Harusnya Masih Peduli

73 10 20
                                    

"Kamu yakin nggak sarapan dulu?" Gadis itu mengangguk tanpa menoleh karena jemarinya sibuk mengikat tali sepatu.

Arsel menyudahi sarapannya dan meletakkan piring kotor ke dalam wastafel. Ia meneguk habis air segelas kemudian berjalan mendekati adiknya. Selembar uang lima puluh ribu Arsel sodorkan tepat di depan Areta. Sejak kemarin, ia belum memberi adiknya uang jajan. Entah makan apa gadis itu di sekolah. Atau pertanyaan yang lebih penting lagi, makan apa Areta jika Arsel tak di rumah? Sementara ia sering lupa kapan terakhir memberi adiknya uang saku.

"Kalau kakak lupa ngasih, kamu minta. Jangan diam aja. Semalam makan apa?" tanya Arsel setelah uang yang ia berikan itu diterima.

"Nggak makan," jawab gadis itu ketus dan beranjak pergi meninggalkan Arsel.

"Kenapa nggak makan? Uang kamu habis? Kalau gitu makan dulu sekarang!" Arsel mengejar Areta yang sudah siap menyandang tas sekolahnya.

"Nanti aja, makan di sekolah. Uang Reta ada, Kak, cuma malas makan aja," katanya menjawab satu per satu ucapan kakaknya.

"Jangan malas makan, kalau kamu sakit waktu nggak ada Kakak gimana? Badan kamu juga kurus banget sekarang. Pinggangnya kecil kayak nggak punya lambung. Berangkat sama siapa? Kok pacar kamu belum jemput?" heran Arsel. Karena biasanya, Remy sudah menunggu di halaman depan bersama motor sport-nya.

"Naik angkot. Lagi berantem sama Remy," Areta berjalan hendak keluar, namun dengan cepat kakaknya menahan agar ia jangan pergi dulu.

"Ayo, Kakak antar," katanya kemudian pergi mengambil kunci motor dan tas sandangnya.

Areta menurut saja. Bukan hal aneh kalau Arsel mau mengantarnya sekolah. Sejatinya, pemuda itu memang orang yang lemah lembut dan pengertian. Hanya saja, ia kurang cakap dan kerap bingung mengatasi beberapa situasi.

Helm yang diberikan Arsel ia terima dengan senang. Setelah si kakak menyalakan mesin motor, Areta naik ke jok belakang dan memegang jaket kulit Arsel. Motor itu pun melaju masuk ke jalanan. Di belakang, Areta merasa kagum dengan kakaknya. Ia selalu pulang larut, tapi selalu berangkat pagi tanpa mengeluh. Setiap hari, kesibukan itu diulang-ulangnya. Memasak sarapan, berangkat bekerja, lalu pulang sebelum tengah malam. Kadang ia merasa iba. Kehidupan mereka yang seadanya semenjak hidup hanya berdua. Untuk kebutuhan sehari-hari Arsel harus lembur dan menghabiskan waktunya di tempat kerja. Pagi menjadi malam, malam berubah siang. Semua ia lakukan agar adiknya tak merasa kesulitan. Kadang membuat Areta berpikir, apa mungkin ini semua salahnya?

Kendaraan roda dua itu sampai di depan gerbang sekolah. Areta membuka helmnya kemudian menyerahkan kembali pada sang kakak. Tepat sebelum ia pergi, Arsel memanggil namanya.

"Reta."

Si empu menoleh. Wajahnya menyiratkan tanya, sedikit cemas karena takut omelan pedas Arsel akan keluar di depan gerbang sekolah seperti ini.

"Jangan buat masalah lagi. Cukup ini yang terakhir. Kakak bukan Papa, Ta. Kakak nggak bisa menjaga kamu sendirian."

Jam istirahat telah berlangsung. Tanpa mengemasi buku-bukunya, Areta langsung keluar mengejar kelas sebelah. Beruntung guru yang mengajar sudah tak ada dan murid yang tersisa hanya beberapa orang saja. Dan lebih beruntungnya lagi, Remy ada di kelas. Memang sudah dasarnya lelaki itu suka menyendiri. Saat istirahat, ia lebih memilih membaca buku di kelas atau di perpustakaan. Seperti nerdy, tapi sebenarnya juga bukan. Ia hanya tidak suka bergumul dengan keramaian.

"Remy," panggil Areta dari depan pintu.

Tak hanya si pemilik nama saja, kelas yang berisi enam orang itu kompak menoleh ke arahnya. Remy bangkit dari duduk setelah menyimpan buku yang ia baca di dalam laci. Ia kemudian mengajak kekasihnya duduk di kursi yang ada di koridor. Mata si pemuda sibuk menilik gadis yang seperti biasa nampak luar biasa dengan rambut cokelat terangnya.

DaretalokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang