sana. Begitu jelas meski tintanya nyaris hilang. Begitu indah meski tak lagi nampak seperti baru. Ia jadi rindu di peluk papa.
"Tapi Papa tau nggak? Belakangan ini Reta merasa senang, Pa. Akhirnya ada yang kayak Papa," katanya setelah satu orang itu terlintas di kepalanya.
"Dia agak cuek sih, tapi nyenengin. Seolah dia itu ngerti isi kepala Reta padahal nggak Reta jelasin sama sekali." Senyum terbit di paras cantiknya. Mengingat rupanya saja, Areta bis langsung merasa senang. Padahal tadi, hatinya goyah.
"Sama dia seru, Pa."
❃
"Areta!!" seruan dari luar membuat gadis yang di rumah saja sejak pulang dari pemakaman itu membuka jendela kamarnya. Ia dapat melihat sahabat karibnya, Kalanie Pawana berteriak di bawah jendela kamar.
"Apa sih?!" balas gadis itu agak ngegas.
"Buka pintu!!" seru Kalan lagi.
"Nggak di kunci! Masuk aja langsung!" Setelah mendapat izin, Kalanie langsung masuk ke rumah tua sahabatnya yang seperti tak pernah diurus ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Daretaloka
Fanfiction𝙙𝙖.𝙧𝙚.𝙩𝙖.𝙡𝙤.𝙠𝙖 (n) dunia, jagat, semesta milik sepasang manusia bernama Darhan dan Areta yang berisi renjana lengkap dengan lara. ©sshyena, 2023