33. His Little Shack

797 47 2
                                    

Jam menunjukkan pukul 4 sore. Taksi itu berhenti tepat didepan gang sepi itu. Ia turun dengan ragu. Tapi ia telah memantapkan hatinya bahwa ia harus berani untuk maju.

Kini ia berdiri tepat dipintu gang yang begitu gelap. Jantungnya sudah tak karuan. Ia memegangi dadanya. Mencari keberaniannya lagi. Ia membayangkan masa lalu. Bagaimana ia berjalan santai memasuki ruang gelap itu sendirian. Bagaimana ia tidur dan lelap di gubuk kecilnya. Bagaimana derita yang selalu ia terima.

"Huftt... Kamu bisa, Argha. Ayo." Semangatnya untuk dirinya sendiri. Kakinya melangkah pelan. Tak ada pencahayaan didalam gang itu. Meski hari masih terang, tapi gang itu begitu tertutup. Hingga ia melihat gubuk kecilnya yang masih berdiri kokoh disana.

Mulutnya menganga tak percaya. Bagaimana mungkin? 7 tahun lamanya ia meninggalkan tempat ini. Dan rumahnya masih utuh tanpa perubahan? Tidak masuk akal.

Terbersit ingatan dimana ada pembakaran mayat didepan rumahnya dan itu begitu mengerikan. Ia berdecih untuk mengusir ingatannya itu. Dengan hati-hati ia membuka pintu reotnya.

Dan benar. Tak ada perubahan. Hal paling mustahil yang pernah ia lihat. Semuanya masih sama. Letak barangnya pun tak ada yang bergeser sedikitpun. Ia kira saat ia menembus gang, ia akan melihat rumah masa kecilnya yang hancur menyatu dengan tanah. Tapi nyatanya tidak.

Ia menghirup sesuatu. Ini bukan wangi nya sekali. Parfum? Mint? Ia mengernyit. Mengambil ponselnya dan menyenteri lantai. Kasurnya? Baru? Tidak. Maksudnya jika itu kasurnya, sudah lama melebur bersama tanah. Ini memang sudah usang seperti terakhir ia menempatinya. Tapi jika dilihat dari warna dan tekstur kainnya, itu jelas bukan miliknya.

Hingga ia mendengar derum motor didepan gang yang terdengar sampai dalam. Ia keluar dan melihat Zay yang muncul di pintu gang itu.

Bruk!

Argha terkejut saat tiba-tiba Zay berlari dan memeluknya dengan begitu erat.

"K-Kak..."

"Khek... Hiks..."

Deg.

Argha merasakan baju bagian punggungnya yang diremas sangat kencang. Bahkan ia merasakan leher sampai pundaknya yang basah.

"Kenapa hiks?"

Argha diam. Merasakan luka yang sangat mendalam dari pemuda 24 tahun didepannya. Ia kini menyadari dari kemarin Zay menutupi lukanya saat melihatnya karena disitu terlalu banyak orang untuk mengungkapkan isi hatinya yang berantakan.

"Maaf..."

Hening. Argha mendekap kepala itu. Mengelusnya halus. Saling menyalurkan rindu yang begitu menyakitkan untuk ke2nya. Dalam artian Argha mengerti betapa ia mencintai sosok ini dengan tulus meski ia tau bahwa Zay lah penyebab dari tragedi mengerikan yang membuat nyawanya hampir melayang begitu saja.

Saat itu Argha masih polos. Masih remaja yang bahkan minder dengan perasaannya sendiri. Hingga ia mulai bangkit dan berdiri di Amerika. Memahami banyak hal dengan diiringi rasa ingin bertemu dan memeluk psikopat tampan itu. Ia menyukai Zay. Ia mencintai Zay. Ia kini tau perasaannya. Ia tau hatinya. Ia bahkan tau bagaimana rasanya cemburu dan sakit hati yang sesungguhnya. Ia bahkan sakit saat melihat Zay menangis karenanya.

"Kakak emang jahat sama kamu hiks... Kakak jahat, Argha... Tapi Kakak baru pertama kalinya merasakan arti kecewa yang sebenarnya. Kakak cinta sama kamu. Kakak sayang sama kamu. Kepergian kamu hampir buat Kakak hilang akal sehat. Dan 7 tahun kamu lari dari Kakak. Sembunyi dan menyiksa Kakak sebagai tanda hukuman? Hiks... Kenapa?"

"Karena aku tau Kakak kuat. Aku tau Kakak bisa tanpa Argha. Aku tau Kakak bakal tetap hidup seperti mau Argha."

"Kamu janji hiks... Kakak bermain di permainan kamu. Dan Kakak berhasil. Tapi hadiah dari kamu sangat menyakitkan hiks..."

Posesif Boyfie (BXB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang