"Kalau ada cewek bilang, 'cuacanya dingin banget' sambil gosok-gosok tangan, apa itu maksudnya dia minta dibakar?" tanya Lino pada laki-laki di sebelahnya. Mereka berdua berada di angkutan umum menuju ke Toserba.
"Ya ... gak dibakar juga!" sahut Han. "Emang ada cewek bilang begitu sama lo?"
"Kagak. Tadi nonton di tipi."
Di tengah perjalanan, Han mendapati keberadaan Jeong In yang digiring oleh sekelompok remaja berpakaian urakan. Padahal sekarang masih jam sekolah.
"Aduh, kok gue kayak mau muntah, ya?" gumam Lino sembari memegang perut. Mabuk darat. "Kenapa, Bang?" tanyanya saat supir angkot menoleh ke arahnya yang duduk di pojok belakang.
Pria paruh baya itu tidak menjawab dan kembali melihat ke depan. Tapi beberapa saat kemudian dia menoleh ke belakang lagi.
"Kenapa sih, Bang?" ketus Lino.
"Apa sih?! Orang gue lagi mundur!" sungut sang supir. Dia memang sedang memundurkan angkotnya karena ada seorang penumpang yang menunggu di halte.
"Ayo turun sekalian." Han menepuk pundak Lino. Merasa ada yang tidak beres pada adiknya Hyunjin di seberang sana.
"Cuma segini?!" gertak seorang remaja berkulit gelap dan rambut pirang, menampar Jeong In dengan lembaran uang yang dipegang.
"Ntar lo ambil duit di toko buku itu lagi. Lumayan dapatnya," tambah remaja lainnya sambil menggaruk kadas di siku.
"Ayen, ayo pulang," ajak Han yang datang bersama Lino. Dia menggandeng pergelangan tangan Ayen.
"Apa-apaan?! Lo seenaknya mau bawa dia pergi!" sungut remaja berkulit sawo busuk sambil mendorong Han sampai terjungkal ke kebun orang.
Han segera bangkit, mengedarkan pandang ke sekitar, diambil kayu yang dijadikan tonggak jemuran di dekat tempatnya terjatuh, lalu dipukulkan ke para remaja tengil itu dengan gerakan seperti seorang pemain anggar yang andal.
"Masih berani mau lawan, hm?" tantangnya, berdiri di depan Lino dan Ayen, melindungi mereka. Memasang posisi kuda-kuda, bersiap memberikan pukulan lagi.
Melihat komplotannya diserang, datang dua pemuda jamet yang usianya lebih tua, sekitar dua puluh tahunan.
"Berani amat lo ngelawan anak buah gue!" ucap si ketua berandalan.
Han mengacukan kayu yang dipegang. "Lawan sini!"
Jamet sepuh dengan tato bergambar biawak di lengan kanannya tampak menyeringai, mengeluarkan sebilah pisau. Begitu pula dengan rekan satunya.
Laki-laki yang sebelumnya bergaya dengan tongkat jemuran itu menelan saliva, posisi mereka sekarang dalam bahaya. "Ayo kabur!" instruksinya pada Lino dan Ayen.
Ketiga laki-laki itu berlari menyusuri trotoar. Tentu saja para berandalan tadi ikut mengejar di belakang mereka.
"Belok sini!" ajak Han memasuki sebuah pelataran.
"Ha! Mau lari ke mana lagi lo?!" seru pria bertato tersebut ketika target mereka berhenti melarikan diri.
Han mengukir smirk di wajah, memiringkan kepala, menunjuk ke tulisan pada dinding bangunan di belakangnya.
Kantor polisi.
"Ha! Mau lari ke mana lagi lo?!" ledek Lino mengembalikan ucapan ke para berandalan yang sudah dikepung oleh polisi setempat.
*****
"Ayeeeen!!!" Hyunjin yang baru turun dari motor langsung berlari dan memeluk adiknya yang masih menunggu di depan kantor polisi ditemani Lino dan Han. Dia segera datang, tak lama setelah ditelepon. "Karena terlalu sibuk, gue gak pernah perhatiin anak ini. Dia juga gak pernah cerita apa pun sama gue. Maaf sudah ngerepotin kalian," ucapnya lalu menyenggol siku Ayen. "Minta maaf, weh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ailurophile [END]
Fanfic"Apa kalau semua manusia mati mereka dimakamkan?" tanya Lino. Han membersihkan dedaunan yang berjatuhan di atas makam. "Ya, supaya sanak keluarga bisa datang untuk kasih penghormatan dan doa." "Bunga juga, ya?" "Hu-um. Tapi kalau orangnya suka maka...