"Selama ada dia, gue selalu jadi kucing oren yang bahagia. Dia ... hadiah terbaik dari orang tua gue," jelas Lino. Kakak perempuannya dulu ketua gangster. Meski tomboy tapi sangat anggun dan cantik. Karakter mereka hampir mirip, dari luar tampak cuek, pemarah, dan tidak peduli tapi sebenarnya berhati lembut.
"Tapi beberapa tahun lalu, dia kecelakaan dan gak pernah kembali lagi." Sudut bibir Lino sedikit turun dengan sorot mata sedih memandang lilin di hadapannya. "Orang tua gue selalu pura-pura setiap hari kayak gak ada yang terjadi. Seolah-olah selama kita gak membahas tentang Nuna, maka gak ada yang mikirin dia dan kita gak akan sedih atau apapun."
Pemuda bersurai jingga kecokelatan itu menggigit bibir bawah seraya menghela napas dalam. "Di saat tertentu, gue kangen banget sama Nuna. Tapi gue cuma bisa diam-diam mikirin dia. Karena takut orang tua tau ... kalau gue masih belum bisa lepasin kepergiannya. Mereka pasti lebih sedih dibanding gue."
Han mengangkat kedua kakinya ke sofa, duduk bersila menghadap Lino. "Weh, cara berpikir lo udah bener. Ternyata lo lebih berani dan bahagia daripada gue," ucapnya seraya menepuk pundak laki-laki di hadapannya.
"Banyak orang bilang ... dampak dari kematian seseorang itu nakutin banget. Ibaratnya kayak ada bayangan besar di depan mata, menghantui setiap saat." Han menekuk kaki di depan dada, termenung menatap lantai yang dingin.
Dia tersenyum getir. "Tapi sebenarnya yang paling nakutin adalah rekaman memori saat kita ngabisin waktu sama orang itu. Kejadian-kejadian remeh yang tiap diingat selalu bikin kita sedih, kadang ada juga penyesalan.
Lagu yang familiar, makanan favorit, juga kata-kata yang pernah diucapkan. Kita gak bisa nolak saat tiba-tiba ingatan itu menerobos kepala kita."
Lino mengangguk. "Satu-satunya yang kita tau, di hati ini ada tempat kosong ... yang gak pernah bisa digantikan selamanya."
"Jadi ingat, dulu ada yang bilang begini, Han Jisung ... ada masanya semua berakhir, suatu saat lo bakal lupa." Han tertunduk dan terkekeh pelan, menitikkan air mata lalu kembali menegakkan wajah, memandang Lino. "Kenapa gue harus lupain, hm? Kenapa gue harus lupain orang yang gue sayang? Kalau gue lupain mereka ....
... mereka sepenuhnya menghilang, 'kan?"
Kedua alis Lino turun, ikut merasa pilu. "Hannie ...."
Han berdesis, menangkupkan jemarinya pada benda silver yang melingkari pergelangan tangan Lino, memandangnya penuh arti. "Sekarang secara resmi ... gue mau buat permohonan sama lo."
Lino menelan saliva, pupil matanya membesar, tertegun akan permintaan yang tiba-tiba dilontarkan pemuda di sampingnya.
"Kakek dan ayah. Tolong ... hidupkan mereka buat gue," pinta Han.
Ditatap lama manik pemuda yang memohon padanya penuh harap tersebut. Sejenak Lino mengalihkan pandang, begitu berat baginya mengatakan bahwa permohonan itu sangatlah mustahil. "Maaf, Hannie ...," ucapnya dengan rasa bersalah. "Balas budi kucing cuma bisa kabulkan soal uang, kekuatan, kesehatan. Tapi kalau kematian ....
... maaf .... "
Han berkedip lemah seraya mengangguk. Sudah menduga permintaannya adalah suatu ketidakmungkinan. "Iya, gak apa-apa." Dia bersandar pada sofa, lengannya menutupi wajah yang menengadah. Lino menghembuskan napas, merasa tidak enak hati, tapi dia tidak bisa berbuat apapun.
Suasana malam ini begitu sendu bagi mereka berdua.
****
Han menabur kelopak bunga di atas sebuah makam. Lino yang mengamati ikut melakukan hal yang sama pada makam di sebelahnya. Dua pemuda itu memakai pakaian serba hitam, berziarah ke makam ayah dan kakek Han.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ailurophile [END]
Fanfiction"Apa kalau semua manusia mati mereka dimakamkan?" tanya Lino. Han membersihkan dedaunan yang berjatuhan di atas makam. "Ya, supaya sanak keluarga bisa datang untuk kasih penghormatan dan doa." "Bunga juga, ya?" "Hu-um. Tapi kalau orangnya suka maka...