13. Red Dino

757 40 0
                                    

Tangan lentik itu tak berhenti mengelus rambut si manis yang semakin menipis. Menatap sayang dan iba pada wajah cantik penuh luka. Mengingat bagaimana mata indah yang menatapnya seperti balita yang masih tabu akan dosa.

'Tuhan. Kenapa Kau menyiksa anak ini bertubi-tubi? Wajah polosnya dipenuhi luka. Tubuhnya semakin kurus dan saraf nya yang semakin keropos?' Batin itu berseru hingga tak terasa air matanya mengalir begitu saja. Tak tega melihat wajah pucat yang terbaring lemah diatas kasur putranya.

"Sayang. Bangun, nak. Jangan buat Mama takut, hm." bujuknya lagi. Ini sudah sore. Argha hampir pingsan selama 12 jam. Kamar Zay sudah di penuhi alat-alat medis yang langsung dibelikan oleh Surya atas permintaan Esta. Ditangan kurusnya kembali terpasang infus. Nafasnya terbantu ventilator. Kulitnya semakin dingin. Luka-lukanya sudah tertutup perban. Juga kakinya yang hampir saja infeksi.

Hingga suara pintu terketuk. Esta mempersilahkan masuk. Ternyata dokter Rafi.

"Permisi, nyonya. Saya akan memeriksa kondisi dan mengganti tabung infus Argha."

"Silahkan, Dokter."

Esta menyingkir sejenak. Membiarkan dokter Rafi memeriksa remaja manis itu lalu mengganti tabung infus yang baru.

"Apa ga ada perkembangan, dok?"

"Sepertinya belum, nyonya. Kepalanya terbentur atau sengaja dipukul benda tumpul seperti balok atau sejenisnya. Bahkan jahitan di pelipisnya kemarin sampai putus semua saking kerasnya pukulan itu. Sarafnya harus segera mendapat penanganan yang lebih intensif lagi nyonya atau akan berakibat fatal untuk nyawa Argha."

Esta terdiam. Lagi-lagi Argha menjadi remaja malang yang harus menerima penderitaan takdir. Dan harus kembali berperang dengan nyawanya sendiri.

Ke2nya menoleh bersamaan karena tiba-tiba kepala Argha bergerak risau dengan ringisan kecil dari mulut nya.

"Sayang jangan banyak gerak dulu. Stt tenang ya. Jangan gerak, nak. Ini Mama dan dokter Rafi." Ujar Esta menenangkan Argha yang sepertinya tersentak dari alam bawah sadarnya.

"Ah syukurlah Argha siuman. Nak, bisa liat dokter?"

Argha mengangguk dengan mata sayu, "Bagus. Ada yang masih sakit? Tunjukin sama dokter."

Kepalanya menggeleng lirih. Ia rasa badannya sudah lumayan enakan meski masih lemas. Tapi tak seburuk terakhir kalinya.

Dokter Rafi menatap Esta serius, "Kondisinya akan semakin memburuk jika ia terus mendapat luka-luka seperti ini. Terutama dibagian kepalanya." Esta mengangguk mengerti maksud dokter Rafi.

"Saya akan mencoba lagi, dokter."

"Baiklah, nyonya. Anda bisa memanggil saya kapanpun jika terjadi sesuatu. Saya masih harus menangani beberapa pasien."

"Baik, dokter. Terima kasih."

"Tugas saya, nyonya. Kalau begitu saya permisi."

"Iya, dok."

Dokter Rafi keluar. Tak lupa berpamitan pada Argha yang membalasnya dengan anggukan tipis.

Esta duduk di kursi tepat disamping Argha. Ia menggenggam tangan yang bebas infus itu. Menatap mata cantik yang juga tengah melihat bola matanya intens.

"Mama tau Argha anak yang kuat. Mama juga tau Argha sosok orang baik yang tak mau merepotkan orang lain karena kondisi Argha. Sayang, dengerin Mama ya. Mama mohon kali ini aja Argha libatin Mama untuk kesehatan Argha. Sekali aja, sayang. Setelah itu Argha bebas mau bagaimana. Ma-Mama hiks... Mama ga bisa liat Argha kayak gini. Mama ga bisa hiks..." Esta menunduk. Berusaha menyembunyikan tangisannya yang jelas Argha mendengarnya. Tangan dinginnya mengelus tangan Esta pelan.

Posesif Boyfie (BXB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang